tirto.id - Kerugian negara ditaksir mencapai Rp1 Kuadriliun terkait kasus korupsi Pertamina. Berdasarkan data terbaru, tersangka kasus korupsi Pertamina bertambah dua orang lagi. Lantas, Rp1 Kuadriliun berapa Triliun?
Dua tersangka baru kini ditetapkan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina selama periode 2018-2023.
Nama pertama adalah Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga. Lalu kedua yaitu Edward Corne (EC) sebagai VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga.
Dalam kasus dugaan korupsi Pertamina, Maya dan Edward diduga melakukan pembelian bahan bakar minyak.
Keduanya membeli (BBM) RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 atas persetujuan Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga. Riva sudah ditetapkan menjadi tersangka.
Dalam kesepakatan dan pembayaran, tertulis pembelian Pertamax dengan RON 92. Pembelian yang tidak sesuai dinilai menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak memenuhi kualitas barang.
Maya Kusmaya lalu diduga memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Edward Corne untuk melakukan blending produk agar menghasilkan RON 92.
Proses blending dilakukan di terminal atau storage PT Orbit Terminal Merak, milik Muhammad Kerry Andrianto Riza dan Gading Ramadhan Joedo, selaku Komisaris PT Jenggala Maritim yang juga menjabat Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Akibat kasus tersebut, diperkirakan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun pada 2023. Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah ini diduga berlangsung selama lima tahun, mulai 2018 hingga 2023.
Rp1 Kuadriliun Berapa Triliun, Terkait Kasus Korupsi Pertamina?
Selama proses penyelidikan, Maya Kusmaya dan Edward Corne diduga menyetujui adanya mark up dalam kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. Akibatnya, PT Pertamina Patra Niaga harus mengeluarkan fee 13-15% dan dinilai melawan hukum.
Saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar acuan penetapan Harga Index Pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi semakin mahal.
Kejaksaan Agung lalu mengungkap dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) hingga menyebabkan kerugian besar.
Pada tahun 2023, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun yang bersumber dari lima komponen. Lima komponen mencakup kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun dan kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun.
Lalu kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun, kerugian pemberian kompensasi tahun 2023 sekitar Rp126 triliun, dan kerugian pemberian subsidi tahun 2023 sekitar Rp21 triliun.
Jika pola yang sama terjadi, maka kerugian negara mulai tahun 2018 hingga 2023 bisa saja mendekati angka Rp1 Kuadriliun.
Kuadriliun merupakan bilangan angka diatas triliun. Dalam bahasa Inggris, Kuadriliun disebut dengan Quadrillion. Sedangkan menurut bahasa Belanda, Kuadriliun disebut dengan Dwiyar.
Jika dihitung dengan nominal triliun, Rp1 Kuadriliun sama dengan 1.000 triliun. Apabila ditulis angka, maka Rp1 Kuadriliun disajikan melalui angka 0 sebanyak lima belas kali.
Lebih lanjut, penyebutan nominal atau bilangan di atas triliun menganut dua sistem skala, yaitu long scale atau kala panjang dan short scale atau skala pendek.
Negara yang menggunakan bilangan skala panjang adalah sebagian besar negara Eropa. Misalnya Perancis, Spanyol, dan Portugis. Sementara negara yang menggunakan skala pendek ialah Inggris, Arab, dan Brasil.
Di Indonesia, sistem bilangan besar menganut skala panjang hingga nominal satu miliar. Sementara pada bilangan bernilai triliun, Indonesia menganut skala pendek.
Editor: Beni Jo