tirto.id - Baca artikel tentang popularitas komunitas BookTok di tautan berikut:
Popularitas BookTok: Kala Perempuan Menggerakkan Industri Buku
Sampai hari ini, setidaknya terdapat 45 juta unggahan di TikTok yang menggunakan tagar #BookTok. Jumlah yang luar biasa, bukan?
Namun kemunculan BookTokers bukan tanpa kritik. Beberapa buku yang mendapat popularitas dari komunitas ini disinyalir meromantisasi hubungan abusif, menormalisasi perspektif misoginis, hingga pewajaran atas tindakan pelecehan seksual.
Kekhawatiran ini semakin besar karena dibandingkan BookTube (pencinta buku di YouTube) dan BookStagram (pecinta buku di Instagram), jangkauan BookTok dianggap lebih masif dan cepat.
Bagian paling menarik perhatian dari fenomena BookTok adalah bagaimana genre Dark Romance dan Romantasy (Romance Fantasy) naik pamor dan mendapatkan tempat spesial di komunitas BookTok.
Dark Romance mulai populer setelah buku Fifty Shades of Gray karya E.L James rilis pada 2015.
Genre ini sebagian besar mengeksplorasi jalan cerita yang tabu, hubungan tidak sehat antartokoh protagonis, dan karakter bermoral abu-abu (tidak jahat, akan tetapi juga tidak baik).
Mari kita ambil contoh.
Novel Haunting Adeline (2021) karya H.D Carlton, salah satu darling of BookTok, menceritakan bagaimana tokoh perempuan bernama Adeline membangun hubungan tidak sehat dengan stalker alias penguntit yang obsesif (sekaligus tokoh utama laki-laki) dan mengganggu hidupnya.
“Mengganggu” yang dimaksud adalah pemerkosaan, pengancaman menggunakan senjata api, teror dengan potongan tubuh manusia, dan lain-lain. Ah, meski begitu, cerita tetap berakhir bahagia untuk keduanya.
Kecenderungan yang sama juga muncul di buku-buku karya Sarah J. Maas, yang tahun lalu—dalam kurun enam bulan—terjual 4,8 juta eksemplar. Angka tersebut 1,69 juta lebih tinggi daripada total 10 buku paling laku yang terbit pada 2024.
Tokoh utama laki-laki kerap diceritakan melakukan pelecehan seksual, seperti membuat karakter perempuan mabuk dan menari untuk kemudian secara sengaja menyentuh bagian tubuhnya tanpa mendapatkan persetujuan.
Menuju akhir cerita, tokoh utama laki-laki digambarkan bak pahlawan dan kedua karakter pun bersatu.
Para penulis yang disebut dalam tulisan ini berupaya memberikan kepribadian yang kuat, independen, girl boss, atau perkembangan karakter yang baik untuk tokoh perempuan.
Namun lagi-lagi mereka gagal untuk menyampaikannya dengan baik karena jalinan cerita masih didominasi oleh suara dan keputusan tokoh laki-laki.
Tidak perlu diingatkan juga bahwa narasi toksik dan abusif di atas muncul dari karya sesama perempuan yang namanya semakin besar dari komunitas BookTok.
@emmahalbrook Are you wanting to dive in to the Sarah J. Maas Universe, but you don’t know where to start and you’re confused by the reading order? I got you!! #sjm#sarahjmaas#sjmuniverse#sjmfandom#maasiverse#sjmreadingorder#sarahjmaasbooks#acotar#acotarseries#acourrtofthornsandroses#crescentcity#crescentcityseries#houseofflameandshadow#throneofglass#throneofglassseries#sjmtok#sjmbooktok#booktoker#readersoftiktok#bookrecs
♬ original sound - Emma Halbrook
Memang betul, BookTok bukanlah wadah satu dimensi. Dark Romance hanyalah satu sisi yang bisa dibahas dari komunitas ini.
Semua orang pun berhak membaca buku-buku yang membuatnya bahagia, terlepas apa pun genre yang diminati.
Namun pada waktu sama, memberikan perhatian lebih pada penyebaran cerita yang cenderung mengeksploitasi hubungan toksik dan abusif ini penting. Mengapa begitu?
Alasannya karena narasi tersebut mengaburkan konsep persetujuan (consent) dan batasan (boundaries) dalam relasi romantis. Padahal, konsep ini perlu menjadi pertimbangan utama saat diri kita sendiri menjalani relasi di dunia nyata.
Komentar semacam di bawah ini pun jamak ditemukan di bawah video-video BookTok bertema serupa:
“Sometimes I wish I could go back to my innocent era, ‘cause my brain is just… I can’t—"
“Every smut book girl has the same relationship, an unsuspecting partner…”
Alice Capelle, BookTuber asal Prancis, pernah turut angkat bicara mengenai eksploitasi ini, “Mengapa setelah muncul gerakan #MeToo, setelah empat gelombang gerakan feminisme, perempuan-perempuan muda masih berkhayal untuk bermain peran dalam hubungan yang abusif?”
“Eksplorasi trauma perempuan dilakukan berputar-putar tanpa resolusi. Akhirnya racun dalam hubungan jarang sekali mendapat kritikan keras,” tambahnya lagi.
Tidak bisa tidak, kita perlu membaca tren cerita Dark Romance dengan kacamata bisnis.
Industri penerbitan tentu memahami potensi ekonomi dari formula cerita yang populer. Mengerem atau menghentikan laju produksinya jelas bukan langkah realistis bagi pelaku industri yang orientasinya adalah untuk terus bertumbuh.
Lalu, apa yang dapat kita lakukan setelah menyadari masif dan kuatnya narasi seputar relasi romantis yang tidak menyehatkan di dalam beberapa publikasi populer akhir-akhir ini?
Cara paling memungkinkan untuk dilakukan adalah membentengi diri dengan sikap kritis dan skeptis terhadap buku-buku bacaan.
Bukan perkara yang mudah memang, akan tetapi kemampuan berpikir kritis ini tentu memungkinkan untuk dilatih dan dibiasakan dalam keseharian kita.
Terlepas dari segala dinamikanya, BookTok tetaplah tempat yang asyik untuk dikunjungi.
Selain menjadi ruang yang ramah bagi berbagai kalangan untuk mengeksplorasi beragam genre cerita, BookTok juga memberikan peluang bagi publikasi-publikasi di masa lalu untuk kembali dibicarakan, membuatnya tetap relevan pada masa sekarang.
Di komunitas BookTok, buku-buku klasik seperti White Nights dan Crime and Punsihment dari Fyodor Doestoevsky, karya-karya legendaris Jane Austen, hingga Ulysses dari James Joyce dirayakan oleh para pembaca muda.
Nah, bagi kamu yang aktif di komunitas BookTok, buku apa yang baru-baru ini menarik untuk dibaca?
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih