tirto.id - Koalisi masyarakat sipil merespons pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR. Mereka menilai RKUHP merupakan produk hukum negara yang dibentuk secara tidak partisipatif dan tidak transparan.
“Bahkan draf terbaru dari rancangan aturan ini baru dipublikasi pada tanggal 30 November 2022 dan masih memuat sederet pasal bermasalah yang selama ini ditentang oleh publik, karena akan membawa masyarakat Indonesia masuk ke masa penjajahan oleh pemerintah sendiri,” ucap Ketua YLBHI Muhamad Isnur, dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa 6 Desember 2022.
Berdasarkan pemantauan sementara Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pasal-pasal yang terkandung dalam draf akhir RKUHP masih memuat pasal-pasal antidemokrasi, melanggengkan korupsi di Indonesia, membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat seluruh masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat dan memiskinkan rakyat.
“Aturan ini lagi-lagi menjadi aturan yang tajam ke bawah, tumpul ke atas karena mempersulit jeratan pada korporasi jahat yang melanggar hak masyarakat dan pekerja,” sambung dia.
Berikut contoh pasal yang bermasalah:
Pasal 2 dalam RKUHP ini merampas kedaulatan masyarakat adat, frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Keberadaan pasal ini menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim.
“Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri,” ucap Isnur. Selain mengancam masyarakat adat, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Pasal 256, berisi tentang ancaman pemidanaan baru terhadap pawai, unjuk rasa dan demonstrasi yang tanpa pemberitahuan dan dianggap menggangu ketertiban umum. Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat soal “kepentingan umum” karena frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mempidana masyarakat yang melakukan unjuk rasa untuk menagih haknya.
Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.
Pasal ini lebih kolonial daripada hukum buatan Belanda, asal pasal ini dari Pasal 510 yang ancaman pidananya hanya penjara 2 pekan, sedangkan dalam Pasal 256 menjadi penjara 6 bulan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fahreza Rizky