tirto.id - Tokoh Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab kembali ditimpa masalah. Dia ditangkap otoritas Arab Saudi karena diduga memasang bendera hitam mirip Islamic State in Irak and Syria (ISIS) di rumahnya.
Usai peristiwa itu, ketua dewan pembina GNPF-Ulama itu ingin pulang ke Indonesia. Keinginan itu sudah muncul berulangkali dan selalu gagal terlaksana.
Salah satu penasihat hukum Rizieq, Sugito Atmo Prawiro mengatakan, Rizieq bisa saja pulang ke Indonesia. Namun, ini sulit dilakukan karena masa berlaku visa Rizieq sudah berakhir pada Juni 2018. Dia mengklaim, satu-satunya cara untuk pulang adalah lewat penerbitan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP).
"Kalau misalnya memang tidak ada masalah dan normal, kan, bisa Kedubes RI di Saudi menerbitkan Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk perjalanan pulang," kata Sugito kepada reporter Tirto, Kamis (8/11/2018).
Namun karena Sugito yakin betul pemerintah tak akan memberikan SPLP, cara lain untuk pulang ke Indonesia adalah dideportasi. "Sebenarnya tidak sekadar SPLP, Habib [Rizieq] dideportasi enggak apa-apa kembali ke indonesia," ungkapnya.
Jauh hari sebelumnya, Humas Persaudaraan Alumni 212 Novel Bamukmin memastikan Muhammad Rizieq Shihab akan pulang ke Indonesia pada 21 Februari 2018 lalu. Untuk menyambut kepulangannya, Alumni 212 membentuk kepanitiaan dengan nama "Penyambutan Imam Besar Habib Rizieq".
"Semoga ini enggak meleset lagi kecuali aparatnya zalim," kata Novel kepada reporter Tirto melalui pesan singkat, Kamis 15 Februari lalu. Acara itu sudah digelar tapi Rizieq tak jadi pulang.
Usai Rizieq meninggalkan Indonesia, kantung gerakan yang dia dirikan terpecah-pecah. Persaudaraan Alumni 212 terjun ke gerakan politik praktis. Al Khaththath yang sebelumnya pengurus Presidium Alumni 212 dan kini bergabung dalam Persaudaraan Alumni 212, mendirikan Garda Alumni 212 bagi siapa pun eksponen gerakan 212 yang ingin terjun di dunia politik. Sedangkan Presidium Alumni 212 menolak menggunakan umat Islam sebagai alat politik partai.
Rizieq Harus Dipidana Dulu?
Kabag Humas Ditjen Imigrasi Theodorus Simamarta menegaskan, Rizieq tak perlu visa jika tujuanya pulang ke Indonesia. Menurutnya prosedur semacam itu sudah lama berlaku.
"Pulang ke negaranya tidak ada halangan harusnya, kecuali ke negara lain," kata Simamarta kepada reporter Tirto.
Theo menjelaskan, SPLP dikeluarkan untuk memulangkan WNI. Apabila ingin pulang, bisa meminta langsung ke konsulat negara bersangkutan. Dalam kasus Rizieq, keluarga bisa meminta SPLP kepada KJRI Jeddah.
"Itu hak perlindungan WNI. Apabila ada WNI yang tidak punya dokumen dan akan pulang wajib diberikan," tuturnya.
Theo pun menegaskan, permasalahan deportasi berada di tangan masing-masing negara. Di Arab Saudi, seseorang bisa dideportasi apabila ditangkap oleh otoritas setempat. Namun sistem tersebut sudah diubah dan tak berlaku.
"Sekarang, kan, dikembalikan kepada negara [orang] yang ditangkap itu," pungkasnya.
Sedangkan terkait status overstay Rizieq, bagi Duta Besar Indonesia untuk Saudi Arabia Agus Maftuh Abegebriel hal itu tak menjadi masalah. Hanya saja mengakibatkan KBRI tidak memberi perhatian lebih kepada Rizieq.
"Kasus overstay itu kasus yang lumrah dan lazim. Bukan kasus yang sangat serius. KBRI fokus untuk kasus high profile case seperti kasus hukuman mati. Banyak saudara-saudara kita yang overstay di Saudi," jelas Abegebreil ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis, 25 Oktober lalu.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih & Dieqy Hasbi Widhana