tirto.id - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat menyatakan pengaduan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab terkait dugaan pelanggaran HAM tidak bisa diproses sebelum pengadu kembali ke Indonesia.
"Karena prosesnya belum final. Ada pelanggaran HAM atau tidak itu butuh proses. Pengumpulan informasi dari pengadu saja belum bisa ya. Karena memang pengadu belum pulang ke Indonesia. Pengadu dalam hal ini Rizieq Shihab," kata Imdad kepada Tirto (30/5).
Menurutnya, penggalian informasi dari pengadu menjadi langkah awal yang harus dilakukan guna memproses dugaan atas kasus ini. Oleh karena itu, tanpa adanya informasi dari pengadu, maka Komnas HAM tidak akan bisa melangkah untuk mengumpulkan fakta-fakta dalam pihak teradu, yakni kepolisian.
"Setelah itu baru kalau perlu kami panggil ahli dan melakukan analisis atas fakta-fakta tersebut. Terlebih ini kasus yang sumir," katanya.
Lebih lanjut, Imdad juga menyatakan bahwa indikator pelanggaran HAM dalam kasus Rizieq masih sangat tipis. Karena pihaknya belum mampu mendapat keterangan dari pengadu yang kini masih berada di luar negeri. Meskipun, menurutnya, indikasi politisasi dan kriminalisasi dalam kasus ini ada.
Namun, ia tetap menyatakan bahwa kasus ini belum menemukan kejelasannya. Terlebih laporan yang dilayangkan oleh FPI adalah berkaitan dengan dugaan upaya kriminalisasi dengan menyebar chat antara Rizieq dan Firza Husein oleh penyidik kepolisian. Sebab, kata Imdad, hal itu belum bisa dibuktikan.
Sedangkan, menurut Imdad, kepolisian memiliki pengecualian dalam Undang-Undang terkait dengan proses penyidikan. Polisi diperbolehkan untuk mengakses data pribadi seseorang untuk kebutuhan penyidikan.
"HP Firza disita kan terkait dugaan makar. Belum terbukti juga polisi yang menyebar chat tersebut. Kalau ada berita semacam itu, berita darimana itu?" katanya.
Untuk itu, menurut Imdad, Komnas HAM sejauh ini bersikap agar proses hukum terus dilanjutkan selama sesuai dengan koridor hukum yang ada. "Due to the law," katanya.
Kendati begitu, setelah proses hukum menentukan apakah kasus Rizieq termasuk pornografi atau tidak, Imdad tetap ingin penyebar konten chat Rizieq dan Firza dicari dan ditemukan.
Sementara itu, Polda Metro Jaya Senin (29/5) telah menetapkan Rizieq Shihab sebagai tersangka dalam kasus dugaan pornografi dengan alat bukti chat antara Rizieq dengan Firza.
FPI Tak Akan Biarkan Rizieq Ditangkap Polisi
Juru bicara FPI Slamet Maarif menyatakan pihaknya tidak terima dengan adanya status tersangka terhadap Rizieq. "Status tersangka HRS [Habib Rizieq Shihab] ngawur dan enggak masuk akal," katanya pada Tirto (30/5).
Slamet bahkan menyatakan bahwa kasus yang menimpa pentolan FPI itu merupakan sebuah ajang balas dendam dari kubu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kalah dalam Pilkada dan terjerat kasus penodaan agama.
"Mereka masih sakit hati dan kalap atas kekalahan Ahok di Pilkada dan pengadilan, mereka gunakan tangan-tangan aparat," katanya.
Untuk itu, Slamet mengaku pihaknya tidak akan membiarkan Rizieq ditangkap oleh Polisi. Bahkan kalaupun kepolisian menjemput paksa Rizieq dari Luar Negeri, Slamet menyatakan FPI siap menjemput di bandara.
"Kami tidak akan biarkan semudah itu polisi ambil Imam Besar Umat Islam atas kasus rekayasa ini, tangkap dulu penyebar chatting sebelum ambil HRS," katanya.
Menurutnya, tersebarnya chat tersebut berhubungan dengan penyidikan Firza atas kasus makar. "Tanya ke penyidik. Karena chatting beredar setelah Firza hp-nya disita penyidik Polda Metro atas tuduhan makar tanggal 2 Desember," tegasnya.
Kendati begitu, ia tetap menyatakan bahwa alasan Rizieq tidak pulang bukan karena tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya atau memperjuangkan kebenarannya. Sebaliknya, menurutnya, permintaan Rizieq kembali hanyalah jebakan dari pihal kepolisian.
"Kalau pulang pasti ditahan itu rencana mereka dari awal, kalau HRS ditahan umat pasti bergejolak itu yang beliau tidak mau. Beliau selalu memikirkan bangsa daripada dirinya, beliau menggunakan langkah hukum dulu dari luar negeri," katanya.
Adapun langkah hukum tersebut, menurutnya, adalah melalui praperadilan, Komnas HAM dan DPR-RI. "Juga masih banyak jalan lain," katanya.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Alexander Haryanto