tirto.id - Gunung Mauna Loa di Hawaii meletus pada Selasa, 29 November 2022. Ini adalah letusan pertama sejak tahun 1982 atau 40 tahun silam.
Pewartaan BBC menyebut letusan sebetulnya sudah diprediksi bakal datang dalam waktu dekat karena ada peningkatan aktivitas seismik di sekitar gunung. Namun, tidak diketahui sejauh mana kekuatan dan dampak letusan ini.
Riwayat erupsi Mauna Loa selalu menjadi sorotan. Ini tidak terlepas dari julukannya sebagai gunung api aktif terbesar di dunia: setinggi 4.170 mdpl atau 9.179 meter jika diukur dari dasar laut, mengalahkan tinggi Gunung Everest.
Mulanya gunung ini terbentuk karena naiknya magma dari dalam bumi yang menembus lapisan kerak luar pada puluhan juta tahun lalu. Kerak luar bumi di lokasi pembentukan kebetulan berada di bawah lautan yang kini disebut Samudra Pasifik.
Ketika berhasil menembus terjadi proses pembekuan karena magma yang bersuhu panas bersentuhan dengan lautan yang bersuhu dingin. Proses pembekuan ini berlangsung perlahan dan sangat lama hingga akhirnya membentuk daratan (Kepulauan Hawaii) berserta gunung api.
Namun, pembentukan gunung bukan akhir dari segala aktivitas magma. Setelahnya, aktivitas itu terus terjadi hingga sekarang dan membuat ahli geologi menyebut wilayah ini sebagai hot spot atau titik panas.
Eksplorasi Mauna Loa
Berada di tengah Samudra Pasifik membuat Mauna Loa terisolasi selama jutaan tahun. Alhasil, referensi mengenai Mauna Loa di masa kuno sangat terbatas.
Seturut penelusuran para antropolog, penghuni pertama di wilayah ini adalah orang-orang Polynesia. Mereka bermigrasi pada tahun 400 M dari Kepulauan Marquesas sejauh 2000 mil menggunakan kano. Namun, tidak ada catatan mengenai letusan Mauna Loa atau lima gunung api lain di Hawaii yang ditulis oleh mereka.
Kedatangan bangsa Eropa ke Hawaii akhirnya berhasil membuka tabir misteri tentang wilayah itu. Pelaut Inggris, James Cook, menjadi orang pertama yang menginjakkan kaki di Hawaii pada 1778.
Kedatangan Cook membuka pintu gerbang ekspedisi yang terus terjadi beberapa tahun setelahnya. Mulai dari misionaris, pengusaha, hingga tentara berlomba-lomba datang ke pulau indah di Pasifik ini. Akibatnya, Hawaii yang semula tertutup menjadi terbuka. Banyak hal yang menjadi daya tarik bangsa Eropa, termasuk keberadaan gunung berapi.
Pada tahun 1794, Archibald Menzies naturalis Skotlandia berhasil melakukan eksplorasi sederhana tentang Mauna Loa dan gunung api lain yang berada satu daratan bernama Mauna Kea. Mengutip Walther M. Barnard dalam “Earliest Ascents Of Mauna Loa Volcano, Hawai'i” (1991), Menzies datang bersama rombongan asal Inggris pimpinan George Vancouver.
Atas izin Raja Kamehameha I, Menzies dengan panduan penduduk lokal berhasil melakukan pendakian untuk pertama kalinya dan melakukan perhitungan menggunakan barometer. Hasilnya Mauna Loa memiliki tinggi 13.634 kaki, sementara Mauna Kea dipercaya lebih tinggi karena puncaknya ditutupi salju.
“Sayangnya, prestasi Menzies terlupakan, kecuali oleh orang Hawaii sendiri. Ini disebabkan karena Vancouver tidak mencantumkan keberhasilkan pendakian Menzies di laporan perjalanannya,” catat Walther M. Barnard dalam Mauna Loa Volcano: Historical Eruptions, Exploration, and Observations (1779-1910) (1995).
Terlepas dari dihilangkannya jerih payah Menzies dalam sejarah, laporan perjalanan Vancouver membuat para ahli dari seluruh dunia menaruh perhatian untuk mengungkap misteri lanjutan tentang gunung tersebut.
Pada awalnya, rata-rata ilmuwan terfokus untuk mengukur tinggi gunung. Namun, setelah gunung meletus pada 1803, fokus penelitian berubah menjadi perihal erupsi.
Sejak tahun 1843, tercatat ada 33 letusan yang terdokumentasi. Dari letusan itu, para ahli banyak mengungkap penemuan baru. Letusan Mauna Loa ternyata berjenis baru yang dalam vulkanologi disebut Tipe Hawaii.
Gunung bertipe ini saat meletus hanya mengeluarkan semburan ringan dan aliran lava dari puncak atau sisi gunung berapi. Skala letusan terbilang kecil, tetapi intensitasnya tinggi. Jadi, jangan membayangkan Mauna Loa bakal meledak secara eksplosif yang mengeluarkan material cair, padat, dan gas dalam jumlah besar, seperti letusan Krakatau 1883, misalnya.
Namun, seluruh letusan ini juga membuat waswas karena tidak dapat diketahui “pola letusan”-nya. Dilansir National Geographic, dari tiap letusan, lokasi keluarnya magma selalu berbeda sehingga mempersulit proses mitigasi dan evakuasi saat bencana.
Tidak dapat diketahui pula seberapa banyak dan kuat lava keluar dari dalam bumi. Semakin banyak yang keluar, tentu semakin tinggi risiko ancaman keselamatan penduduk akibat waktu evakuasi yang menipis.
Belum lagi soal waktu meletusnya yang tidak terpola dan sering mendadak, sehingga jarak antara letusan dari tahun ke tahun tidak bisa ditebak. Ada yang berjarak 2-3 tahun, ada pula yang belasan atau puluhan tahun.
Memang secara vulkanologi hal-hal seperti tidak bisa diprediksi, tetapi jika terbentuk pola, misalkan tiap 4 tahun sekali, maka risiko kebencanaan dapat diminimalisasi. Faktor-faktor inilah yang menjadi ancaman utama apabila Mauna Loa meletus.
Di antara letusan itu, ada dua yang terdahsyat, yakni tahun 1926 dan 1950.
Mengutip laman United States Geological Survey (USGS), letusan tahun 1926 sebetulnya sudah diprediksi sebab beberapa hari sebelumnya terjadi peningkatan aktivitas vulkanik, seperti gempa bumi yang tercatat pada seismograf.
Namun, dari prediksi itu ilmuwan tidak mengetahui di mana dan ke arah mana isi perut bumi akan keluar dan bergerak. Ketidaktahuan inilah yang menjadikan letusan ini sangat merusak.
Aliran yang arahnya tidak dapat ditebak membuat orang-orang di sekitar gunung waswas. Benar saja, saat lava keluar alirannya menuruni lereng gunung dengan sangat cepat dan menerjang desa kecil di kaki gunung. Lava panas membuat 12 rumah, gereja, dan pelabuhan musnah dengan cepat. Beruntung para penduduk sudah melarikan diri.
Sementara pada 1950, letusan pertama berupa awan besar berbentuk jamur yang mengembang di langit Hawaii, disertai cahaya merah yang menyilaukan mata. Laman NPS mencatat, setelah itu terjadi banjir lava dengan kecepatan tinggi ke arah barat dan tenggara, menghancurkan sebagian desa dan jalan raya utama.
Letusan ini membuat banyak organisme laut di sekitar gunung mati akibat air terlalu panas. Letusan terus berlanjut dengan kekuatan yang berangsur mereda.
Letusan-letusan Mauna Loa memang cukup dekstruktif. Meski begitu, melalui BBC para ahli memandang letusan ini menjadi peluang besar untuk mempelajari cara kerja gunung berapi untuk kebaikan di masa mendatang.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi