Menuju konten utama

Riwayat Erupsi Besar Merapi dari Masa Klasik hingga Kolonial

Sejak lampau, Gunung Merapi memang dikenal sangat aktif. Diperkirakan pernah membuat Mataram Kuno memindahkan pusat kekuasaannya.

Riwayat Erupsi Besar Merapi dari Masa Klasik hingga Kolonial
Guguran lava pijar Gunung Merapi terlihat dari Turi, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (13/3/2023). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/aww.

tirto.id - Masih segar dalam ingatan, pada Sabtu, 11 Maret 2023 lalu, sekitar pukul 12 siang, Gunung Merapi dilaporkan mengalami erupsi yang ditandai dengan adanya awan panas yang meluncur dari puncak.

“Hingga pukul 15.00 (11 Maret), tercatat 21 kali awan panas guguran dengan jarak luncur maksimal kurang dari 4 km ke arah barat daya, yaitu di alur Kali Bebeng dan Krasak,” tulis Badan Geologi melalui PVMBG-BPPTKG dalam siaran persnya.

Dalam siaran pers itu pula, Badan Geologi mengeluarkan berbagai macam rekomendasi terkait mitigasi bencana. Segala aktivitas pada radius tertentu di sekitar Gunung Merapu pun dilarang. Erupsi itu membuat Magelang dan sekitarnya dilanda hujan abu.

Gunung Merapi merupakan salah satu dari beberapa gunung api di Indonesia yang dikenal sering mengalami peningkatan aktivitas vulkanis. Tentu belum lekang dari ingatan erupsi besar pada 2010 yang merenggut ratusan korban jiwa, termasuk sang juru kunci Mbah Maridjan.

Selain letusan pada 2010, Gunung Merapi dalam riwayatnya beberapa kali bergejolak, baik dalam skala besar maupun kecil. Bahkan, salah satu letusannya disebut-sebut sebagai salah satu penyebab berpindahnya pusat kekuasaan Mataram Kuno ke Jawa Timur—meski hal ini masih diperdebatkan oleh para ahli.

Erupsi di Masa Klasik

Letusan Merapi yang dimaksud itu diperkirakan terjadi pada permulaan abad ke-11, tepatnya pada 1006. Beberapa ahli sejarah dan arkeologi bersilang pendapat soal ini. Tarikh 1006 itu dikaitkan dengan isi Prasasti Pucangan atau Prasasti Kalkuta yang menyatakan bahwa Mataram Kuno dilanda pralaya pada tahun itu.

Filolog Johan Hendrik Caspar Kern mengaitkan peristiwa itu dengan serangan militer dari kerajaan lain. Kemudian, muncul interpretasi lain yang menyebut bahwa pralaya itu boleh jadi merupakan bencana alam besar. Muasalnya tak lain adalah Gunung Merapi.

“Labberton (1922) mengaitkan kemungkinan runtuhnya Mataram Kuno dengan kejadian vulkanik. Labberton dan van Bemmelen (1949) juga berasumsi bahwa letusan pada tahun 1006 telah mengakibatkan perpindahan Mataram Hindu (Kuno) ke Jawa Timur,” tulis Supriati Dwi Andreastuti dkk. dalam “Menelusuri Kebenaran Letusan Merapi 1006” yang dimuat dalam Jurnal Geologi Indonesia (Vol. 1, No. 4, 2006).

Sementara itu, Nicolaas Johannes Krom menjelaskan bahwa pralaya itu mungkin saja tak hanya merujuk pada satu peristiwa tertentu, tapi sekumpulan bencana yang datang bertubi-tubi sehingga melemahkan kekuatan Mataram Kuno.

“Menurut Krom, perpindahan itu disebabkan oleh beberapa kemungkinan: pemberontakan vasal di Jawa Timur, wabah penyakit epidemik, dan letusan gunung api,” tulis Mundardjito dan Wiwin Djuwita Ramelan dalam laporan penelitian “Gunung Merapi dan Letusannya: Bahan Analogi Bagi Interpretasi Arkeologi” terbitan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1997, hlm. 1).

Apapun pendapat yang dikemukakan, peristiwa erupsi Gunung Merapi patutlah dipertimbangkan mengingat “tabiatnya” yang sangat aktif, bahkan hingga kini.

Menurut van Bemmelen, letusan Merapi di masa lalu memang meninggalkan dampak yang merusak. Pasalnya, banyak candi dari era Mataram Kuno yang terkubur lahar dingin atau mengalami kerusakan. Contohnya dapat kita tilik pada Candi Sambisari dan bahkan candi lain yang lebih kolosal.

“Letusan tahun 1006 diperkirakan juga disertai dengan gempa bumi yang merusak sebagian Candi Borobudur dan Mendut,” tambah Andreastuti.

Masa Kolonial

Riwayat erupsi Gunung Merapi di masa klasik agaknya memang sulit dilacak lantaran catatan sejarah yang terbatas. Namun, tabiat gunung api ini mulai terkuak setelah bangsa Eropa datang ke Nusantara membawa tradisi pencatatan bencana.

Salah satu catatan penting terkait erupsi Gunung Merapi dibuat oleh Franz Wilhelm Junghuhn. Dengan menelusuri kronik-kronik lokal, Junghuhn mendapati bahwa Merapi pernah meletus pada 1560 dan 1664. Catatan itu dia tuangkan dalam Java: Deszelfs Gedaante, Bekleeding, en Inwendige Structuur (1850).

Orang Belanda juga mencatat erupsi besar yang terjadi pada 1672. Dampaknya mengerikan lantaran membuat ribuan orang meninggal dunia.

“Berkat sumber-sumber Belanda, dapat diketahui letusan itu terjadi pada 4 Agustus 1672,” tulis H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram (1987, hlm. 37).

Sepanjang abad ke-16 hingga 19, Gunung Merapi tercatat beberapa kali mengalami erupsi yang cukup besar.

“Setidaknya ada enam letusan eksplosif cukup besar yang terjadi pada 1587, 1672, 1768, 1822, 1849, dan 1872” tulis Chris Newhall dkk. dalam “10,000 Years of Explosive Eruptions of Merapi Volcano, Central Java: Archaeological and Modern Implications” yang dimuat Journal of Volcanology and Geothermal Research (Vol. 100, 2000).

Selain enam letusan besar tersebut, masih terdapat beberapa letusan lain. Salah satunya terjadi pada November 1865. Peristiwa erupsi ini diketahui dari salah satu lukisan karya Raden Saleh. Sketsa lukisan itu dibuat Raden Saleh kala sang maestro bersama rombongan Residen Magelang berkesempatan untuk melihat erupsi dari jarak dekat.

“Saleh membuat sketsa letusan Merapi baik pada siang maupun malam hari, kemudian melukisnya dengan cat minyak,” ungkap Werner Kraus dalam Raden Saleh dan Karyanya (2018, hlm. 157).

Infografik Merapi Dalam Kosmologi yogyakarta

Infografik Merapi Dalam Kosmologi yogyakarta

Dalam kesempatan itu, rombongan melihat Merapi mengeluarkan berbagai macam material dari puncaknya. Pada malam hari, pemandangan di puncak Merapi nampak mengerikan.

“Merapi seakan menjelma menjadi pandemonium sejati, mengerikan, menakutkan, adalah gambaran dari Merapi saat itu, namun tetap indah dan memikat,” ungkap Residen Hoogeven sebagaimana dikutip Ghamal Satya Mohammad dalam “Mount Merapi in Drawings and Paintings: A Dynamic Reflection of Nature 1800-1930” dimuat dalam jurnal Wacana (Vol. 23, No. 1, 2022).

Memasuki abad ke-20, Gunung Merapi tercatat beberapa kali bergejolak. Dari awal 1900 hingga 1930, Gunung Merapi mengalami erupsi pada 1904, 1920, dan 1930. Dari ketiga momen itu, letusan paling besar terjadi pada 18 Desember 1930.

Sebelum meletus, Gunung Merapi dilaporkan mulai menujukkan peningkatan aktivitas sejak November 1930.

“Suara gemuruh terdengar dari lereng Gunung Merapi pada 23 November,” demikian diwartakan Soerabaijasch Handelsblad (26 November 1930).

Gunung Merapi terus menunjukkan peningkatan aktivitas dari hari ke hari hingga erupsi besar terjadi beberapa minggu kemudian. Pemandangan erupsi itu bahkan dapat disaksikan dari Yogyakarta.

“Dari Kota Yogyakarta, terlihat puncak Merapi mengeluarkan asap,” cetus vulkanolog Neumann van Padang dalam “History of Vulcanology in the East Indies” yang dimuat dalam Scripta Geology (Vol. 71, 1983).

Letusan Merapi 1930 menimbulkan kerusakan besar di sekitar lerengnya, terutama di sisi barat yang saat itu masuk wilayah Keresidenan Kedu. Banyak rumah dan kebun penduduk dilaporkan rusak akibat letusan tersebut.

Menurut Wahyunto dan Wasito dalam Pengembangan Pertanian Berbasis Inovasi di wilayah Bencana Erupsi Gunung Merapi (2013, hlm. 15), jumlah korban jiwa pada peristiwa itu mencapai 1.369 orang. Besarnya jumlah korban jiwa ini lantas menjadi pelecut bagi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, melalui Volcanologische Onderzoek (Dinas Vulkanologi), merancang mitigasi yang lebih mumpuni.

Baca juga artikel terkait BENCANA ALAM atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi