tirto.id - Rasanya baru kali ini seorang Danjen Kopassus sampai harus mengeluarkan (semacam) perintah harian untuk segenap anggota Korps Baret Merah terkait situasi pasca-penetapan kemenangan capres-cawapres oleh KPU. Pasalnya, nama Kopassus ikut terbawa-bawa terkait manuver sejumlah purnawirawan perwira tinggi, yang sebagian di antaranya pernah berdinas di satuan elite tersebut.
Dalam perintah hariannya, Danjen Kopassus Mayjen I Nyoman Cantiasa (lulusan terbaik Akmil 1990) mengingatkan kembali agar segenap anggota tidak terpancing dengan perkembangan di luar. Salah satu perintahnya adalah melarang keras anggota Kopassus merespons situasi politik nasional melalui platform media sosial.
Bisa jadi Danjen Kopassus saat ini adalah komandan yang bebannya paling berat di era pasca-reformasi. Mayjen Nyoman Cantiasa menghadapi momen krusial dalam perjalanan kesatuan yang sedang dipimpinnya. Ia harus lolos dari jebakan pragmatisme politik praktis yang sebagian aktornya adalah seniornya di Kopassus dulu.
Masalahnya, manuver yang sedang dilakukan para perwira mantan Kopassus itu tidak ada hubungannya dengan etika yang sejak lama diperlihara di Kopassus, seperti kebersamaan dan setia kawan, yang biasa berlaku saat melaksanakan operasi tempur.
Paradoks “NKRI Harga Mati”
Sebenarnya Kopassus tidak terlalu asing dengan pergolakan sosial dan politik. Mungkin begitulah takdir yang harus dijalani sebagai pasukan elite. Ibarat pepatah lama: semakin tinggi pohon maka akan semakin kencang pula angin menerpanya. Beberapa komandan terdahulu juga pernah mengalami situasi sulit, seperti Mayor Djaelani (Komandan era 1950-an) dan Mayjen Muchdi Purwopranjono (Akmil 1970), yang masa jabatannya terpaksa dipersingkat, karena adanya gejolak “politik” yang berdampak pula pada Kopassus.
Apa yang kita saksikan belakangan ini, bisa jadi lebih kompleks, karena hampir semua mantan Danjen Kopassus “turun gunung”, termasuk mantan komandan yang sudah lama kita tidak dengar namanya, yaitu Jenderal (Purn) Widjojo Sujono, yang terdaftar dalam barisan pendukung Prabowo. Saya menduga masuknya Widjojo Sujono ke kubu Prabowo disebabkan oleh ikatan historis. Prabowo masuk ke Kopassus pada awal 1970-an, saat posisi Danjen Kopassus masih dipegang oleh Widjojo.
Tentu yang paling riskan adalah apa yang dialami Mayjen (Purn) Soenarko (Akmil 1978). Namanya dikaitkan dengan upaya penyelundupan senjata. Untuk sementara kita hanya bisa menunggu penanganan kasusnya.
Melihat daftar nama purnawirawan yang ada di kedua kubu, baik Jokowi maupun Prabowo, kita pun mempertanyakan slogan TNI “NKRI Harga Mati”. Aspirasi yang dilontarkan masing-masing kubu demikian kerasnya sehingga kebersamaan mereka dahulu sebagai kolega satu korps di TNI seolah hangus.
Tak jarang sebagian purnawirawan itu juga larut dalam narasi politik identitas yang biasa diolah politisi sipil. Alih-alih menetralisir, sebagian purnawirawan justru terbawa arus politik primordial seperti. Sehingga publik bertanya-tanya, bagaimana nasib semboyan tersebut, yang sejatinya tetap menjadi komitmen bersama, meski tidak lagi aktif di militer.
Terobsesi Luhut Panjaitan
Dalam aksi massa pasca-penetapan KPU, publik akan melihat Prabowo sebagai tokoh yang paling berkepentingan dengan hasil perhitungan KPU. Jauh sebelum penetapan KPU, elemen pendukung Prabowo sudah bersikukuh tidak mengakui apapun hasil perhitungan KPU dan akan merilis gerakan people power.
Bagi orang seperti Prabowo, dengan latar belakang nama besar keluarga dan segala kejayaannya di masa lalu, menjadi runner-up bisa jadi menyakitkan. Ini memang soal psikologis: tidak semua orang sanggup menerima kekalahan.
Saat menjadi komandan pasukan dulu, Prabowo juga ingin pasukan yang dipimpinnya lebih unggul dibanding satuan yang lain. Rupanya sikap seperti ini terbawa-bawa terus ketika masuk ke ranah politik. Padahal pertarungan di dunia politik lebih kompleks ketimbang pertempuran yang biasa dilakukan pasukan Prabowo—kecuali jika operasi militernya sekelas pendaratan di Normandia, saat Perang Dunia II.
Jejak lain yang juga dibawa Prabowo ke panggung politik adalah rivalitasnya yang terus berlanjut dengan koleganya sesama perwira. Saat masih aktif berdinas dulu, Prabowo selalu ingin unggul dan itulah yang menjadikan rivalnya juga banyak. Salah satu rivalnya itu adalah Luhut Panjaitan (lulusan terbaik Akmil 1970). Tampaknya Prabowo sangat terobsesi untuk “mengalahkan” Luhut.
Jika memang itu yang menjadi niatan Prabowo, nampaknya akan sia-sia juga. Kekalahan Prabowo dalam Pilpres baru-baru ini tidak menjadikan dirinya lebih “rendah” dari Luhut. Bahkan kalau ukurannya adalah jabatan saat penugasan di Kopassus, Prabowo relatif lebih unggul. Posisi tertinggi Luhut di Kopassus adalah Komandan Pusat Pendidikan (dulu disebut Grup 3), posisi yang juga dicapai Prabowo.
Namun setelah menjadi Komandan Grup 3, Luhut ditugaskan di satuan lain, sementara Prabowo terus berlanjut hingga menjadi orang nomor satu di Kopassus. Sementara Luhut selepas Komandan Grup 3, tidak pernah kembali lagi ke Cijantung (Mako Kopassus).
Kemudian soal aspek kesetiaan dari mantan anggota, Prabowo jelas lebih unggul. Beberapa purnawirawan yang kini bergabung dengan Luhut dalam kelompok Cakra 19, seperti Lodewijk F Paulus (Akmil 1981) dan Andogo Wiradi (Akmil 1981), dahulu dikenal sangat setia pada Prabowo. Sebaliknya mereka juga sangat disayang Prabowo. Kesetiaan ini nampaknya masih berlaku sekarang. Hanya karena alasan pragmatisme, mereka seolah “berjarak” dengan Prabowo.
Rivalitas seperti itu mengingatkan kita akan Peristiwa Malari (1974), ketika persaingan segelintir elite (militer) akhirnya mengorbankan rakyat kecil. Begitulah yang terjadi di Jakarta baru-baru ini. Rivalitas antara Prabowo dan Luhut seperti mengulang persaingan antara Ali Moertopo dan Soemitro dulu.
Belajar dari Mr. Assaat
Kekalahan dalam pilpres mungkin tak membuat nama Prabowo tergerus. Prabowo tetap dianggap seorang tokoh besar. Jika dilihat dari angka, Prabowo dipilih oleh lebih 68 juta orang dan partai yang dia pimpin (Gerindra) meraih suara lebih dari 17 juta suara. Bandingkan dengan Partai PKPI yang juga dimotori figur Baret Merah lain, dalam hal ini Hendro Priyono (Akmil 1967) dan Sutiyoso (Akmil 1968). Perolehan suaranya benar-benar minim.
Satu hal yang ingin saya katakan, jabatan presiden bukanlah segalanya. Masih ada wahana terhormat lain bagi orang seperti Prabowo. Pada titik ini kita bisa mengenang Mr. Assaat, mantan Presiden RI sayangnya tidak pernah diakui secara formal. Saya kira nama Mr. Assaat senantiasa masuk dalam memori Prabowo, mengingat Mr. Assaat adalah kawan seperjuangan ayah Prabowo (Sumitro) dalam gerakan PRRI di pedalaman Sumbar pada 1950-an.
Pelajaran yang bisa kita petik dari Mr. Assaat adalah sikap legawa (jiwa besar), sebuah nilai yang diadopsi dari khazanah tradisi jawa, meski Mr. Assaat sendiri asli Minang. Meskipun posisinya sebagai presiden dahulu tidak pernah diakui secara resmi oleh pemerintah RI, Mr. Assaat (termasuk keluarganya) tidak pernah mempermasalahkan. Bila memakai ukuran zaman sekarang, perkara seperti itu tentu akan menjadi bahan gugatan yang menghebohkan.
Keterlibatan Mr. Assaat dalam PRRI tetap tidak bisa membatalkan fakta sejarah, bahwa RI pernah memiliki Presiden bernama Mr. Assaat. Demikian juga Prabowo, kegagalannya melaju ke Istana hari ini, tidak akan menghapus perolehan suaranya dalam Pilpres 2019 dan rasa cinta segenap mantan anggotanya di Korps Baret Merah.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.