tirto.id - Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tak luput dari infeksi COVID-19, banyak di antaranya mereka yang menggelandang dan tak terjangkau layanan kesehatan. Selain itu, hingga kini belum ada protokol yang mengatur soal penanganan khusus bagi mereka.
Di Yogyakarta seorang pria ODGJ berusia 45 asal Kulonprogo meninggal dunia dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) COVID-19. Ia hidup menggelandang sebelum akhirnya meninggal dunia di RSJ Grhasia Yogyakarta.
"Keterangan dari rumah sakit [pasien] sesak nafas dan kesadaran menurun,"
kata Juru Bicara Penanganan COVID-19 Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) Berty Murtinigsih kepada wartawan, Jumat (15/5/2020) lalu.
Namun, pasien tersebut, kata Berty, meninggal dunia belum sempat dilakukan tes polymerase chain reaction (PCR) atau tes dengan diambil swab tenggorok dan hidung. Oleh sebab itu, ia tak dapat diketahui apakah positif atau negatif COVID-19.
Berty mengatakan penanganan COVID-19 pada ODGJ dilakukan dengan standar yang sama. Bagi ODGJ yang masuk kategori PDP dirawat sesuai prosedur, termasuk pemeriksaan baik rapid tes maupun tes swab untuk memastikan diagnosis COVID-19.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DIY nomor 61 Tahun 2020 tentang penetapan rumah sakit rujukan penanggulangan penyakit infeksi emerging tertentu, RSJ Grhasia menjadi satu-satunya rumah sakit jiwa yang dijadikan rujukan.
Direktur RSJ Grhasia Ahmad Akhadi kepada Tirto, Minggu (17/5/2020) mengatakan sejak ditetapkan menjadi rumah sakit rujukan hingga 16 Mei 2020 "RSJ Grhasia telah merawat delapan PDP ODGJ," kata dia.
Dari delapan yang dirawat, dua orang telah menjalani tes swab dan hasilnya negatif COVID-19. Sedangkan satu orang dinyatakan meninggal dunia sebelum dilakukan tes swab.
Delapan orang PDP yang dirawat tersebut, kata Ahmad, memiliki riwayat yang berbeda-beda. Mereka rata-rata merupakan pasien baru, bukan berasal dari pasien ODGJ yang menjalani perawatan di sana.
Ada di antaranya yang diantar keluarganya, datang sudah dengan tanda-tanda mengarah infeksi Covid-19. Kemudian ada yang diantar aparat karena menggelandang, mereka juga datang dengan gejala Covid-19.
Ahmad mengakui untuk melakukan skrining COVID-19 bagi ODGJ ini sulit dilakukan, terlebih bagi ODJG yang hidup menggelandang.
"Skrining pada ODGJ sangat sulit dilakukan, kemudian belum ada protokol skrining pada ODGJ karena riwayat keterpaparan yang sangat tidak jelas," ujarnya.
"Kasus yang meninggal kemarin juga enggak jelas terpaparnya di mana dan kapan. Masuk ke Grhasia kondisi sudah memburuk," tambahnya.
Di RSJ Menur Surabaya juga merawat PDP Covid-19. Direktur RSJ Menur Moch. Hafidin Ilham, Selasa (12/5/2020) mengatakan terdapat satu ODGJ dengan status PDP Covid-19 yang tengah dirawat di ruang isolasi.
"Pasien tersebut rujukan dari RSJ Lawang [Malang]," kata Hafidin.
Pasien tersebut telah menjalani tes PCR atau swab sekali dan hasilnya negatif. Namun, untuk memastikan diagnosis, tes akan diulang sekali lagi.
RSJ Menur menjadi RSJ rujukan Covid-19 di Jawa Timur. Mereka menyediakan ruang isolasi dengan kapasitas 100 tempat tidur yang siap digunakan untuk penanganan Covid-19.
Hingga awal pekan ini, kata Hafidin, dari 100 tempat tidur telah ditempati 52 yang yang sedang menjalani isolasi. Mereka merupakan orang-orang yang depresi akibat terjangkit Covid-19.
"Mereka mengalami depresi dan insomnia akibat wabah ini. Sebenarnya tidak sampai gangguan jiwa, tapi depresi dan insomnia," katanya.
ODGJ Ada yang Kebal & Banyak yang Rentan
Guru Besar Kesehatan Jiwa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Soewadi mengatakan ODGJ banyak jenis dan tingkat. ODGJ yang paling berat tingkatannya adalah skizofrenia undifferentiated atau tidak terdiferensiasi.
Pada penderita dengan tingkatan ini, kata Soewadi, memiliki alam kesadaran hidup mereka sendiri dan biasanya mereka hidup menggelandang. Mereka tidak memiliki rasa takut, cemas, atau gelisah.
"Sehingga protektor-protektor fisik itu malah bekerja dengan baik. Jadi dia tidak rentan terhadap penyakit ini," kata Soewadi kepada Tirto, Minggu (17/5/2020).
Meski mereka memiliki kekebalan dan secara fisik sehat, tetapi karena COVID-19 juga memiliki karakteristik penderitanya tanpa gejala (OTG) maka mereka juga berpotensi menjadi carrier.
Selain itu, penderita skizofrenia lain yang telah memiliki kesadaran, yang disebut Soewadi sebagai "skizofrenia dalam remisi" juga bisa sangat rentan terinfeksi virus termasuk COVID-19.
"Kalau skizofrenia dalam remisi itu justru tidak kebal. Karena dia mulai bisa berpikir realistis. Dia mulai ada rasa takut, ada cemas, dan gelisah. Ini justru yang berbahaya sangat rentan kena Corona. Karena begitu dia tahu kena Corona lalu dia ketakutan," ujarnya.
Oleh karena itu, menurutnya, pemerintah perlu melakukan penanganan khusus terhadap para ODGJ, khusunya bagai para ODGJ yang menggelandang. Mereka, kata Soewadi, perlu dilakukan "skrining".
"Kalau dia OTG dan dia menggelandang kan kasihan orang lain di tempat-tempat dia singgah kan berbahaya bisa terjadi penularan," ujarnya.
"Harusnya kalau memang ada pasien ODGJ semacam itu Dinsos harus segera mengambil dan masukkan ke rumah sakit jiwa dan mestinya dianggarkan juga penanganannya oleh pemerintah," tambahnya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri