Menuju konten utama

PJSI: Perlakuan Rumah Sakit Jiwa Kerap Bikin Pasien Trauma

Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJSI) mengatakan bahwa stigma terhadap penyandang disabilitas mental banyak hadir dari pekerja medis dan pekerja sosial.

PJSI: Perlakuan Rumah Sakit Jiwa Kerap Bikin Pasien Trauma
Petugas Dinas Sosial membuka gembok terali besi pintu ruang pemasungan seorang penderita gangguan jiwa sebelum dibebaskan, di Pucanganom, Kebonsari, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Kamis (16/2). Keluarga memasung penderita gangguan jiwa tersebut selama puluhan tahun karena sering mengamuk dan dianggap dapat membahayakan keselamatan keluarga serta lingkungan. Pihak Puskesmas setempat bersama tim dari Dinas Sosial membebaskan penderita gangguan jiwa tersebut dengan tetap memberikan pengobatan dan pemantauan. ANTARA FOTO/Siswowidodo/kye/17

tirto.id - Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJSI) Teni Rosa Damayanti menyampaikan bahwa stigma terkait disabilitas psikososial justru banyak yang hadir dari para pekerja medis dan pekerja sosial.

“Kami masih menemukan justru stigma soal disabilitas yang tinggi hadir dari para petugas medis. Dan attitude yang paling sulit diubah itu dari pekerja medis dan pekerja sosial,” jelas Yeni saat ditemui di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat, pada Rabu (4/12/2019).

“Itu harus diperbaiki karena aku pikir mereka itu enggak sadar, termasuk sebagian psikiater, bahwa apa yang mereka lakukan itu berdasarkan asumsi-asumsi lama,” lanjutnya.

Stigma atau cara pandang terkait disabilitas psikososial tersebut, jelas Yeni, pada akhirnya memengaruhi bentuk pendekatan kepada kelompok tersebut. Padahal mereka merupakan pihak yang memiliki tanggung jawab lebih untuk membantu penyandang disabilitas.

“Hampir semua orang yang pernah masuk rumah sakit jiwa, itu banyak yang trauma. Bahkan salah satu kenalan saya, takut untuk nonton yang ada adegan rumah sakit jiwa,” ungkap Yeni.

Stigma tersebut juga membuat para tenaga medis yang mengurus kelompok disabilitas psikososial tak manusiawi dalam memperlakukan pasien. Padahal mereka memiliki hak yang sama dengan manusia lain.

Salah satu contoh pelanggaran hak pada penyandang disabilitas psikososial yakni pemasungan. Bahkan pelakunya tak hanya warga, tapi juga panti sosial terdaftar.

“Panti-panti yang kami lihat [melakukan pemasungan] adalah panti-panti yang mendapatkan izin dari dinas sosial, izin operasional, jadi bukan yang ilegal,” ungkap Yeni.

“Jadi negara sudah melakukan pelanggaran karena memberikan izin kepada lembaga yang melakukan pelanggaran HAM ke manusia lain,” tegasnya.

Deputi Direktur HRWG Daniel Awigra pun menyampaikan bahwa ada 18.800 penyandang disabilitas psikososial yang dipasung di Indonesia. “Yang tak banyak diketahui orang adalah bahwa pemasungan tersebut tidak hanya terjadi di rumah-rumah namun juga dilakukan di panti-panti sosial yang mendapat izin dari pemerintah,” ujarnya.

Daniel pun mendesak agar pemerintah bisa menyusun roadmap atau peta jalan yang dalam jangka pendek, melalui Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Hukum dan HAM. Tujuannya, untuk melakukan pengawasan secara berkala terhadap panti-panti di seluruh Indonesia untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas psikososial di panti-panti terpenuhi.

Selain itu, Daniel juga meminta agar pemerintah menyediakan perumahan rakyat yang dapat dijangkau oleh penyandang disabilitas psikososial sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara dalam menyediakan perumahan yang layak bagi mereka.

Baca juga artikel terkait PEMASUNGAN atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Humaniora
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika