Menuju konten utama

Risiko Kecanduan Gawai pada Anak-anak

Penggunaan perangkat bergerak bagi anak-anak, memiliki ragam tujuan. Pemakaian ponsel pintar yang digunakan pada anak-anak bisa punya sisi negatif bila berlebihan.

Risiko Kecanduan Gawai pada Anak-anak
Ilustrasi anak menggunakan gawai. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Anis merengek-rengek dibelikan mainan pada orang tuanya. Sang orang tua tak menggubris, tangis Anis pun makin menjadi. Hingga akhirnya ibu menyodorkan sebuah ponsel pintar kepada Anis. Seketika, tangisan bocah perempuan berusia 3 tahun itu berubah menjadi senyum ceria. Seakan sudah fasih, anak itu langsung memainkan gim di ponsel pintar ibunya.

Tindakan orang tua mendiamkan tangisan anak-anak dengan membiarkan mereka asyik dengan gawai sudah hal umum. Perangkat ponsel pintar maupun tablet, sering dijadikan senjata pamungkas para orang tua untuk menghentikan tangisan anak-anak. Gawai seperti ponsel pintar atau tablet sudah begitu dekat dengan anak-anak di dunia.

Pada 2011, merujuk pemberitaan Independent, setahun selepas iPad diluncurkan oleh Apple, hanya ada 10 persen anak-anak usia di bawah 2 tahun di AS yang memiliki perangkat bergerak. Namun, pada 2013, mengutip data Statista, berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 1,4 ribu orang tua, terungkap satu dari lima anak-anak menggunakan perangkat bergerak setiap hari. Selain di Amerika Serikat, sebuah studi yang dilakukan di Perancis pada 2015 mengungkapkan bahwa anak-anak yang berusia di bawah dua tahun ada 58 persennya menggunakan ponsel pintar atau tablet.

Berdasarkan riset yang dilakukan Tirto, di Jawa-Bali, bagi generasi Z (usia kelahiran dari 1996 hingga sekarang), Samsung didaulat menjadi merek ponsel paling disukai. Persentasenya mencapai 30,7 persen. Berbeda dengan ponsel, bagi generasi Z di Jawa-Bali, tablet tidak begitu diminati. Lebih dari setengah responden mengungkapkan bahwa mereka tidak memiliki tablet.

Sejatinya, hubungan anak-anak dengan benda-benda teknologi telah ada jauh sebelum perangkat bergerak lahir. TV dan konsol video gim, merupakan dua contoh benda berbau teknologi yang telah akrab dengan anak-anak.

Salah satu maraknya penggunaan perangkat teknologi pada anak-anak adalah karena para orang tua, menjadikan perangkat yang mereka berikan itu sebagai “pengasuh” bagi anak mereka. Data yang diungkap Statista menyebut, 60 persen orang tua di Amerika, memanfaatkan tablet atau ponsel pintar, untuk menjaga anak-anak mereka.

Selain itu, survei yang dilakukan Nielsen pada kuartal IV-2016 mengungkapkan cukup banyak alasan mengapa para orang tua memberikan tablet atau ponsel pintar pada anak-anaknya. Alasan “saya dapat melacak lokasinya” memperoleh persentase hingga 80 persen dalam survei itu. Selanjutnya, alasan “saya ingin anak-anak familiar dengan teknologi” didaulat memperoleh 65 persen di survei yang sama.

infografik generasi z

Dengan demikian, memanfaatkan teknologi, ada ragam manfaat yang bisa diperoleh oleh orang tua bagi anak-anak mereka. Selain dimanfaatkan untuk beragam tujuan oleh orang tua, bagi anak-anak, benda-benda teknologi terutama perangkat bergerak, pun memiliki beragam kegunaan bagi mereka.

Pada 2014 di Inggris Raya, merujuk pada Statista, untuk kategori tablet, 86 persen penggunaan alat itu ditujukan untuk bermain gim. Pada kategori ponsel pintar, 79 persen digunakan untuk mengambil foto atau video adalah yang paling utama. Sementara itu, di Jawa-Bali, merujuk riset yang dilakukan Tirto, 75,4 persen generasi Z bermain gim online dengan menggunakan ponsel pintar.

Namun, penggunaan benda-benda teknologi atau perangkat bergerak bagi anak-anak, patut diwaspadai akan dampak buruk yang mungkin ditimbulkan. TV misalnya, benda yang umumnya ditempatkan di sudut favorit ruang keluarga itu, diyakini berdampak pada berkurangnya interaksi antara anak-orang tua.

Selain itu, dalam menggunakan barang-barang teknologi, terdapat suatu istilah bernama screen time. Secara sederhana, screen time merupakan lama waktu seseorang memelototi layar perangkat teknologi, seperti TV, ponsel, maupun perangkat lainnya. Pustipa Dwi Permatasari, seorang guru di Sekolah Kembang, Kemang, Jakarta, menuturkan bahwa seiring usia bertambah, screen time juga akan bertambah.

“Ada yang namanya screen time. Semakin besar usia anak, semakin lama screen time-nya. Anak balita maksimal sejam untuk melihat layar (screen time), layar TV, handphone, komputer itu cuma sejam dalam 24 jam. Itu sudah termasuk video call, nonton, dan lain-lain,” katanya.

Screen time wajib didampingi orang tua. Tidak boleh ditinggal,” kata Puspita menambahkan.

Bila anak merengek meminta tambahan screen time, menurut Puspita, orang tua harus tegas menolak permintaan itu. Screen time, tidak boleh berlebih sesuai dengan usia anak.

Keputusan memberikan patokan waktu bagi screen time memang diperlukan. Sebuah studi yang dilakukan Jennifer Fable dan dipublikasikan dalam laporan berjudul Sleep Duration, Restfulness, and Screen in the Sleep Environment mengungkapkan, bahwa anak-anak yang tidur dekat dengan perangkat berlayar kecil (smartphone/tablet), dilaporkan bahwa durasi tidurnya berkurang rata-rata 20,6 menit. Angka itu, jauh lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang tidur dekat dengan perangkat berlayar besar (TV) yang hanya berkurang durasi tidurnya rata-rata 18 menit.

Dalam ulasan Independent, salah satu perangkat bergerak, tablet diyakini memiliki manfaat yang cukup baik pada anak-anak. Ukuran serta desain tablet ditambah dengan gim interaktif di dalamnya, bisa memberikan stimulus pada anak-anak.

Sayangnya, menurut Puspita, meskipun gim interaktif dianggap baik, gim itu sejatinya masih masuk dalam ketegori satu arah. Anak-anak yang menggunakannya, hanya menatap layar dan mengikuti perintah semata. Tidak ada kegiatan fisik berarti, sebagaimana anak-anak bermain bola dengan ayahnya misalnya.

Selain itu, Mike Levine seorang pakar anak dari New York menuturkan bahwa banyak aplikasi maupun gim yang ditawarkan dengan embel-embel baik bagi pendidikan anak, ternyata tidak memiliki riset yang memadai untuk mendukung klaim tersebut.

Menurut Levine, aplikasi bagi anak merupakan ceruk bisnis yang menggiurkan. Merujuk data yang dipublikasikan Statista, industri aplikasi maupun gim bagi anak-anak memang besar. Dunia gim bergerak (mobile gaming), pada 2017 ini diprediksi menghasilkan pendapatan hingga $2,2 miliar. Meningkat dari pendapatan di 2016 yang baru menyentuh $2,1 miliar.

Pemakaian perangkat bergerak bagi anak sudah sepantasnya dibatasi. Anak-anak, terutama anak-anak sebelum usia sekolah, membutuhkan interaksi fisik untuk membangun bagian parietal cortex di otak mereka. Parietal cortex merupakan bagian di otak yang melakukan proses visual-spasial dan membantu anak-anak memahami sains dan matematika.

Ponsel pintar maupun tablet, tentu tak sebanding dengan masa depan anak-anak kelak saat mereka memasuki usia dewasa. Keputusan tegas dibutuhkan oleh para orang tua demi anak-anak mereka sendiri.

Baca juga artikel terkait ANAK-ANAK atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ahmad Zaenudin
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra