tirto.id - Dunia riset menjadi topik yang banyak diperbincangkan oleh dua calon wakil presiden, Ma’ruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno, dalam Debat Cawapres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019). Di luar visi-misi, keduanya menyatakan pentingnya riset untuk menunjang dunia usaha dan industri.
“Kita harus fokus mengkonsolidasikan agar dunia usaha, (dunia) akademik, dan pemerintah. Banyak hasil riset yang ternyata tidak bersambung dengan yang dibutuhkan dunia usaha,” kata pasangan calon presiden Prabowo Subianto tersebut.
Ma’ruf mula-mula mengemukakan gagasan agar lembaga-lembaga yang menangani riset disatukan, dan ide-ide lain. Jelang akhir sesi debat, wakil calon presiden Joko Widodo itu baru mengatakan penanganan riset juga perlu menggandeng pihak-pihak yang berurusan dengan dunia usaha dan industri.
“Kita juga merencanakan untuk mengikutsertakan semua pihak, tidak hanya pemerintah dan akademisi, tapi juga dudi: dunia usaha dan industri.”
Problem riset di Indonesia sesungguhnya lebih kompleks dibanding soal kontribusinya terhadap sektor usaha dan industri. Kedua cawapres juga hanya menjawab pertanyaan dari panelis tentang kebutuhan riset Indonesia pada 2045 ketika PDB Indonesia menempati peringkat 5 besar dunia.
Bersiap Hadapi (Potensi) Bencana
Meski demikian, hakikat riset itu sendiri sesungguhnya tidak terbatas pada tugas mengembangkan sektor industri atau usaha. Dalam sejumlah kasus, riset ilmiah bahkan harus siap berada di sisi yang berseberangan alias dituduh tidak pro-industri.
Permisalannya bisa mengacu pada kontroversi pemaparan perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko di seminar BMKG, April 2018.
Widjo memprediksi potensi tsunami setinggi 57,1 meter menerjang Pandeglang, Banten. Pendapat tersebut berpijak pada riset berbasis pemodelan. Sayangnya, menurut Widjo, media memberitakannya secara tidak tepat, dan menyebabkan paranoia di antara masyarakat Banten dan sekitarnya.
Banten Hits melaporkan berita soal prediksi tsunami sampai menyebabkan tingkat hunian hotel di kawasan wisata Pantai Anyer, Kabupaten Serang, menurun drastis.
Salah satunya Aston Anyer Beach Hotel yang kehilangan 40 persen pengunjungnya. Sebelum akhirnya menginap, banyak yang memastikan dulu kondisi Pantai Anyer ke Balai Pengkajian Dinamika Pantai milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Kegegeran itu sampai membuat pihak Kepolisian Daerah Banten berencana memanggilnya. Meskipun Widjo tidak jadi dipanggil dan hanya ditelpon Kapolda Banten saja, berita rencana pemanggilan Widjo juga terlanjur membuat publik gempar.
Setelah Pandeglang diterjang tsunami pada Sabtu (22/12/2018), Widjo menyesalkan kontroversi yang bergulir mengenai pemaparannya, yang akhirnya sekadar diperdebatkan dan dipertentangkan.
"Susun rencana kontijensi atau rencana lain, itu kan positif. Kalau itu dilakukan, yang terjadi mungkin bakal berbeda. Dampak tsunami yang sekarang bisa agak diminimalisir. Kita lebih suka pro-kontra dan ribut-ributnya sehingga hasil itu juga tidak ada mitigasi yang lebih baik lagi," kata Widjo kepada Tirto, Jumat (27/12/2018).
Abdul Muhari, Chairman Sentinel Asia Tsunami Working Group, memberi tanggapan serupa melalui kolom bertajuk “Ancaman Tsunami” di Kompas edisi 10 April 2018.
Menurut Abdul, informasi tentang potensi terjadinya bencana di suatu tempat seharusnya bukan untuk diperdebatkan atau dipertentangkan, tapi untuk ditindak lanjuti dengan upaya mitigasi sesegera mungkin.
"Karena bencana tidak akan menunggu, kita yang harus segera bersiap untuk meminimalisasi dampaknya," ujarnya.
Pemanasan Global Musuh Bersama
Contoh lain bagaimana riset justru dimusuhi pelaku industri dalam skala yang lebih luas adalah dalam konteks pemanasan global. Pemanasan global adalah perubahan iklim yang diakibatkan meningkatnya jumlah emisi karbon. Ini bukan opini semata, tapi sudah terbukti melalui berbagai riset ilmiah dari berbagai lembaga kredibel.
Meski ilmiah, ada banyak pihak yang menganggap pemanasan global sebagai rumor belaka, atau terang-terangan menolaknya, apalagi jika yang disalahkan adalah sektor perindustrian.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump, mantan Perdana Menteri Australia Tony Abbott, dan mantan Presiden Republik Ceko Vaclav Klaus adalah barisan pemimpin dunia yang tidak percaya pada pemanasan global. Di level Asia, presiden Filipina Rodrigo Duterte adalah salah satunya.
Duterte menolak kesepakatan pengurangan emisi karbon. Alasannya, sektor perindustrian di Filipina masih bergantung pada energi batu bara dan bahan bakar fosil lainnya. Negara kepulauan di Asia Tenggara itu Duterte nilai belum bisa bergantung pada skema sumber energi terbarukan dan energi bersih.
Ada banyak pebisnis di beragam sektor perindustrian yang satu gerbong dengan tokoh politik, aktivis organisasi, media, maupun penulis blog konservatif yang rajin mengampanyekan pemanasan global sebagai hoaks.
Kampanye tersebut bertujuan untuk melemahkan kepercayaan publik terhadap pemanasan global. Sementara pelaku industri berkepentingan untuk tidak dikekang oleh kebijakan pembatasan emisi karbon karena akan berpengaruh pada laba perusahaan.
Riset Sosial yang Tertatih
Jika ditarik lebih luas serta dalam tujuan memilah yang krusial, Ma’ruf dan Sandiaga turut luput menyebut riset sosial di Indonesia. Pasalnya, merujuk pemaparan dosen FISIP UI Inaya Rakhmani di kanal The Conversation, riset sosial di Indonesiasedang dalam kondisi tertatih.
“Sekitar 74% riset sosial di Indonesia yang dijalankan di universitas negeri adalah penelitian terapan pesanan yang tidak berfokus pada pemahaman mendasar tentang perubahan masyarakat. Akibatnya, masyarakat Indonesia kerap gagap menghadapi fenomena sosial yang seolah terjadi tiba-tiba.”
Menurut hasil riset kolaboratif Inaya, faktor penyebabnya beragam. Salah satunya adalah otonomi universitas negeri untuk mencari pemasukan selain dari anggaran negara menghasilkan komersialisasi jasa pendidikan dan penelitian sosial yang tidak berhubungan langsung dengan kualitas akademis.
Dampaknya adalah kondisi akademis yang kurang pergaulan. Artinya, dosen-dosen ilmu sosial cenderung tertutup, hanya melakukan riset di disiplinnya saja, dan tidak mahir mengkomunikasikan risetnya ke publik.
Inaya menegaskan riset sosial tidak kalah penting dibanding riset bidang-bidang lain. “Analisis sosial yang mawas sejarah, politik, sistem sosial, dan perilaku manusia amat penting untuk memastikan kebijakan yang tepat sasaran dan berkelanjutan,” tulisnya.
Salah Fokus Riset Kesehatan
Meiwita Budiharsana turut menumpahkan kegelisahannya di kanal The Conversation perihal sebuah krisis di dunia penelitian kesehatan di dalam negeri. Guru Besar FKM UI itu mempertanyakan mengapa riset kesehatan jarang memengaruhi perubahan atau pembuatan kebijakan di Indonesia.
Ia mengutip kasus malnutrisi yang membunuh 60-an anak di Papua dan tingginya kematian ibu dan bayi di Indonesia. Untuk penanggulangan maupun pencegahan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) idealnya merumuskan kebijakan berdasarkan bukti yang dikumpulkan dari hasil penelitian timnya.
“Tapi riset saya menunjukkan bahwa para peneliti Badan Penelitian Kesehatan tetap melakukan penelitian dengan topik di luar permasalahan utama pemegang program di Kementerian Kesehatan untuk periode yang sama.”
Meiwita menambahkan Kemenkes sangat jarang menggunakan hasil temuan dari sekitar 1.300 penelitian yang dilaporkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) dalam periode 2011-2015.
“Kebanyakan hasil penelitian tersebut hanya disimpan di rak-rak perpustakaan.”
Situasi tersebut, menurut Meiwita, membuat para peneliti tidak merasa perlu melakukan riset yang dapat menjadi bukti perlunya perubahan kebijakan atau kebijakan baru. Jumlah peneliti di komunitas akademik yang terlibat diskusi perumusan kebijakan kesehatan juga terbatas.
“Aturan akademik penelitian di universitas membatasi ruang lingkup penelitian sebatas menemukan kerangka konsep baru berdasarkan kerangka-kerangka teori yang sudah ada, memetakan beberapa cara pengambilan keputusan pada tingkat daerah atau pusat, atau menguji asumsi-asumsi konvensional yang sudah dikenal di ilmu kesehatan masyarakat.”
Editor: Windu Jusuf