tirto.id - Istilah "resesi" kini menjadi salah satu kata yang banyak disebut di tengah pembicaraan publik. Biasanya, penyebutannya diiringi rasa takut dan cemas. Namun, apa sebenarnya resesi itu?
Resesi ekonomi sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana perekonomian suatu negara sedang memburuk, dikutip dari laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal tersebut dapat dilihat dari PDB yang negatif, meningkatnya pengangguran, maupun pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Imbasnya: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi masif, kinerja instrumen investasi akan menurun sehingga investor cenderung menempatkan dananya pada bentuk investasi yang aman, dan melemahnya daya beli masyarakat lantaran mereka lebih selektif menggunakan uang.
Kenapa istilah resesi banyak disebut? Lembaga seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia memperkirakan bahwa melihat tren inflasi, kenaikan suku bunga, dan berbagai faktor lain, ada ancaman resesi global tahun depan.
IMF menyebut bahwa dengan invasi Rusia ke Ukraina, krisis naiknya biaya hidup karena tekanan inflasi, dan perlambatan di Tiongkok, mereka memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melambat ke 2,7 persen, dibanding 3,2 persen tahun ini. Perkiraan mereka terkait pertumbuhan ekonomi tahun depan juga lebih rendah dari perkiraan mereka di bulan Juli. Menurut IMF, setidaknya satu per tiga ekonomi global akan menghadapi kontraksi tahun ini dan tahun depan.
Sementara studi Bank Dunia pada September lalu juga menyoroti kemungkinan resesi global tahun 2023 mendatang. Resesi ini dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral di banyak negara yang secara bersamaan menaikkan suku bunga, sebagai respons atas inflasi yang semakin melonjak di berbagai negara.
Menurut Bank Dunia, tingkat sinkronisitas kenaikan suku bunga tahun ini belum pernah terlihat selama lima dekade terakhir dan tren itu disinyalir akan berlanjut sampai 2023. Namun, kenaikan suku bunga dan kebijakan ekonomi lain ini mungkin masih belum bisa menurunkan nilai inflasi sebelum pandemi. Kenaikan suku bunga lebih lanjut mungkin diperlukan.
Jika memang demikian—disertai dengan tekanan pasar keuangan, maka pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) global diproyeksikan melambat menjadi 0,5 persen tahun depan, turun dari perkiraan pertumbuhan PDB sebesar 2,8 persen tahun ini.
Tak terkecuali Indonesia, kemungkinan ancaman resesi dalam negeri telah dilontarkan Presiden Joko Widodo pada Oktober lalu. Jokowi mengingatkan soal kondisi dunia saat ini yang ada dalam pusaran “awan gelap,” dan adanya kemungkinan terjadi badai besar atau bayang-bayang resesi tahun depan.
Narasi itu kemudian diamplifikasi oleh sederet influencer yang menyebarkan soal informasi terkait resesi ini dengan beraneka macam balutan konten. Berdasarkan amatan Detik, beberapa konten influencer bersifat edukatif, tetapi ada pula yang berujung promosi, seperti misalnya menawarkan kelas ekonomi.
Padahal, ekonomi Indonesia sendiri sebetulnya diprediksi oleh Bank Dunia untuk masih bertumbuh sebesar 5,1 persen tahun ini dan 5,3 persen tahun depan pada Juni lalu. Teranyar, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa ekonomi Indonesia masih tumbuh sebesar 5,72 persen secara tahunan pada triwulan III 2022.
Lewat kerja sama dengan penyedia layanan survei daring Jakpat, Tim Riset Tirto melakukan survei untuk melihat sentimen dan antisipasi masyarakat terkait prediksi resesi ini. Jakpat sendiri telah mempunyai lebih dari 1,1 juta responden yang tersebar di seluruh Indonesia.
Influencer sebagai Sumber Informasi
Survei Tirto dan Jakpat dilakukan pada 4 November 2022 dan melibatkan 1.513 responden dari 34 provinsi di Indonesia. Mayoritasnya tinggal di Pulau Jawa, yakni Jawa Barat sebanyak 24,26 persen, disusul dengan DKI Jakarta (16,85 persen) dan Jawa Timur (14,34 persen). Sekitar 60 persen dari total responden adalah perempuan.
Sementara dilihat dari latar belakang pekerjaan, sebagian besar responden merupakan ibu rumah tangga (17,98 persen), mahasiswa (12,95 persen), dan wiraswasta (9,12 persen). Mereka banyak berasal dari status ekonomi sosial menengah atau Middle 1, yakni sebanyak 36,81 persen.
Dari hasil survei, diketahui bahwa 92,93 persen responden pernah mendengar soal prediksi adanya resesi global tahun depan. Sebanyak 65,30 persen menilai dirinya tak tahu secara detail, dan 27,63 persen sisanya mengatakan tahu secara cukup detail.
Di antara kelompok responden yang pernah mendengar isu prediksi resesi global, kebanyakan dari mereka menyatakan pertama kali tahu informasi ini dari influencer, baik melalui platform Instagram, Twitter, YouTube, Tiktok, atau Facebook (40,90 persen). Tak ada sumber informasi lain, termasuk media, yang mendekati angka ini, sehingga bisa dibilang bahwa sumber informasi utama publik soal resesi ini ternyata berasal dari para influencer.
Sumber informasi populer selanjutnya, meski di bawah 30 persen, adalah laporan media dan percakapan warganet di media sosial. Sementara laporan riset organisasi tertentu seperti Bank Dunia dan IMF menempati urutan keempat, yakni sebanyak 7,18 persen. Angka ini sangat rendah dibanding sumber informasi lain.
Menyikapi perkiraan resesi ini, lebih dari setengah responden merasa cukup khawatir. Bahkan ada juga yang mengaku sangat khawatir, persentasenya sebesar 12,94 persen. Namun persentase responden yang menjawab pilihan itu tidak jauh berbeda dengan yang menyatakan tidak khawatir (12,80 persen). Lalu sekitar 1,71 persen lainnya memilih jawaban “sangat tidak khawatir.”Pengalaman melewati krisis selama pandemi dan kepercayaan terhadap kekuatan fundamental ekonomi Indonesia rupanya menjadi alasan utama responden merasa tidak khawatir terhadap proyeksi resesi tahun depan. Presentase keduanya sama besar, masing-masing sejumlah 53,45 persen. Pada pertanyaan ini, responden boleh memilih lebih dari satu jawaban.Jawaban populer di urutan selanjutnya terkait alasan responden tak khawatir soal resesi global tahun depan adalah bahwa tabungan mereka masih mencukupi, akan tetapi opsi ini memang banyak dipilih oleh kelompok responden dengan status ekonomi sosial atas.Di lain sisi, beberapa responden melandasi ketidakhwatiran mereka dengan alasan relijius. Hal tersebut terlihat dalam opsi “lainnya,” di mana kebanyakan responden kurang lebih menjawab “punya Tuhan yang Maha Esa” atau “percaya rejeki sudah diatur oleh Tuhan.”
Dengan tipe pertanyaan yang sama yaitu boleh memilih lebih dari satu jawaban, kami juga menanyakan terkait perubahan manajemen keuangan personal buntut prediksi resesi tahun depan. Dari 1.406 responden, sebagian besar (65,72 persen) memilih mengurangi pengeluaran yang mereka anggap tidak penting. Itu artinya masyarakat kian selektif dalam mempergunakan uangnya.
Lima besar jawaban lainnya berturut-turut adalah mencari sumber pendapatan tambahan, lebih banyak menabung, melunasi utang piutang, dan memindahkan aset ke investasi berisiko rendah.Di luar pilihan itu terdapat 1 responden yang menggunakan strategi ketahanan pangan dalam menyiasati kondisi ke depan, yakni dengan berusaha menanam tanaman yang dibutuhkan untuk asupan makan, seperti singkong, cabe, dan sayur-sayuran.
Secara keseluruhan ada juga responden yang tidak melakukan perubahan apapun terkait keuangan personalnya, jumlahnya sebanyak 5,19 persen.
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa mayoritas khawatir terkait resesi global tahun 2023 dan mulai mengencangkan ikat pinggang, termasuk dengan mengurangi pengeluaran tak perlu.
Editor: Farida Susanty