tirto.id - Ketika orang Barat sampai di Kepulauan Nusantara, mereka telah cukup akrab dengan beberapa penyakit seperti cacar, malaria, dan sifilis. Namun, ada penyakit tertentu yang hanya djumpai di Asia Tenggara dan membuat mereka heran. Salah satunya adalah beri-beri.
Menurut Jacobus Bontius, naturalis dan ahli medis Belanda, penyakit itu disebut demikian karena gejala yang tampak mengingatkan orang-orang terhadap biri-biri. Penyakit itu membuat kaki penderitanya lemah sehingga cara jalan mereka jadi mirip biri-biri.
Berita-berita awal tentang penyakit ini datang dari surat-surat orang Portugis yang dikirim dari Maluku pada pertengahan abad ke-16. Bontius adalah salah seorang yang pertama mengidentifikasikan penyakit aneh itu pada tahun 1629. Seturut penelusuran Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid I (2014, hlm. 69), penyakit itu menjadi pandemi di Maluku hingga seabad kemudian.
Selama abad ke-17 hingga ke-19, kabar-kabar tentang penyakit ini terus bermunculan. Kenneth J. Carpenter dalam Beriberi, White Rice, and Vitamin B (2000, hlm. xi) menyebut gejala-gejala yang umum ditemui adalah melemahnya kaki dan diikuti mati rasa. Pada kasus lain, beri-beri sampai membuat kaki bengkak lalu berakhir dengan gagal jantung dan kematian.
Tak hanya di Asia Tenggara, kasus beri-beri juga dijumpai di Sri Lanka, Tiongkok, dan Jepang. Orang Jepang menyebut penyakit ini kakke, dan orang Brasil menamainya perneiras alias penyakit kaki. Kasus beri-beri juga menjangkiti nelayan-nelayan di lepas pantai Labrador. Sekitar dua abad, beri-beri diyakini sebagai infeksi miasma—penyakit yang disebabkan kuman dari rawa atau tanah—dan sirkulasi udara yang buruk.
Riset medis yang intensif untuk mengungkap misteri penyakit ini baru dilakukan pada paruh kedua abad ke-19. Laporan-laporan medis perihal beri-beri dari kurun ini datang dari para dokter angkatan laut.
Analisis baru soal penyebab beri-beri dipublikasikan di Geneeskundig Tijdschrift van de Zeemacht (Jurnal Medis Angkatan Laut) oleh L.F. Praeger, petugas kesehatan di Angkatan Laut Kerajaan Belanda, pada tahun 1863 dan 1870. Praeger menengarai bahwa beri-beri disebabkan oleh asupan makanan yang tak memadai. Namun, saat itu gagasan ini malah menuai penentangan.
Baru satu dekade kemudian hipotesis Praeger itu mendapat dukungan. Neurologis Antoine Keyser dari Universitas Radboud, Belanda, dalam “Beriberi: A Survey” dari bunga rampai The Medical Journal of The Dutch Indies 1852-1942: A Platform for Medical Research (2017, hlm. 300) menyebut studi tentang persebaran beri-beri di kalangan pelaut yang dilakukan dokter angkatan laut Frederik J. van Leent.
Menurut dokter van Leent, beri-beri lebih sering menjangkiti warga pribumi daripada orang Eropa. Ia menemukan bahwa faktor perbedaan makanan antara pelaut pribumi dan Eropa mungkin jadi musabab penyakit ini. Pasalnya, dokter van Leent mendapati pribumi umumnya hanya makan nasi putih. Sementara orang Eropa yang juga makan nasi putih, mendapat jatah daging dan sayuran.
“Jadi van Leent yakin bahwa faktor menu diet, yaitu kurangnya suatu unsur gizi dalam makanan mungkin menimbulkan semacam defisiensi dan gangguan saraf yang merusak fungsi normal tubuh. Dia lantas memperkaya menu diet pelaut-pelaut pribumi dan mendapati mereka pulih dengan segera,” tulis Antoine Keyser (hlm. 301).
Investigasi Pekelharing-Winkler: Infeksi Bakteri
Observasi para dokter angkatan laut itu membuat dua kubu dalam penelitian beri-beri, yakni teori infeksi miasma dan teori defisiensi. Namun, saat itu teori defisiensi belum menemukan pijakan ilmiah yang kuat.
Sementara riset terus dilakukan, kasus beri-beri justru meningkat signifikan di beberapa daerah di Hindia Timur. Pandemi ini berbarengan dengan kampanye pax neerlandica--politik kolonial yang menjadikan kesatuan Nusantara berada di bawah kekuasaan Belanda. Beri-beri menyerang serdadu-serdadu Belanda di beberapa daerah yang dilanda perang. Antoine Keyser (hlm. 304) mencatat pandemi juga terjadi di penjara dan institusi mental.
Akibat pandemi ini, kekuatan militer Belanda jadi berkurang. Para serdadu yang terserang beri-beri lalu dikirim ke Padang untuk pemulihan. Kejadian ini membuat gusar pemerintah Hindia Belanda dan bahkan menteri kolonial di Belanda, yang kemudian berinisiatif melakukan riset beri-beri yang lebih mendalam dan mencari solusi final atas penyakit ini.
Maka diutuslah patolog C.A. Pekelharing dan neurolog C. Winkler ke Hindia Belanda untuk keperluan riset ini pada tahun 1886. Penelitian mereka berpusat di Batavia dan dibantu oleh Christiaan Eijkman, seorang dokter militer cum patolog muda.
Mereka melakukan penelitian neurologis dan analisis bakteriologi terhadap pasien Rumah Sakit Militer Weltevreden. Pekelharing-Winkler punya hipotesis bahwa penyakit ini menular. Setelah setahun bekerja, Pekelharing menemukan micrococcus dalam darah pasien beri-beri. Mereka kemudian menyimpulkan bahwa beri-beri disebabkan oleh infeksi bakteri. Diketahui pula bahwa beri-beri adalah semacam polineuritis—kelumpuhan saraf motorik.
Sebelum kembali ke Belanda, Pekelharing-Winkler sempat menginisiasi pembentukan laboratorium mikrobiologi dan anatomi patologis. Dokter Eijkman kemudian menjadi pemimpin laboratorium dan meneruskan riset beri-beri.
Riset Eijkman-Grijns: Sekam & Kacang Hijau
Penelitian yang dilakukan Eijkman terhadap beri-beri berbeda dengan riset Pekelharing-Winkler, sebab ia memilih untuk menyusun metodenya sendiri. Eijkman melakukan serangkaian pengamatan pada ayam yang punya gejala polineuropati atau kerusakan saraf seperti manusia. Gangguan polineuritis ternyata terjadi pada ayam yang beri pakan beras putih.
Lalu secara kebetulan gejala polineuritis itu berangsur menghilang. Usut punya usut, hal itu terjadi setelah beras diganti. Awalnya ayam di laboratorium itu diberi pakan beras yang biasa dikonsumsi oleh pasien rumah sakit militer. Lalu pakan tersebut diganti dengan beras dari pasar umum. Kejadian ini mendorong Eijkman pada sebuah kesimpulan bahwa kemungkinan memang ada kaitan antara komposisi diet dengan beri-beri.
Eijkman lalu melakukan serangkaian percobaan pemberian pakan berbeda pada ayam-ayamnya. Ia menemukan ada perbedaan antara beras giling bersih dan giling kasar. Pada tahun 1896, ia sampai pada asumsi bahwa ada semacam racun dalam beras yang jadi penyebab beri-beri dan zat penawarnya ada pada kulit ari atau sekam padi.
“Menurutnya, ‘zat protektif’ ini—belakangan dikenal sebagai vitamin—tidak hanya terdapat pada sekam padi, tapi juga pada bahan makanan lain, seperti daging. [...] Dia berasumsi racun itu mungkin terbentuk di saluran pencernaan,” catat W.F. Donath dan A.G. van Veen dalam “A Short History of Beri-beri Investigations in the Netherlands Indies” dalam bunga rampai Science and Scientists in the Netherlands Indies (1945, hlm. 76).
Sayang sekali eksperimen Eijkman harus terhenti pada 1896. Ia terpaksa pulang ke Belanda karena sakit, meski semangatnya meneliti beri-beri tak luntur. Pada 1898—saat ia telah diangkat jadi profesor di Universitas Utrecht—ia menerbitkan sebuah artikel berdasarkan riset di Hindia Belanda.
Penelitian Eijkman di Hindia Belanda lalu dilanjutkan oleh dokter Gerrit Grijns. Sejak lama dokter Grijns adalah pendukung teori Eijkman, tetapi ia tak sepaham soal adanya racun dalam beras. Melalui eksperimennya ia menunjukkan tidak adanya faktor beracun pada beras putih, baik yang digiling halus maupun kasar. Ia juga berhasil mengidentifikasi bahwa zat penawar--sebagaimana yang ditengarai Eijkman--memang terdapat pada sekam dan kacang hijau.
Teori Eijkman tentang zat penawar pada kulit ari padi juga mendapat dukungan dari Adolphe Vonderman, inspektur Departemen Kesehatan kolonial. Pada 1897, ia menerbitkan hasil risetnya atas data-data menu diet dan jumlah pasien beri-beri dari 101 penjara di Jawa dan Madura.
“Hasil survey ini meyakinkan: di penjara dengan konsumsi beras merah atau beras giling kasar, jarang ada kasus beri-beri. Sementara di penjara yang mengkonsumsi beras giling halus lebih banyak ditemukan kasus beri-beri. Setelah semua penjara mengubah menu dietnya dari beras giling halus menjadi beras giling kasar, tercatat adanya penurunan kasus beri-beri,” tulis Antoine Keyser (hlm. 305).
Ketika mengetahui kesimpulan-kesimpulan Vorderman, Eijkman mendapati bahwa hal itu sejalan dengan eksperimen ayamnya dulu. Kini, teori defisiensi yang mulanya ditengarai oleh para dokter angkatan laut itu mulai mendapat pijakan ilmiah yang lebih kuat. Meski demikian, teori itu tetap mendapat keberatan dari beberapa ilmuwan lain.
Pertentangan antara dua teori tersebut sempat meredup pada pergantian abad. Saat itu pun pelbagai riset tentang beri-beri yang diterbitkan di jurnal ilmiah jumlahnya menurun. Namun, hal tersebut tak berlangsung lama. Seperti ditulis Donath dan van Veen (hlm. 77), minat pada riset beri-beri kembali bangkit pada 1905.
Ketika itu pendukung teori miasma mulai mundur teratur. Sementara teori defisiensi Eijkman dan Grijns mendapat banyak dukungan setelah makin banyaknya riset lanjutan. Salah satu yang menonjol adalah riset Hulshoff Pol, direktur bangsal kesehatan mental Bogor. Hulshoff Pol berhasil memperkuat riset Grijns tentang khasiat kacang hijau sebagai pencegah beri-beri.
“Pada tahap ini, teori Eijkman bahwa beri-beri disebabkan oleh defisiensi pada menu diet diterima secara umum, meski beberapa kolega Eijkman tidak setuju soal beberapa rinciannya,” tulis Donath dan van Veen.
Sejak itu, penelitian beri-beri memulai kecenderungan baru: mengidentifikasi zat penawar yang terkandung dalam kulit ari beras.
Editor: Irfan Teguh