tirto.id - Senin, 16 Oktober 2023, bisa jadi tercatat menjadi salah satu hari yang bersejarah bagi perjalanan proses demokrasi di tanah air.
Pada hari itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Surakarta, Almas Tsaqibbirru Re A. mengenai uji materi pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (Pemilu).
Dalam putusannya, MK mengubah klausul bahwa presiden dan wakil presiden harus “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” menjadi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Putusan MK itu lalu menimbulkan perhatian dan respons yang beragam dari publik. Hasil survei yang dilakukan Lembaga Indikator Politik Indonesia, dari 27 Oktober hingga 1 November 2023, mengungkap bahwa 52,2 persen responden mengetahui tentang putusan MK tersebut. Sementara, 47,8 persen tidak tahu dengan putusan tersebut.
Lebih lanjut, survei yang melibatkan 1.220 orang tersebut mengungkap, 63,7 persen responden yang mengetahui putusan MK tersebut mengaku setuju dengan putusan tersebut. Sementara, hanya 33 persen yang kurang/tidak setuju dengan putusan tersebut.
Senada, temuan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang dilaksanakan pada 16-18 Oktober 2023, mencatat, sebanyak 46 persen responden setuju dengan keputusan MK ini. Responden sisanya memilih kurang/tidak setuju (39,3 persen) dan tak bersedia menjawab (9 persen). Survei ini melibatkan 1.229 responden.
Putusan MK ini juga turut mengubah peta konstelasi politik nasional, khususnya dalam konteks Pilpres 2024. Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, dimungkinkan untuk menggandeng putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, yang per November tahun ini baru berusia 36 tahun. Gibran, yang saat ini menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, bisa memenuhi syarat calon presiden berkat putusan MK tersebut.
Hal tersebut pun lantas memantik pertanyaan besar lanjutan, bagaimana persepsi dan pandangan dari kalangan pemilih muda terhadap keberadaan para pemimpin muda yang akan berkontestasi di Pemilu 2024 mendatang?
Perlu diketahui, dari total jumlah pemilih, suara pemilih muda memegang proporsi raksasa. Menurut data Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI), Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional untuk Pemilu 2024 sebesar 204,8 juta jiwa. Dari jumlah itu, lebih dari 50 persen pemilih diantaranya merupakan pemilih muda.
Sementara, hasil surveiTirto pada Juli 2023 juga mengungkap proyeksi partisipasi pemilih muda pada pemilu nanti juga terbilang besar. Dari total 1.500 orang berusia 17-21 tahun yang diidentifikasi sebagai pemilih muda dalam survei ini, mayoritas mengaku akan menyumbangkan suaranya pada Pemilu 2024, sebesar 96,07 persen.
Temuan riset Tirto dan Jakpat juga merekam bahwa 91,67 persen responden akan menggunakan hak pilihnya pada pemilihan presiden dan wakil presiden dan 61,28 persen akan menggunakan hak pilihnya pada pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota).
Lebih lanjut, untuk memotret lebih dalam terkait persepsi pemilih muda terhadap pemimpin muda, Tirto bekerja sama dengan Jakpat, penyedia layanan survei dengan lebih dari 1,3 juta pengguna yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Metodologi
Jumlah responden: 1.500 orang
Waktu survei: 24 November 2023
Wilayah riset: Indonesia, tersebar di 34 provinsi
Instrumen penelitian: Kuesioner daring dengan Jakpat sebagai penyedia platform
Jenis sampel: Non-probability sampling (semua responden adalah responden Jakpat dengan profil yang acak)
Margin of Error: Di bawah 3 persen
Profil Responden
Riset ini melibatkan pemilih muda berusia 17 – 39 tahun, dengan komposisi terbanyak yakni kelompok umur 30 – 35 tahun (29,47 persen). Kemudian, komposisi usia responden diikuti mereka yang berada pada rentang 20 – 25 tahun (26,07 persen), 26 – 29 tahun (23,47 persen), 36 – 39 tahun (14,80 persen), dan di bawah 20 tahun (6,20 persen).
Jenis kelamin responden relatif seimbang dengan proporsi responden laki-laki sebanyak 49,80 persen dan perempuan sebanyak 50,20 persen. Sebagian besar responden merupakan lulusan SMA/Sederajat dengan persentase sebesar 54 persen.
Disusul, responden yang mempunyai latar pendidikan terakhir S1 (30,87 persen), D3 (6,20 persen), dan SMP/sederajat (4,80 persen). Sementara mereka yang berpendidikan S2 dan D1 masing-masing berjumlah 1,33 persen dan 1,13 persen.
Seiring dengan banyaknya persentase generasi Milenial usia 30 – 35 tahun, jumlah latar belakang “pekerja” pun mendominasi profesi responden. Beberapa dari mereka bekerja sebagai wirausaha (9,53 persen) dan ada pula yang melakoni pekerjaan di bidang food and beverage (5,20 persen), pendidikan dan penelitian (4,60 persen), serta ritel (4,40 persen).
Sisanya, sebanyak 19,40 persen berprofesi sebagai ibu rumah tangga, 14,33 persen sebagai pelajar dan mahasiswa, dan 12,93 persen tidak bekerja.
Dari segi domisili, responden berasal dari seluruh daerah di Indonesia, meskipun kebanyakan berasal dari Pulau Jawa dengan persentasenya mencapai 80,53 persen. Mayoritas responden dari Pulau Jawa tersebut tinggal di Provinsi Jawa Barat (27,53 persen), Jawa Timur (17,60 persen), dan Jawa Tengah (14,07 persen).
Selain itu, responden juga tersebar di wilayah lain, merentang dari Pulau Sumatera (10 persen), Pulau Kalimantan (3,67 persen), Sulawesi (2,53 persen), Bali (1,13 persen), Maluku (0,53 persen), hingga Papua (0,27 persen).
Percaya Individu Muda Dapat Bertanggung Jawab di Posisi Pemerintahan
Dalam artikel periksa data sebelumnya, Tirto membahas hasil survei bagian pertama yang merekam bahwa mayoritas responden, 64,20 persen menyatakan aspek usia dianggap penting dalam memilih pejabat pemerintahan.
Pejabat pemerintahan yang dimaksud yakni mereka yang memegang jabatan eksekutif maupun legislatif, mulai dari presiden, wakil presiden, wali kota, bupati, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD).
Survei ini juga menunjukan besarnya persentase responden yang menilai positif potensi individu di bawah 40 tahun untuk menduduki posisi politik.
Meski tak segemuk persentase responden yang memilih netral, di mana jumlahnya mencapai 47,53 persen, proporsi responden yang menyatakan “agak positif” dan “sangat positif” berada di level 43,40 persen. Angka itu jauh melampaui mereka yang menilai “agak negatif” dan “sangat negatif”. Jumlahnya tak sampai 10 persen.
Hal itu kemudian memunculkan kemungkinan yang besar di kalangan responden dalam memilih kandidat capres, wali kota/bupati, dan anggota legislatif, di bawah 40 tahun. Di tingkat presiden misalnya, jumlah responden yang memilih opsi “mungkin” dan “sangat mungkin” untuk mendukung capres berusia di bawah 40 tahun mencapai 58,20 persen.
Di tingkat DPR/DPRD dan wali kota/bupati angkanya lebih tinggi lagi. Sekira 63,33 persen menyatakan mereka “mungkin” dan “sangat mungkin” untuk mendukung kandidat DPR/DPRD berusia di bawah 40 tahun. Sementara, dalam konteks wali kota/bupati, sekitar 67,40 persen mengaku “mungkin” dan “sangat mungkin” mendukung wali kota/bupati di bawah 40 tahun.
Lebih lanjut, survei yang dilakukan Tirto bekerja sama dengan Jakpat mengungkap, tingginya kemungkinan untuk memilih kandidat di bawah usia 40 tahun tersebut salah satunya disebabkan karena sebagian besar responden (56,2 persen) mengaku percaya bahwa individu muda (di bawah usia 40 tahun) dapat bertanggung jawab di posisi pemerintahan.
Rinciannya, 18,67 persen responden dari total 1.500 orang, mengaku percaya sepenuhnya bahwa pejabat pemerintah berusia muda dapat bertanggung jawab di posisi pemerintahan, sementara 37,53 persen mengaku percaya sampai batas tertentu. Jumlahnya lebih besar dari mereka yang menjawab netral (37,13 persen) dan yang menjawab tidak percaya (6,66 persen).
Tingginya kepercayaan responden terhadap pemimpin muda tersebut lantas menimbulkan pertanyaan lanjutan, apakah keberadaan pemimpin daerah atau wakil rakyat berusia muda yang ada saat ini telah memberi pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan?
Pemimpin Muda Beri Pengaruh Signifikan Terhadap Kebijakan
Barangkali kepercayaan yang cukup tinggi terhadap pemimpin muda ini ada hubungannya dengan kinerja anak-anak muda yang telah berada di berbagai posisi pemerintahan saat ini. Sebagian besar responden survei (52,53 persen) menganggap bahwa keberadaan pemimpin daerah atau wakil rakyat berusia muda yang ada saat ini memberi pengaruh signifikan terhadap kebijakan.
Meski begitu, angka yang menjawab bahwa keberadaan mereka tidak memberi pengaruh signifikan terhadap kebijakan juga terhitung tinggi, yakni sebesar 38,47 persen. Dengan rincian 34,07 persen responden menjawab tidak terlalu berpengaruh dan 4,40 persen menjawab tidak sama sekali. Sementara, 9 persen responden mengaku tidak tahu.
Lebih lanjut, mayoritas pemilih muda yang menjadi responden dalam survei ini (56,87 persen) percaya bahwa keberadaan mereka (penduduk berusia di bawah 40 tahun) sudah cukup diwakili dalam struktur politik saat ini. Sementara, 22,13 persen responden mengaku tidak yakin dan 21 persen lainnya menjawab tidak.
Temuan tersebut bisa jadi berarti bahwa sebagian besar para responden pemilih muda dalam survei ini merasa sudah cukup diwakili dalam struktur politik saat ini. Tirto lantas memberikan pertanyaan lanjutan terkait proporsi ideal dari penduduk berusia di bawah 40 tahun yang menduduki kursi legislatif (anggota DPR) pada survei ini.
Hasil survei mengungkap sebagian besar (49,60 persen) responden menjawab 10-25 persen. Disusul, 30,60 responden yang menjawab 26 – 50 persen. Sisanya, sebesar 12,40 persen responden menjawab proporsi idealnya adalah di bawah 10 persen dan ada juga sebesar 7,40 persen responden yang menjawab proporsi ideal dari penduduk berusia di bawah 40 tahun yang menduduki kursi anggota DPR adalah di atas 50 persen.
Perlu diketahui bahwa saat ini, dari total 575 anggota DPR-RI, terdapat 86 orang yang berusia di bawah 40 tahun. Dengan kata lain, anak muda di bawah 40 tahun saat ini memiliki persentase sekitar 15 persen dari total anggota DPR-RI. Artinya, jumlah tersebut sudah sesuai dengan proporsi ideal sebagian responden pemilih muda dalam survei ini. Sekaligus, sejalan dengan mayoritas responden pemilih muda yang merasa sudah diwakili dalam struktur politik saat ini.
Sementara, dikutip dari laman dataindonesia.id, berdasarkan data daftar calon tetap (DCT) KPU-RI, jumlah caleg berusia di bawah 40 tahun (21-40 tahun) yang akan berkontestasi di Pemilu 2024 nanti berjumlah 3.202 orang atau sekitar 32,2 persen dari total DPT yang berjumlah 9.917 orang. Dengan rincian 1.473 orang caleg berusia dalam rentang 21-30 tahun dan 1.729 orang lainnya berada di rentang usia 31-40 tahun.
Dukung Pemimpin Muda yang Memiliki Pengalaman dalam Kepemimpinan
Tingginya kepercayaan terhadap pemimpin muda untuk dapat duduk di posisi pemerintahan seharusnya dapat memantik sikap partai politik untuk mempersiapkan dan mencetak generasi-generasi muda berkualitas untuk mengisi posisi-posisi penting di pemerintahan.
Terkait hal tersebut, ketika ditanya terkait langkah-langkah khusus apa yang dapat diambil oleh partai politik untuk lebih mempersiapkan individu muda untuk posisi pemerintahan, jawaban terbanyak yang diberikan responden adalah memberikan kesempatan untuk terlibat secara politik sejak dini (69,67 persen). Disusul, memberikan pendidikan atau pelatihan khusus, sebesar 69,47 persen, dan program mentoring 57,87 persen.
Tingginya respon pemilih muda yang menginginkan untuk diberi kesempatan untuk terlibat secara politik sejak dini sebelumnya pernah disinggung Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar.
Menurut Bahtiar, langkah pemerintah terkait politik di kalangan pemuda masih lebih fokus pada partisipasi ketimbang substansi.
”Soal anak muda, ada kebutuhan mendasar seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang belum mampu disediakan secara maksimal oleh pemerintah,” ucap Bahtiar di Jakarta, Senin (26/6/2023), dinukil dari Kompas.
Belum lagi dalam ranah politik. Menurutnya, regulasi yang ada saat ini belum bisa memfasilitasi anak muda untuk bisa terlibat aktif di ruang politik praktis. Inilah yang menyebabkan secara sistemik anak muda seolah dijauhkan dari keterlibatan politik, terutama parpol.
Selanjutnya, survei ini juga mengungkap bahwa pengalaman memimpin rupanya menjadi salah satu faktor kunci di balik dukungan pemilih muda terhadap pemimpin muda.
Salah satu pertanyaan di survei ini berbunyi, “Apakah anda lebih cenderung mendukung seorang kandidat muda untuk posisi di pemerintahan jika mereka menunjukkan pengalaman yang substansial dalam peran kepemimpinan lainnya (misalnya memimpin sebuah perusahaan atau organisasi)?".
Untuk pertanyaan tersebut, sebagian besar responden (48,33 persen) memilih jawaban netral. Menyusul, 43 persen mengaku secara signifikan cenderung mendukung seorang kandidat muda untuk posisi di pemerintahan jika mereka menunjukan pengalaman yang substansial dalam peran kepemimpinan lainnya. Sementara, 7,47 persen menjawab tidak terlalu signifikan dan 1,20 persen menjawab sama sekali tidak.
Sebagai informasi, hasil temuan ini berkaitan dengan survei yang dilakukan Tirto kepada pemilih muda (17-21 tahun) pada Juli lalu. Ketika mereka ditanya aspek apa yang dipertimbangkan dalam memilih presiden, pengalaman memimpin menjadi prioritas kedua yang paling banyak dipilih responden (22,69 persen) sebagai aspek yang paling menjadi pertimbangan pemilih pemula dalam memilih calon presiden.
Berbicara soal pengalaman memimpin, temuan menarik lain dari survei ini mengungkap bahwa sebesar 38,87 persen responden mengaku cenderung memilih kandidat pemimpin berusia 40 tahun jika ia berkolaborasi atau berafiliasi dengan politisi yang lebih tua dan pengalaman.
Lebih lanjut, 11,87 persen mengaku tidak berpengaruh. Rinciannya, 9,80 persen mengaku tidak terlalu berpengaruh dan 2,07 persen tidak berpengaruh sama sekali. Dan, sebagian besar responden (49,27 persen) mengaku netral.
Editor: Farida Susanty