tirto.id - Akhir November, pemerintah kembali mewacanakan pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) yang dianggap tidak Pancasilais melalui revisi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas. Revisi ini diusulkan untuk mempermudah pemberian sanksi kepada ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Rapat koordinasi antar-institusi pun telah digelar di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) pada 29 November. Rapat yang dihadiri sejumlah pejabat teras itu telah menyepakati satu hal: pemerintah akan melengkapi payung hukum untuk menindak ormas yang melanggar ketentuan undang-undang dan bertentangan dengan Pancasila.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Ditjen Polpum) Kemendagri Soedarmo mengatakan, rencana revisi UU No 17 tahun 2013 ini agar sesuai dengan perkembangan zaman dalam mengantisipasi menjamurnya ormas yang tidak Pancasilais.
“Nanti coba kita revisi, apakah undang-undang ini sudah sesuai dengan kondisi sekarang apa belum. Kalau belum memang ini kita coba masukkan ke revisi, kalau memang ada hal yang belum sesuai dengan kondisi sekarang,” ujarnya dikutip Antara.
Wacana pembubaran ormas ini juga pernah disampaikan Mendagri Tjahjo Kumolo saat rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, pada Juni 2016. Saat itu, Tjahjo bahkan mengaku sudah melakukan koordinasi dengan Kejaksaan dan Polri terkait rencana tersebut. Hasil koordinasi tersebut telah disebar ke seluruh pemerintah daerah agar menjadi pegangan.
Rencana revisi ini sebagai bentuk antisipasi pemerintah untuk menertibkan ormas yang berpotensi meresahkan masyarakat dan membahayakan kesatuan NKRI. Pemerintah berdalih, selama ini sanksi yang dijatuhkan kepada ormas yang melanggar ketentuan terlalu berbelit-belit, karena ada masa waktu proses pemberian sanksi sehingga perlu disederhanakan.
Mekanisme Pembubaran Ormas
Pertanyaannya adalah benarkah mekanisme sanksi yang berlaku dalam UU No. 17 tahun 2013 tentang Ormas ini berbelit-belit?
Kalau ditilik dari aturan yang berlaku dalam UU tersebut, ketentuan sanksi bagi ormas yang melanggar memang sangat detail. Secara keseluruhan, ada 23 Pasal [Pasal 60 hingga Pasal 82] pada BAB XVII yang khusus membahas soal sanksi. Namun, sebenarnya ketentuan tersebut dapat disederhanakan menjadi beberapa tahapan, sebelum ormas yang melanggar itu dapat dibubarkan.
Pada tahap pertama, ormas yang melanggar ketentuan dapat dijatuhi sanksi administratif. Misalnya, pada Pasal 60 ayat (1) dijelaskan, pemerintah atau pemerintah daerah (pemda) sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 59 UU Ormas. Meskipun begitu, pemerintah atau pemda diharuskan terlebih dahulu melakukan upaya persuasif sebelum menjatuhkan sanksi administratif ini.
Selanjutnya, jika ormas yang dijatuhi sanksi administratif atau sanksi tertulis tidak menghiraukannya hingga tiga kali, maka pemerintah bisa menghentikan sementara kegiatan ormas yang dinilai melanggar itu. Apabila sanksi ini juga belum dipatuhi, maka pemerintah bisa menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum.
Namun, ada catatan yang harus digarisbawahi saat sanksi pencabutan status badan hukum ini diambil. Yaitu, permohonan pembubaran ormas berbadan hukum diajukan ke pengadilan negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Kemudian, permohonan pembubaran ormas ini harus diputus oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan dicatat. Jangka waktu ini dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
“Putusan pembubaran ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum,” demikian bunyi Pasal 71 ayat (3) UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Ormas.
Kalau dilihat sekilas, ketentuan pemberian sanksi hingga pembubaran ormas memang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga pemerintah beranggapan sanksi pembubaran ormas yang dinilai tidak Pancasilais terkesan bertele-tele.
Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif kebebasan berekspresi, mekanisme pemberian sanksi hingga pembubaran ormas dengan berbagai tahapan tersebut justru mencerminkan sikap kehati-hatian pemerintah, sehingga tidak berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam Pasal 28E UUD 1945.
Berpotensi Melanggar HAM?
Pemerintah boleh saja berdalih sebagai langkah antisipatif merevisi UU agar bisa membubarkan ormas yang dinilai tidak Pancasilais. Namun, wacana ini berpotensi melanggar HAM jika tidak dilakukan secara hati-hati dan komprehensif. Apalagi secara jelas Konstitusi Indonesia telah melindungi hak dan kebebasan setiap orang untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur dalam Pasal 28E, UUD 1945.
Pasal 28E ayat (3) tersebut ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Demikian juga dengan Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai”. Dua regulasi ini diperkuat dengan Pasal 21 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005, yang menjamin “hak untuk berkumpul secara damai”.
Dalam konteks ini, aspirasi masyarakat yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan memang harus dilindungi dan dihormati. Namun, ormas-ormas ini juga harus tetap menghormati dan mempromosikan hak-hak asasi warga masyarakat lainnya. Apalagi hal ini juga telah ditegaskan dalam Pasal 21 Kovenan Hak Sipil dan Politik telah mengatur soal ini.
“Hak untuk berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada pembatasan yang dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang ditentukan sesuai dengan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, atau ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral umum, atau perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain,” demikian bunyi Pasal 21 tersebut.
Melihat regulasi, serta fakta adanya ormas yang dinilai tidak Pancasilais selama ini, maka pembubaran terhadap ormas anti-Pancasila yang terbukti telah meresahkan masyarakat dan mengancam persatuan dan kesatuan NKRI, bisa saja dibubarkan. Namun, dengan catatan harus melalui mekanisme peradilan yang adil dan tidak memihak.
Bagi pemerintah, keberadaan ormas yang tidak Pancasilais ini ibarat makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak meninggal. Tidak dibubarkan mengancam kedaulatan dan kewibawaan NKRI, dibubarkan pemerintah melanggar kebebasan berekspresi.
Pembubaran ormas tidak Pancasilais ini memang dilematis buat pemerintah.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Zen RS