Menuju konten utama

Reuni Keluarga Korut dan Korsel: Bisakah Menjamin Perdamaian?

Sekitar 330 warga Korea Selatan dari 89 keluarga bertemu pada hari Minggu lalu dengan 185 kerabat dari Korea Utara.

Reuni Keluarga Korut dan Korsel: Bisakah Menjamin Perdamaian?
Warga Korea SelatanLee Keum-seom, 92, kiri, terisak ketika bertemu dengan anak laki-lakinya yang merupakan warga Korea Utara Ri Sang Chol, 71, dalam acara reuni keluarga Korea di resort Diamond Mountain, Korea Utara (20/8/18). AP/Korea Pool

tirto.id - Lee Geum-seom (92 tahun) memeluk erat putranya, Ri Sang-chol (71). Sambil menitikkan air mata, Ri mengeluarkan foto ayahnya, "Ibu, ini ayah," ujar Ri lirih. Dilansir dari The Korea Herald, selama dua jam pertemuan itu, Lee terus memegang erat tangan sang putra dan menanyakan berapa banyak anak yang ia punya.

Inilah momentum yang langka lagi mengharukan bagi keluarga Korea Utara dan Selatan. Pada Minggu (19/8), di sebuah resor di daerah Gunung Kumgangsan, Korea Utara, untuk pertama kalinya mereka dipertemukan sejak terpisah tanpa komunikasi 65 tahun silam. Dilansir dari Reuters, pertemuan itu dihadiri sekitar 330 warga Korea Selatan dari 89 keluarga beserta 185 kerabat dari Korea Utara. Rata-rata peserta sudah duduk di kursi roda.

Ri adalah warga Korea Utara, sementara ibunya warga Korea Selatan. Mereka dipisahkan oleh Perang Korea yang berakhir pada 1953. Sejak perang itu, Semenanjung Korea terbelah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan. Tapal batas dijaga ketat oleh militer kedua belah pihak.

Kim Gyong Sil (72) dan Gyong Yong (71) dua wanita yang tinggal di Korea Selatan tampak gugup menanti kedatangan ibunya, Han Shin-ja (99), yang selama ini tinggal di Korea Utara. Ketika bertemu, mereka terdiam terpaku tidak bisa berbicara selama beberapa menit, hingga akhirnya pecahlah tangis mereka.

Dalam situasi kacau akibat perang, Han melarikan diri ke rumah dan tercerai berai dari kedua putrinya. Pada pertemuan itu, Han banyak terdiam memandang putrinya, sesekali meminta maaf sambil terbata-bata. Putrinya segera memotong permintaan maaf sang bunda, meyakinkan bahwa mereka baik-baik saja di Korea Selatan karena dirawat oleh sang bibi, dikutip dari Reuters.

Tangis, haru, dan bahagia mengisi perjumpaan keluarga kedua Korea. "Bagaimana kamu bisa setua ini?" kata Kim Dal-in (92) kepada adiknya Yu Dok (85) sembari menatapnya lekat-lekat. "Saya sudah hidup setua ini untuk bertemu kamu," jawab Yu sambil berkaca-kaca. Ia menggenggam foto Kim saat masih muda.

Reuni keluarga Korea ini berlanjut dan terbagi menjadi dua sesi. Pertama dari Senin (20/8) hingga Rabu (22/8) dan kedua pada Jumat (24/8) sampai Minggu (26/8). Pada tiap sesi, para anggota keluarga akan diberi kesempatan bertatap muka selama 11 jam. Sesuai jadwal, 83 anggota keluarga dari Korea Utara yang terpisah akan hadir pada sesi kedua.

Menurut keterangan Palang Merah Korea Selatan yang mendampingi keluarga-keluarga ini, reuni akan dikemas dalam serangkaian jamuan makan. Untuk tidur dan beristirahat, mereka tetap tinggal di kamar terpisah.

Perang telah mengubah relasi warga Korea yang serumpun dan sebahasa. Di Semenanjung Korea, sebuah festival tahunan bernama Chuseok dulu rutin digelar. Dilansir dari CNN, tiap acara serupa berlangsung, warga Korea akan pulang kampung mengunjungi sanak keluarga dan berziarah ke pusara leluhur. Sejak Semenanjung Korea terbelah oleh garis perbatasan, tradisi turun temurun seperti Chuseok pun lenyap.

Perang Korea rupanya tak pernah berakhir. Yang terjadi adalah gencatan senjata sejak 1953, yang terus memanas seiring meningkatnya tensi Perang Dingin dan percobaan nuklir setelahnya.

Buah Deklarasi Panmunjong

Reuni keluarga Korea tak hanya sekali ini terjadi. Pada Oktober 2015 lalu, acara serupa diselenggarakan. Sejak KTT Antar Korea pada tahun 2000 silam, acara reuni jadi agenda rutin tahunan, namun kerap absen di tahun-tahun tertentu ketika kedua Korea tegang.

Reuni tahun ini tidak lepas dari keberhasilan terselenggaranya KTT Antar Korea pada April 2018. Selain mengukir sejarah yang ditandai oleh jabat tangan di garis perbatasan antara Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, KTT ini juga melahirkan Deklarasi Panmunjong. Salah satu poin deklarasi tersebut menyatakan bahwa reuni keluarga korban Perang Korea akan diselenggarakan pada Agustus tahun ini.

Setelah beberapa tahun absen, reuni keluarga Korea dirasa kian mendesak. Para korban perang dilanda rindu dan usia mereka semakin senja. Menurut data pemerintah Korea Selatan, ada 132.600 anggota keluarga korban perang yang terpisah pada Juli 2018. Dari 57.000 penyintas, 41,2 persen berusia delapan puluhan, sementara 21,4 persen usia kepala sembilan. Lebih dari 75.000 pelamar sudah meninggal dunia sejak ide reuni tersebut dicetuskan.

Meski demikian, acara reuni kedua Korea selalu melibatkan aturan protokoler yang ketat. Dilansir dari The Diplomat, dalam sebuah reuni dihadiri oleh pejabat Korea Utara dan wartawan Korea Selatan pada 2015, topik pembicaraan sanak keluarga yang terlibat rupanya diawasi secara ketat.

Para peserta, khususnya yang berasal dari Korea Selatan, diperingatkan untuk tidak bertanya seputar kondisi politik dan ekonomi di Korea Utara. Beberapa keluarga merasa pun kecewa. Terlebih lagi, belum tentu mereka bisa reuni untuk kedua kalinya.

infografik terpisah karena perang

Perang Korea telah membuat ribuan anak terlantar. Di Korea Selatan, ada banyak anak terlantar yang diadopsi oleh orangtua asal Amerika Serikat, yang waktu itu hadir sebagai kekuatan militer di Korsel. Belakangan, adopsi dipandang sebagai tabu seiring makmurnya kondisi ekonomi Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan juga memperketat aturan adopsi oleh orangtua non-Korea, salah satunya dengan kewajiban mendaftarkan calon anak adopsi.

Faktor tabu juga diperkuat oleh budaya tradisional kepercayaan masyarakat Semenanjung Korea yang menekankan pentingnya garis keturunan. Pengadopsian anak oleh orangtua non-Korea dipandang hanya akan menggerus tradisi leluhur.

Anak-anak Korea yang diasuh oleh orangtua asing akhirnya mengalami kendala ketika harus bereuni dengan keluarga kandungnya di tanah kelahiran. Dalam "Cultural Differences and Perceived Belonging During Korean Adoptees' Reunions With Birth Families" (2015), Sara Docan-Morgan menyebutkan bahwa anak-anak Korea yang bereuni dengan keluarga kandungnya kerap merasa mendapat penolakan.

Salah satu penyebabnya adalah perbedaan identitas budaya dari negara tempat anak-anak ini diadopsi. Meski secara genetik mereka orang Korea, perilaku mereka tak seperti orang yang tinggal di Korea.

Akankah reuni terus berlangsung pada tahun-tahun mendatang? Jawabannya ada pada pemimpin kedua Korea: Kim Jong-Un dan Moon Jae-in.

Baca juga artikel terkait KONFLIK KOREA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf