Menuju konten utama

Respons BI soal S&P Tingkatkan Outlook Indonesia Jadi Stabil

Gubernur BI sebut pemangku kepentingan internasional memiliki keyakinan kuat atas terjaganya stabilitas makroekonomi jangka menengah Indonesia.

Respons BI soal S&P Tingkatkan Outlook Indonesia Jadi Stabil
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberikan paparan saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR terkait Evaluasi Kinerja BI 2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/11/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.

tirto.id - Lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) meningkatkan outlook Indonesia menjadi stabil dari sebelumnya negatif dan mempertahankan peringkat Republik Indonesia BBB (Investment Grade) pada 27 April 2022.

Dalam laporannya, S&P menyatakan bahwa revisi ke atas outlook Indonesia menjadi stabil. Hal ini didasarkan pada perbaikan posisi eksternal ekonomi Indonesia, konsolidasi kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah secara gradual, serta keyakinan S&P terhadap pemulihan ekonomi Indonesia yang akan terus berlanjut sampai dengan dua tahun ke depan.

Sementara, peringkat Indonesia yang dipertahankan pada level BBB didukung oleh prospek pertumbuhan ekonomi yang solid dan rekam jejak kebijakan yang berhati-hati.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan, afirmasi rating Indonesia disertai dengan revisi outlook menjadi stabil menunjukkan bahwa di tengah peningkatan risiko global, pemangku kepentingan internasional tetap memiliki keyakinan kuat atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia.

"Hal ini didukung oleh kredibilitas kebijakan dan sinergi bauran kebijakan yang kuat antara Bank Indonesia dan pemerintah," kata Perry menanggapi hasil S&P tersebut, dalam pernyataannya, Kamis (28/4/2022).

Perry mengatakan, ke depan Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik, merumuskan dan melaksanakan langkah-langka diperlukan untuk memastikan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta terus memperkuat sinergi dengan pemerintah untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional.

Dalam laporannya, S&P memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 akan meningkat menjadi 5,1 persen setelah tumbuh 3,7 persen pada 2021. Namun, Indonesia juga perlu mewaspadai risiko yang berasal dari krisis Rusia-Ukraina.

S&P memandang, meski peningkatan harga komoditas diperkirakan dapat mendorong pendapatan perusahaan dan penerimaan fiskal, namun terdapat risiko penurunan pertumbuhan ekonomi global yang dapat menekan permintaan global.

Selain itu, kenaikan inflasi berpotensi menekan kinerja konsumsi domestik. Meski demikian, S&P menilai UU Cipta Kerja yang disahkan pada 2020 akan memperbaiki iklim usaha, sehingga dapat mendorong investasi dan tingkat pertumbuhan potensial ekonomi.

Di sisi eksternal, S&P memandang kinerja eksternal Indonesia ditopang oleh perbaikan terms of trade sejalan dengan kenaikan harga komoditas. Harga beberapa komoditas ekspor utama Indonesia yang meningkat seperti batu bara, tembaga, gas alam, dan nikel, serta permintaan global yang menguat, telah mendorong kenaikan penerimaan transaksi berjalan.

S&P juga berpandangan bahwa kebijakan pemerintah untuk mendorong peningkatan nilai tambah untuk produk pertambangan juga dapat meningkatkan penerimaan ekspor. Kondisi ini juga menyebabkan cadangan devisa Indonesia diperkirakan akan berada dikisaran 140 miliar dolar AS, didukung oleh neraca pembayaran yang dinamis

Di sisi fiskal, S&P menilai bahwa Indonesia telah menunjukkan kemajuan untuk kembali ke level defisit fiskal yang moderat. Pada 2021, pemerintah telah berhasil menurunkan defisit fiskal menjadi 4,7 persen dari PDB, jauh lebih baik dari defisit fiskal sebesar 6,1 persen dari PDB pada 2020.

S&P juga memproyeksikan defisit fiskal akan terus menurun menjadi 4 persen dari PDB pada 2022, didukung oleh kenaikan penerimaan sejalan dengan harga komoditas yang meningkat dan kegiatan ekonomi domestik yang kembali normal.

S&P menyatakan utang pemerintah Indonesia relatif stabil pasca peningkatan yang cukup signifikan pada 2020. Namun, beban bunga berpotensi akan mencatat peningkatan seiring dengan tren kenaikan suku bunga global selama satu hingga dua tahun ke depan.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz