tirto.id - Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Azizi Hasbullah menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dapat menimbulkan polemik. Hal itu lantaran terdapat pasal yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika merupakan zat haram.
Pasal terkait zat adiktif ini dinilai dapat mengancam mata pencaharian di sektor tembakau yang mayoritas adalah warga NU. Dia mengatakan, upaya menyamakan tembakau dengan narkoba merupakan tindakan diskriminatif.
Dia menuturkan hal itu dapat merugikan masyarakat yang bekerja di sektor tembakau, termasuk petani. Hilangnya mata pencaharian di sektor tembakau dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat di kota dan daerah serta berpotensi mengganggu keamanan negara.
“Pemerintah harus peduli dan mempertimbangkan kerugian petani tembakau dan perokok. Kalau sudah urusannya ekonomi, manusia itu sulit dikendalikan. Perkuatlah ekonomi dengan pertanian tembakau agar kehidupan masyarakat sejahtera. Membela ekonomi dan petani tembakau itu termasuk jihad ekonomi,” ujar Azizi dalam agenda FGD RUU Kesehatan: Nasib Petani dan Industri Tembakau dikutip dalam saluran YouTube, Senin (17/4/2023).
Lebih lanjut, dia menuturkan menyamakan tembakau dengan narkoba merupakan hal yang tidak tepat mengingat kedua produk tersebut menimbulkan dampak yang berbeda. Tidak hanya itu, pelarangan narkoba dalam pandangan agama Islam merupakan kandungannya bersifat memabukkan, dapat menghilangkan kesadaran, dan berpotensi menimbulkan permusuhan.
“Selama ini saya tidak pernah melihat kalau ada orang yang mabuk karena rokok, bermusuhan karena rokok, atau saling membenci karena rokok.” tegasnya.
Sementara itu, dia menilai disamakannya rokok dengan narkoba akan mengganggu keamanan negara. Hal itu karena masyarakat yang memilih rokok ilegal secara sembunyi-sembunyi.
“Selanjutnya akan marak rokok ilegal karena yang legal tidak terjangkau oleh masyarakat. Kalau ekonomi kita dikuasai oleh segolong orang maka akan mengancam keamanan Indonesia," imbuhnya.
Dia menduga kebijakan-kebijakan yang mengekang industri tembakau disinyalir merupakan intervensi dari pihak tertentu yang ingin menghancurkan seluruh mata rantai tembakau di tanah air. Sebab itu, dia meminta pemerintah agar mempertimbangkan nasib petani tembakau dalam setiap penyusunan regulasi. Lebih lanut, dia menilai hal seperti rokok disamakan dengan narkoba akan menempatkan para petani hingga pedagang sebagai korban.
“Jangan sampai dalam masalah tembakau, dengan aturan yang ketat, akhirnya malah petani tembakau yang menjadi korban. Yang mengalami kesulitan adalah petani. Perdagangan itu harus menguntungkan kedua pihak. Oleh karena itu, harus adil dalam mengatur masyarakat, terutama masalah keuntungan petani dan pedagang,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Siti Nadia Tarmizi menyatakan tembakau disetarakan dengan zat adiktif seperti narkoba, psikotropika, dan minuman beralkohol karena dampak bahaya merokok. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 154 Draf Rancangan Undang-Undang (RUU Kesehatan) Kesehatan.
Hal itu disampaikan Nadia menangapi penolakan dari para petani tembakau dan ekosistem industri hasil tembakau (IHT). Ketentuan tembakau sebagai zat adiktif dalam Omnibus Law RUU Kesehatan dinilai diskriminatif terhadap nasib mereka.
"Ini menjadi faktor risiko penyakit lain bukan hanya penyakit jantung atau kardiovaskuler tapi juga penyakit kanker atau penyakit kronik lainnya, dan pada akhirnya jadi beban ekonomi baik keluarga dan negara,” kata Nadia melalui pesan singkat kepada Tirto.
Nadia menuturkan risiko kesehatan akibat merokok membuat penduduk produktif banyak yang tidak sehat dan membuat angka harapan hidup rendah.
“Walau bisa panjang umur tapi tidak sehat jadi ujungnya tidak produktif,” kata dia.
Meski begitu, Nadi bilang aturan ini tidak serta-merta membuat pemerintah tidak memedulikan atau angkat tangan terhadap nasib para petani tembakau.
Untuk diketahui, Omnibus Law Kesehatan sedang digodok pembahasannya. Belakangan muncul perdebatan tentang hasil olahan tembakau karena disamakan dengan narkotika dan zat psikotropika ilegal.
Penjabaran mengenai itu masuk dalam RUU Kesehatan pasal 154 ayat (3) bahwa zat adiktif dapat berupa: a. narkotika, b. psikotropika, c. minuman beralkohol, d. hasil tembakau, dan e. hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin