tirto.id - Sejak isu nepotisme dan dugaan plagiarisme mencuat, Rektor UNJ Prof. Dr. Djaali irit bicara kepada media. Ia diam saja saat puluhan mahasiswa dan dosen berdemonstrasi pada Mei lalu karena ia melakukan langkah kriminalisasi terhadap sejumlah dosen.
Namun, ketika isu kriminalisasi dosen itu semakin menguat seiring jumlah dosen yang diperiksa Kepolisian Resor Jakarta Timur, Djaali akhirnya buka suara.
Pada 14 Agustus, ia mengundang tiga wartawan dari Jawapos, Media Indonesia, dan Kompas.com untuk membantah tudingan tersebut. Dari sanalah kami bisa menemui Djaali.
Baca juga: Gurita Keluarga Rektor Djaali di UNJ
Mantan Direktur Pascasarjana UNJ ini membantah melakukan penyalahgunaan kekuasaan sebagai rektor. Ia membantah dugaan plagiat lima pejabat Sulawesi Tenggara yang menjadi mahasiswa doktoral UNJ.
Padahal, berdasarkan temuan Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), lima disertasi pejabat itu, termasuk Gubernur Nur Alam yang kini meringkuk sebagai tahanan KPK, terbukti mencangkok laporan karya ilmiah orang lain. Temuan Tim EKA ini terkonfirmasi oleh hasil temuan dari Tim Independen Kemenristekdikti.
Baca juga: Temuan Plagiat Disertasi di Universitas Negeri Jakarta
Temuan plagiarisme ini membuka karut-marut penyelenggaraan Program Pascasarjana UNJ, terutama kelas kerjasama dengan kampus dan pemerintah daerah.
Salah satunya, indikasi proses perkuliahan yang janggal dan meluluskan doktor dalam jumlah fantastis selama 2012-2016.
Djaali, misalnya, sebagai promotor doktor, meluluskan 118 mahasiswa atau 31,05 persen dari total lulusan program doktor pada 2016. Padahal, normalnya sesuai aturan kementerian, seorang guru besar hanya sanggup membimbing enam disertasi selama setahun. Sepanjang empat tahun, ada 327 doktor yang diluluskan oleh Djaali.
Baca juga: Bau Tak Sedap Program Studi Pascasajana UNJ
Namun, kepada kami, Djaali berkali-kali membantah tuduhan janggal tersebut.
Ditemani Asep Sugiarto, bagian hubungan masyarakat UNJ, Djaali menjawab pertanyaan kami, tetapi juga berkali-kali mengelak dan segera menyudahi wawancara ketika kami mengonfirmasi temuan dari Tim EKA.
Berikut petikan wawancara Djaali kepada Arbi Sumandoyo, Arimacs Wilander, dan Mawa Kresna dari Tirto, di ruang kerjanya, 15 Agustus lalu.
Bisa Anda jelaskan soal tudingan nepotisme yang berujung pelaporan oleh kuasa hukum UNJ terhadap para dosen ke kepolisian?
Itu, kan, laporan bulan November 2016. Kuasa hukum kita melaporkan ada fitnah terhadap rektor. Begitu saja.
Lalu yang melapor itu memang pengacara kita dan terlapornya dalam penyidikan. Kita tidak tahu, kan, penyelidikan kepolisian. Polisi panggillah dosen-dosen.
Jadi Anda tidak melaporkan?
Tidak melaporkan dosen. Pengacara kita hanya melaporkan bahwa ada fitnah terhadap rektor. Buktinya itu ada di media sosial, kemudian di-print out dan baru diberikan kepada polisi.
Kapan sebenarnya laporan ke polisi itu?
Sekitar Desember 2016.
Langsung diproses saat itu juga?
Bukan. Polisi lalu meminta keterangan kepada teman-teman, dosen-dosen. Termasuk Wakil Rektor IV dipanggil pada saat itu.
Anda ikut diperiksa?
Saya di-BAP juga. Kemudian, karena mereka belum menemukan, orang lain dimintai keterangan dalam rangka penyelidikan. Nah, pemanggilan itu mungkin sampai saat ini masih berlangsung.
Kita juga enggak mendapat laporan dari polisi sampai di mana perkembangannya. Kita masih menunggu dari kepolisian untuk menemukan siapa melaporkan itu. Sampai sekarang belum ada laporan dari kepolisian.
Anda sudah berapa kali ikut diperiksa?
Hanya satu kali.
Mengenai isu nepotisme ini pada Mei lalu sempat ada demo?
Karena itu persoalannya kesalahpahaman. Karena pada saat itu Ubedilah Badrun (dosen yang diperiksa) menulis kebijakan rektor, tetapi kita tidak menanggapi.
Nah, dua minggu kemudian, ada panggilan polisi. Panggilan polisi mengenai fitnah itu, bukan berkaitan dengan tulisannya. Nah dikira Ubedilah, ia dipanggil karena mengkritik, lalu mereka bilang, “Rektor anti-kritiklah, segala macam,” waktu demo. Padahal panggilan itu adalah rentetan dari panggilan yang dulu, dari bulan Desember itu.
Belakangan desakan mahasiswa bukan hanya kasus nepotisme, melainkan rekomendasi dari Tim EKA mengenai dugaan plagiarisme?
Kalau itu sedang diselidiki kementerian. Sampai sekarang belum final. Ada tim dari kementerian. Kan, disertasi yang mereka duga plagiat itu sudah di tangan mereka.
Tetapi, pada Januari 2017, Tim EKA sudah memberi rekomendasi soal temuannya, termasuk ada tanda tangan Anda yang membenarkan temuan tersebut?
Sudah ada rekomendasi dari Tim EKA ke menteri. Setelah direkomendasikan, menteri membentuk tim lagi karena dari tim yang dibentuk UNJ berbeda hasilnya. Tim EKA mengatakan ada plagiat, nah tim UNJ mengatakan tidak ada. Kemudian dibentuklah tim lagi oleh menteri dari bagian SDM.
[Catatan: Djaali menandatangani berita acara monitoring Tim EKA. Dengan tanda tangan itu, ia membenarkan temuan plagiarisme termasuk kejanggalan lain dalam Program Pascasarjana UNJ.]
Apakah sudah keluar hasil Tim Independen yang dibentuk Kemenristekdikti?
Belum. Mereka sedang melakukan penyelidikan. Hanya disertasi yang diduga plagiat itu sudah diserahkan kepada Tim Independen. Sampai sekarang belum ada berita. Kita menunggu saja.
Selain soal plagiarisme, Tim EKA menemukan banyak data mahasiswa pascasarjana yang tidak sinkron dengan data Kemenristekdikti?
Persoalannya bukan hanya pascasarjana, semua data itu dengan data Forlap Dikti (Pangkalan Data Pendidikan Tinggi) ada bedanya.
Untuk pascasarjana?
Bukan hanya pascasarjana, tetapi semuanya. Kalau masalah itu bukan hanya UNJ, tetapi seluruh Indonesia.
Ada perbedaan data yang masuk di Pangkalan Data Dikti dengan data di perguruan tinggi. Oleh karena itu, sudah beberapa bulan ini, saya tugaskan Wakil Rektor I untuk merekonsiliasi data, supaya sama itu data. Itu saja.
Mengenai program kerjasama Pascasarjana UNJ, pada 2015 sempat ada surat dari Kemenristekdikti yang merekomendasikan program ini harus dihentikan?
Oh, bukan. Justru kami sendiri yang menghentikan kesepakatan 11 rektor. Begitu menteri baru Pak Nasir menjabat, kita bikin kesepakatan bahwa semua kerjasama dengan 11 rektor kita passing out. Mahasiswanya tidak diberhentikan. Tetapi kita tidak menerima lagi sejak Januari 2015.
Kenapa?
Karena persoalan rasio. Kalau kita menangani lagi, rasio kita berlebihan. Karena kita kekurangan dosen.
Berapa rasio dosen pada saat itu?
Tentu lebih. Karena itu dihentikan supaya rasio kita tetap aman. Kan, rasio itu kalau eksakta, 1 banding 30, yang noneksakta 1 banding 45.
Supaya tidak merah, dihentikan semua. Ada kok surat resmi pada saat itu. Saya minta surat kepada Pak Direktur Pascasarjana, ditembuskan ke Pak Menteri.
Ada berapa mahasiswanya?
Pascasarjana yang tahu. Yang jelas, sejak saat itu, sudah tidak ada lagi mahasiswa (program kerjasama) yang baru.
Program kerjasama itu dengan mana saja?
Universitas Negeri Medan, Universitas Negeri Bengkulu, Universitas Negeri Padang, Universitas Mulawarman, Universitas Palangkaraya, Universitas Negeri Manado, Universitas Pendidikan Gaseha Bali, Universitas Gorontalo, Universitas Riau—pokoknya ada sebelas.
Model kerjasamanya seperti apa?
Kerjasamanya begini: dosen sana menjadi mahasiswa S3 di UNJ, tetapi setiap mata kuliah itu dosennya dua orang. Satu profesor UNJ, satu prof. dia (dari sana), nah fifty-fifty. Jadi, kalau dosen UNJ mengajar di UNJ, kalau dosen—misalnya Universitas Negeri Medan—mengajar di sana (Medan).
Perkuliahannya bagaimana?
Kuliahnya ada di Medan, ada di Jakarta. Kalau di Jakarta, diajar dosen UNJ. Kalau kuliah di Medan, diajar oleh dosen di sana.
Berarti mahasiswa kerjasama itu datang ke Jakarta?
Oh iya datang ke Jakarta kalau waktu diajar oleh dosen UNJ. Begitu pula dengan pembimbing disertasi, promotornya dari UNJ, co-promotornya dari Universitas Negeri Medan.
Perkuliahannya bagaimana?
Full-lah. Di sini ada 16 sesi untuk satu semester. Delapan sesi oleh dosen UNJ, delapan sesi di sana. Disertasinya: promotornya ada di sini, co-promotornya ada di sana. Jadi, kalau mereka sedang mengumpulkan data, ada co-promotornya di sana, setelah itu konsultasi di sini.
[Catatan: Tim EKA menemukan ada pemadatan waktu perkuliahan yang seharusnya 16 kali pertemuan, tetapi beberapa mata kuliah hanya 2 kali pertemuan. Selain itu, Tim EKA menemukan ada restitusi satuan waktu perkuliahan termasuk pemalsuan tanda tangan kehadiran mahasiswa.]
Selain kerja sama dengan perguruan tinggi negeri, apakah ada kerja sama lain dengan Pemda?
Tidak ada dengan Pemda. Tidak ada.
Dalam rekomendasi Ditjen Kelembagaan Iptek & Dikti disebut ada kerja sama dengan Pemda?
Kita tidak ada Pemda. Itu yang salah. Kendari itu bukan kerja sama. Mereka itu mahasiswa biasa. Hanya pejabat-pejabat Pemda datang mendaftar sebagai mahasiswa. Tidak ada kerja sama itu.
[Catatan: Salah satu poin dalam Nota Dinas Ditjen Kelembagaan Iptek & Dikti kepada Menristekdikti mengusulkan UNJ untuk menutup perkuliahan seluruh kuliah kelas kerjasama dengan 12 perguruan tinggi negeri termasuk kerjasama dengan Pemda seperti dilakukan dengan Pemda Sulawesi Tenggara—dalam daftar data mahasiswa disebut Blok Kendari.]
Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara yang namanya direkomendasikan untuk dicabut gelarnya mendapat predikat summa cum laude, promotornya Anda. Bisa Anda jelaskan?
Lancar saja. Dia kuliah di sini, kok. Kuliah di sini semua karena mereka mahasiswa biasa, bukan mahasiswa kerja sama. Bukan program kerja sama, jadi dia nonreguler, perkuliahannya di luar jam kantor, mulai jam empat sore sampai jam sembilan malam.
[Catatan: Berdasarkan temuan Tim EKA, tanda tangan kehadiran Nur Alam dipalsukan. Ia hanya hadir 2 kali pertemuan. Selain itu, Tim EKA menemukan indikasi plagiarisme dalam disertasi Nur Alam.]
Jadwal kuliahnya bagaimana?
Jadwalnya Jumat, ada yang Senin, ada yang Rabu, ada yang Sabtu.
Kapan Nur Alam mulai kuliah Pascasarjana di UNJ?
Pokoknya dia itu hampir tiga tahun baru lulus. Lulusnya tahun lalu bulan Agustus. Dan hampir tiga tahun. Perkuliahannya hampir dua tahun.
Bagaimana proses bimbingan disertasinya?
Saya promotornya. Dia mahasiswa biasa, bukan kerja sama. Promotornya saya dan Ma’ruf Akbar (Wakil Direktur 1 Program Pascasarjana UNJ).
Tim EKA merekomendasikan agar Nur Alam dibatalkan ijazah dan gelar doktornya dicabut karena diduga plagiat?
Sekarang sedang ditangani kementerian.
Ketika melakukan bimbingan, apakah Anda menemukan dugaan plagiat?
Tidak menemukan. Karena kita tidak sampai untuk tahu. Yang namanya plagiat itu kalau tulisannya sama dengan tulisan yang sudah di-publish.
Kita tidak membaca satu-satu. Yang kita lihat topik tulisannya seperti itu. Bahwa dia ngutip sana-sini, kita tidak bisa membaca itu.
Berdasarkan pengecekan metadata dari Tim EKA, disertasi para pejabat Sulawesi Tenggara dibuat tak lebih dari lima hari?
Oh, itu yang salah. Tidak mungkin dibuat dalam waktu kurang dari lima hari.
[Catatan: Temuan Tim EKA pada disertasi Sarifuddin Safaa, Asisten I Setda Sultra, berjudul “Evaluasi Program Tambahan Penghasilan Pegawai Negeri Sipil di Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara” dibuat dalam waktu singkat: Bab I dan Bab III dibuat pada 14 Juli 2016, Bab II pada 19 Juli 2016, Bab IV dibuat pada 22 Juli 2016, dan Bab V dibuat pada 20 Juli 2016.
Disertasi Nur Alam berjudul "Evaluasi Program Bank Perkreditan Rakyat Bahteramas di Provinsi Sulawesi Tenggara" dibuat dalam waktu tiga hari: 29 Juni 2016, 20 Juli 2016, dan 21 Juli 2016.]
Tapi itu catatan digital?
Kalau catatan digital itu saya tidak tahu. Tetapi saya konsultasinya lama, bolak-balik. Di situ susahnya karena hanya main ilmu teknologi saja Tim EKA. Tetapi tatap muka dengan Nur Alam itu berulang kali dilakukan di sini. Berulang kali datang ke sini dan menunggu juga. Berulang kali itu. Rini (sekretaris rektor) tahu soal ini.
Jadi Anda mau mengatakan temuan Tim EKA ada yang salah?
Jelas. Jelas. Makanya, kita bikin tim counterpart (Tim Mitra Internal UNJ) yang melakukan penyelidikan. Tim itu menyampaikan kepada Pak Menteri yang berbeda dari Tim EKA. Kemudian Pak Menteri membuat tim lagi. Makanya kita tunggu (hasilnya) itu.
[Catatan: Dari hasil wawancara, Tim Independen yang dibentuk Kemenristekdikti untuk menengahi masalah ini menemukan hal yang sama dengan temuan Tim EKA soal dugaan plagiat tersebut.]
Mengenai hal ini, Anda sempat mengundang Alumni UNJ untuk melakukan pertemuan?
Alumni sendiri yang inisiatif.
[Catatan : Djaali mengirim pesan mengumpulkan para Alumni UNJ untuk menyikapi temuan Tim EKA soal dugaan plagiarisme termasuk problem lain dalam tata kelola Program Pascasarjana UNJ.]
Dan Ikatan Alumni UNJ pada Mei lalu mengirim laporan kepada Presiden Joko Widodo mengenai rekomendasi Tim EKA?
Itu sih urusan alumni. Saya tidak mau ikut campur, lah. Tanya saja alumni, lah.
[Catatan: Dalam surat kepada Presiden Jokowi tertanggal 29 Mei 2017, Ikatan Alumni UNJ meminta presiden memberi arahan kepada Menristekdikti untuk meninjau kembali keberadaan Tim EKA.
Rekomendasi Tim EKA adalah mendorong Menristekdikti mengambil tindakan tegas berupa sanksi atas pelanggaran plagiarisme oleh lima pejabat Sulawesi Tenggara, termasuk mencopot rektor dan mencabut gelar guru besar yang kini disandangnya.]
Mengenai dugaan nepotisme, Anda sempat dipanggil Menteri dan meminta anak Anda, Baso Maruddani, untuk dicopot sebagai sekretaris pribadi Anda?
Dia dosen sini sebelum saya menjadi rektor. Pak Menteri itu bukan minta seperti itu. Saya tanya kepada Pak Menteri, “Apakah ini (mengangkat anak sebagai asisten pribadi) melanggar aturan?" Beliau bilang, “Tidak.”
[Catatan: Sumber kami menyebutkan, Menteri M. Nasir memanggil Djaali soal pelaporan dugaan nepotisme. Kepada Djaali, Nasir meminta agar ia mencopot Baso Maruddani sebagai asisten pribadi. Namun, hingga laporan ini dirilis, Maruddani masih menjadi sekretaris Djaali. Menteri Nasir tak menjawab ketika kami mengonfirmasi cerita ini.]
Jadi sebetulnya bukan minta diberhentikan?
Bukan meminta diberhentikan. Hanya Pak Menteri menyatakan tidak etis.
Saya tanya, “Apakah ini menurut aturan tidak boleh?”
“Oh tidak, tidak ada aturan yang melarang,” kata Pak Menteri.
Karena pada saat itu ada kesalahpahaman, dikira anak ini dari luar sana (bukan dosen UNJ). Padahal, anak ini dosen tetap Fakultas Teknik UNJ, dia lulusan ITB, doktor tahun 2012. Diangkat sebelum dia doktor di Fakultas Teknik. Lalu kemudian sebagai dosen, dia bantu saya di sini.
Begitu juga dengan istri Anda?
Istri saya tidak ada hubungannya di sini (UNJ). Istri saya itu dosen Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta), maka itulah saya bilang difitnah.
Apa saja fitnah itu?
Menuduh istri saya diangkat menjadi dosen UNJ dari guru SMA, padahal tidak benar. Kemudian menuduh saya mau mengangkat anak saya (Nurjannah) menjadi Kepala Pusat Penelitian padahal yang mengangkat anak saya itu rektor dulu. Hanya dua itu.
Sisanya kalau ada nama-nama yang beredar?
Itu juga fitnah. Coba keponakan yang mana? Tidak ada keponakan saya. Mereka itu masuk sesuai prosedur sesuai aturan. Orang mau jadi PNS itu ada aturan, ada ketentuan-ketentuannya. Mereka jadi dosen sebelum saya jadi rektor.
Kalau sekretaris rektor memang ada di Struktur Organisasi Tata Kelola UNJ?
Itu bukan sekretaris resmi, hanya bantu-bantu saya untuk baca aturan. Supaya saya kalau menandatangani sesuatu tidak melanggar aturan. Dia ini kebetulan dosen Fakultas Teknik, dosen UNJ, dan diangkat tahun 2008. Waktu itu saya bukan siapa-siapa di sini.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam