tirto.id - Dalam hal manuver politik, politikus sipil selalu saja ketinggalan selangkah dari “politikus” militer. Contoh terbarunya adalah pertemuan antara Jokowi dan Prabowo di gerbong MRT baru-baru ini yang disambut begitu meriah oleh politikus sipil sebagai wujud rekonsiliasi yang didamba selama ini. Di sisi lain, politikus militer (purnawirawan) sudah melakukan rekonsiliasi sejak jauh-jauh hari, saat situasi mulai mereda selepas peristiwa kerusuhan 21-22 Mei.
Proses rekonsiliasi purnawirawan dari dua kubu (01 dan 02), bisa kita lihat dari langkah penangguhan penahanan terhadap Mayjen (Purn) Soenarko (Akmil 1978), dengan jaminan langsung dari Panglima TNI dan Menhan. Atau ketika Ryamizard (Menhan, Akmil 1974) dan Moeldoko (KSP, Akmil 1981), secara terbuka menghimbau agar isu keberadaan Tim Mawar jangan diangkat kembali. Tentu pesannya sangat jelas bahwa ini merupakan salah satu cara untuk “melindungi” figur Prabowo.
Bisa jadi proses rekonsiliasi dimaksud hanyalah untuk kepentingan sesaat. Namun, yang ingin saya katakan adalah politikus (berlatar belakang) militer sudah menyiapkan rencana bagaimana skema pilpres 2024 akan dijalankan. Ketika politikus sipil masih gaduh soal bagi-bagi kursi kabinet, politikus militer sudah memikirkan fase lanjutan yang lebih strategis.
Kelompok purnawirawan pendukung Jokowi yang tergabung dalam Bravo 5 atau Cakra 19, terlihat tenang-tenang saja melihat politikus sipil saling bermanuver memburu jatah menteri, meski komunitas mereka juga berperan dalam pilpres baru-baru ini. Komunitas purnawirawan lebih berpikir jauh ke depan, bahkan mereka sudah sampai pada tahapan menyiapkan figur capres.
Moeldoko vs Gatot
Bila kita amati, polarisasi dalam politikus (asal) militer tidak sekeras dengan yang biasa terjadi pada politikus sipil. Konflik dalam politikus sipil ibarat minyak dan air, sulit didamaikan. Kita ambil satu kasus sekadar sebagai contoh, yakni soal hubungan PKS dan PDIP, rasanya tidak mungkin berkoalisi sampai kapan pun. Meminjam istilah sastrawan Pramoedya Ananta Toer, PDIP dan PKS sudah berseteru “sejak dalam pikiran”.
Situasi konflik tiada henti seperti itulah yang memberi ruang bagi politikus militer untuk “memenangkan waktu”, sebuah konsep teknis militer, bahwa waktu (timing) adalah kunci dalam memenangkan pertempuran.
Satu hal yang perlu kita ketahui, konflik di militer secara umum lebih elastis, berbeda dengan konflik pada kelompok sipil yang sampai berlarut-larut, dan berdarah-darah. Ketika publik sedang dihebohkan kasus rencana penembakan empat jenderal, sudah terjadi komunikasi antara Luhut dan Prabowo. Dari fenomena itu kita bisa membaca rencana penembakan empat jenderal ternyata cuma skenario abal-abal. Pantas saja langsung dilupakan orang.
Dari model pergerakan para purnawirawan dalam pilpres baru-baru ini, karakter elastis antara dua kubu akan kembali dimainkan jelang pilpres 2024. Rivalitas antara dua kubu tersebut (01 dan 02) demikian kerasnya, sehingga kemungkinan besar kubu ini pula yang akan bertarung, tentu dengan kandidat berwajah baru pula.
Begitu kuatnya rivalitas itu, saya sendiri sudah sampai pada anggapan bahwa masing-masing kubu ibarat “aliran” dalam politik di Tanah Air, sebuah konsep yang dulu diperkenalkan (almarhum) Herbert Feith. Layak disebut aliran karena masing-masing membawa kultur yang (seolah) saling berlawanan. Sehingga pertemuan di gerbong MRT (antara Jokowi dan Prabowo), sungguh sebuah “bonus” besar.
Dengan peta jalan yang senyap dan sistematis, dua kubu sudah menyiapkan kandidat masing-masing. Dari narasi yang berkembang selama ini, soal hubungan “putus-sambung” antarpurnawirawan, saya menduga kuat kubu 01 akan memajukan Moeldoko, sementara kubu 02 akan memajukan Gatot Nurmantyo (Akmil 1982).
Saat masih aktif sebagai militer dulu, karier keduanya selalu beriringan. Dalam beberapa kali mutasi jabatan, posisi Moeldoko selalu digantikan Gatot, salah satu yang bisa disebut adalah pada posisi sebagai Komandan Brigif I/Jaya Sakti Kodam Jaya. Berdasarkan elastisitas konflik internal militer, tentu bukan hal yang terlalu sulit untuk mendesain kesan rivalitas antara Moeldoko dan Gatot.
Latar Belakang Korps
Model konflik internal militer yang elastis seperti tidak muncul di ruang hampa. Itu bagian dari skenario untuk mengatur bagaimana agar militer bisa berperan selama mungkin dalam politik kekuasaan melalui jalur demokratis. Adalah hal yang wajar bila suatu kelompok ingin berkuasa terus, sama dengan aspirasi parpol pada umumnya.
Secara historis kelompok militer selalu diuntungkan dalam politik. Karpet merah selalu tersedia bagi mereka, entah dari mana arah datangnya. Seperti yang sekarang terjadi, politikus sipil masih sibuk untuk urusan jangka pendek sehingga lupa menyiapkan figur untuk 2024. Kekosongan figur politikus sipil untuk Pilpres 2024 dimanfaatkan dengan baik oleh komunitas purnawirawan.
Pesan rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo sudah sangat jelas: TNI AD (termasuk purnawirawannya) masih sangat kuat secara politis. Kita bisa ambil contoh seorang jenderal seperti Ryamizard yang sejak dulu dikenal kurang nyaman dengan performa polisi. Itu sebabnya dia bersedia menjadi perisai bagi purnawirawan tanpa memandang afiliasi (politik) purnawirawan tersebut agar tidak diproses polisi. Singkatnya, aspirasi kekuasaan dari kelompok militer adalah untuk menutup peluang bagi dua entitas lainnya: politikus sipil dan figur kepolisian.
Bila kelak Moeldoko dan Gatot benar-benar maju pada Pilpres 2024, persoalannya justru bisa datang dari internal tentara. Kebetulan keduanya bukan berasal dari Kopassus atau Kostrad, dua korps paling penting dalam AD, termasuk TNI secara keseluruhan. Baik Moeldoko maupun Gatot baru berdinas di Kostrad, ketika sudah dalam pos jenderal. Artinya warna Kostrad mereka kurang kental.
Dalam internal AD, soal korps termasuk sensitif karena terkait aspek-aspek politis dan historis. Itu sebabnya kecabangan infanteri sangat dominan, jauh melampaui korps lainnya di AD maupun di TNI. Dalam kecabangan infanteri sendiri, masih bisa dibagi lagi dalam sekian korps atau satuan, yang sudah seperti subkultur tersendiri, mirip konsep “aliran” di atas, meski dalam skala kecil. Dalam hal ini adalah Kostrad dan Kopassus yang paling dominan, sementara Moeldoko dan Gatot lebih banyak berdinas di Kodam Jaya.
Bila Moeldoko dan Gatot yang maju, menjadi agak sulit untuk membayangkan posisi AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) dalam peta persaingan Pilpres 2024. Problem AHY adalah dari segi kepangkatan dan asal-usul korps. AHY memang terlampau cepat mengambil pensiun, dengan pangkat mayor. Itu berpengaruh dari segi korps, AHY pernah bertugas di Kostrad dan Kodam Jaya, namun juga sama-sama dalam periode singkat.
Kelanjutan Konflik 1998
Lebih dua dekade setelah Soeharto lengser, bayang-bayang Soeharto masih terasa dalam politik hari ini. Peran penting Soeharto saat berkuasa dulu adalah memastikan supremasi militer (khususnya Angkatan Darat) dalam lanskap politik di Tanah Air sepanjang masa kekuasaannya (1966-1998). Cara Soeharto dulu mempertahankan kekuasaannya, yakni dengan memelihara konflik di antara pendukungnya sendiri, kemudian diadopsi oleh elite militer generasi berikutnya.
Gaya Soeharto dalam mempertahankan hegemoni militer kemudian menjadi genre tersendiri dalam politik: kekuasaan dicapai atau dipertahankan bukan dengan jalan demokratis, melainkan dengan cara memelihara konflik. Jejak Soeharto semakin terlihat dalam konflik elite militer yang sedang terjadi baru-baru ini adalah kelanjutan dari konflik pada penggal terakhir kekuasaan Soeharto pertengahan 1998.
Tentu saja ada banyak nama dan tipologi dari perwira yang pada saat itu bertarung yang kini masih melanjutkan pertarungannya. Untuk sedikit memberi gambaran, saya secara acak memilih dua nama, yakni Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsuddin (Akmil 1974) dan Mayjen (Purn) Kivlan Zen (Akmil 1971). Meski sama-sama berafiliasi pada kubu Prabowo, keduanya punya sedikit perbedaan karakter.
Selepas Soeharto lengser, karier Sjafrie masih diselamatkan Wiranto. Padahal, Wiranto berseberangan dengan Prabowo pada 1998. Ketika Prabowo (juga Kivlan Zen) sudah sangat jauh dari lingkaran kekuasaan, karier Sjafrie tetap aman. Bahkan sekitar namanya sempat masuk nominasi calon KSAD sekitar 2007. Meski pada akhirnya tidak terpilih, hal itu cukup menggambarkan kelihaian Sjafrie “meniti buih”, bila diingat dia dulu sangat dekat dengan Soeharto dan Prabowo.
Sementara Kivlan adalah tipe yang lain lagi. Dengan segala kontroversi yang melekat pada dirinya, Kivlan lebih konsisten. Dia bersedia menerima segala risiko sebagai kawan dekat Prabowo, termasuk yang paling pahit sekalipun. Seperti yang hari-hari ini masih dijalaninya, dia bersedia jadi martir bagi kubu Prabowo.
Tindakan Kivlan juga secara gamblang memberi penjelasan bahwa konflik sekarang adalah kelanjutan dari konflik 1998. Persisnya ketika dia secara terbuka selalu menantang Wiranto terkait kerusuhan 1998 dan rangkaian peristiwa susulannya. Dia terus menantang Wiranto, baik atas nama sendiri, maupun atas nama Prabowo. Ketika Kivlan dituduh hendak membunuh Wiranto, tuduhan itu menjadi terkesan simbolik, mengingat konflik antara Wiranto dan Kivlan tak pernah surut sejak 1998.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.