tirto.id - Relasi antara Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono sudah terjalin puluhan tahun yang lalu, tepatnya sejak 1970 ketika keduanya sama-sama masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Meski begitu latar belakang keluarga keduanya jelas berbeda.
SBY adalah anak Raden Soekotjo, pensiunan pembantu letnan satu dan petinggi Koramil di Pacitan. Ketika lulus Akabri, pangkat awal SBY bahkan lebih tinggi dari sang ayah ketika pensiun. SBY memulai karier sebagai letnan dua.
Sementara Prabowo punya garis keturunan yang jauh lebih mentereng. Dia adalah cucu pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) Margono Djojohadikusumo dan anak Sumitro Djojohadikusumo. Ketika Prabowo digembleng di Lembah Tidar—kompleks Akabri yang terletak di selatan Magelang—Sumitro menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan (1968-1973).
Pada 1 Juni 2014, ketika jadi calon presiden, Prabowo sempat memberikan kesan selama jadi rekan SBY di Akabri. Direkam Kompas, katanya ketika itu: Dia termasuk taruna yang nakal, sementara SBY, yang disebut sebagai senior, adalah "taruna teladan."
Bukan tanpa alasan Prabowo menyebut SBY sebagai senior. Toh meski sama-sama masuk Akabri pada 1970, Prabowo memang lulus setahun lebih lambat. D. Danny Hamonangan Simanjuntak dalam Rival-rival Politik SBY (2008) menyebut bapak dua anak tersebut "resmi menamatkan pendidikan Akabri pada 11 Desember 1973." SBY bahkan jadi lulusan terbaik.
Dari Pemilu ke Pemilu
Prabowo Subianto pertama kali berupaya masuk ke gelanggang politik nasional lewat konvensi calon presiden Golkar. Femi Adi Soempeno mencatat ketika itu Prabowo terbilang "nekat" karena "namanya dipersepsikan oleh media begitu buruk."
Prabowo, katanya, "pernah dituduh akan melakukan kudeta. Oleh kelompok prodemokrasi ia disebut sebagai monster." Femi juga mencatat kala itu Prabowo berani menyerukan "pemberantasan korupsi besar-besaran" karena tak pernah disebut sebagai koruptor seperti bekas mertuanya.
Namun, upaya Prabowo gagal. Konvensi Golkar ketika itu memutus Wiranto maju dengan wakil Salahuddin Wahid. Kita semua tahu, pemenang pemilu 2004 adalah SBY yang maju lewat kendaraan politik yang dibuatnya sendiri, Partai Demokrat.
Lima tahun berselang, Prabowo dan SBY akhirnya sama-sama maju di pemilu. Saat itu SBY berpasangan dengan Boediono, sementara Prabowo jadi wakilnya Megawati Soekarnoputri. SBY-Boediono menang mutlak dengan perolehan suara lebih dari 60 persen. Sementara Megawati-Prabowo hanya mendapat 32 juta suara atau setara 26,79 persen saja.
Dua pasangan yang kalah kemudian mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Prabowo, seperti dikutip Merdeka, pada pemilu 2009, "di seluruh Indonesia terjadi persoalan DPT (Daftar Pemilih tetap)... saya kira banyak kecurangan."
Namun, putusan MK menguatkan hasil pemilu. SBY terpilih kembali sebagai presiden. PDI dan Gerindra pun menjadi oposisi selama lima tahun.
Datanglah pemilihan presiden 2014. Posisinya sudah berbeda sama-sekali. Prabowo, setelah gagal di Konvensi Partai Golkar pada 2004 dan gagal pula jadi wakil presiden pada 2009, resmi maju sebagai calon presiden. Wakilnya Hatta Rajasa dari PAN. Mereka juga didukung PKS. Sementara mitra oposisi Gerindra selama lima tahun terakhir jadi lawan. Mereka punya jagoan baru, namanya Joko Widodo, bekas Wali Kota Solo yang kariernya meroket hanya dalam waktu beberapa tahun.
Pecah kongsi antara Gerindra dan PDI Perjuangan cukup bikin geger karena pada 16 Mei 2009, lewat Perjanjian Batu Tulis, Megawati berjanji bakal mendukung prabowo sebagai calon presiden pada pemilu 2014.
SBY sendiri, yang tak mungkin lagi maju karena kekuasaan presiden dibatasi hanya dua periode setelah reformasi, membawa partainya dalam posisi netral.
Prabowo sebetulnya menawarkan koalisi ke Demokrat. Dia bersama Hatta Rajasa sempat bertemu SBY pada 19 Mei 2014, dan menurutnya ada sinyalemen baik ketika itu meski pada akhirnya tak terbukti.
"Tadi malam [saya] diundang ke kediaman pribadi Ketua Umum Partai Demokrat. Dari bahasa tubuh dan dari senyumannya, kalau tidak salah (SBY) senyum-senyum terus semalam. Jadi, ini bisa dikatakan sebagai koalisi penuh senyum," kata Prabowo seperti dicatat Republika.
Partai Demokrat, meski kadang digolongkan ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP), setelah Pilpres 2014 lebih condong sebagai partai netral. Sementara Gerindra jadi sentral dalam KMP bersama PKS.
Kini, jelang pemilu 2019, keduanya saling merekatkan diri kembali. Keduanya sempat bertemu di rumah SBY di Cikeas, 27 Juli tahun lalu. Ketika itu mereka sepakat untuk meningkatkan komunikasi dan kerja sama, meski tidak berkoalisi.
Prabowo mengatakan kalau pertemuan itu sebetulnya bukan sesuatu yang "luar biasa." "Barangkali yang luar biasa pertemuan terjadi setelah pada 20 Juli 2017 rapat paripurna DPR, Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS berada dalam satu kubu yang tidak setuju dikukuhkannya RUU Pemilu." Prabowo juga sempat melempar canda dengan mengatakan "nasi goreng SBY luar biasa enak."
Mereka kembali bertemu pada 24 Juli 2018 di rumah SBY di Mega Kuningan. Saat itu pertemuan menghasilkan peluang koalisi antara Gerindra dan Demokrat.
Pertemuan kembali diselenggarakan hari ini (30/7/2018). Kini, giliran SBY yang menyambangi kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan.
Setelah pertemuan sejak jam 10 selesai, Prabowo dan SBY menyampaikan apa yang mereka bicarakan. Prabowo mengatakan bahwa antara dia dan SBY membicarakan hal-hal "yang cukup intensif, mendalam, dan cukup menjangkau ke depan."
Lebih spesifik, Prabowo menyebut bahwa Gerindra dan Demokrat telah "mencapai kata sepakat melaksanakan kerja sama politik yang tentunya akan terwujud dalam koalisi." SBY juga menunjukkan sinyal positif.
"Hari ini saya katakan pintu itu makin lebar. Dan insya Allah, dengan izin Allah SWT, kita bisa dipertemukan utk melakukan perbaikan dan perubahan lima tahun yg akan datang. Kalau ditanya apakah ada diskusi Pak Prabowo presiden tidak? Kami datang dengan satu pengertian [bahwa] Pak Prabowo adalah capres kita," katanya di hadapan puluhan wartawan.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Maulida Sri Handayani