tirto.id - “Saya meminta pemerintah dan aparat keamanan tidak ragu dan segera turunkan kekuatan penuh menumpas KKB di Papua yang kembali merenggut nyawa. Tumpas habis dulu. Urusan HAM kita bicarakan kemudian," kata Bambang Soesatyo dalam keterangan tertulis, Senin (26/4/2021).
Ucapan pria kerap yang kerap disapa Bamsoet lantas menuai respons negatif dari pegiat hak asasi manusia, mulai dari orang di Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Pidana Kekerasan (Kontras), Amnesty International Indonesia, hingga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Bamsoet memberikan izin dan pembenaran bagi pemerintah melakukan kontak senjata, bahkan pembunuhan, dengan mengabaikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Sebelumnya, Bamsoet pernah menjabat sebagai anggota Komisi III DPR, kemudian saat transisi menjadi Ketua Komisi III yang membidangi soal hukum, HAM, dan keamanan. Dengan kata lain, HAM bukan sesuatu yang asing dari Bamsoet--itu bagian dari pekerjaannya.
Bamsoet juga pernah menjabat Ketua DPR.Setelah turun dari jabatan itu, ia kemudian menjadi Ketua MPR untuk periode 2019-2024.
Namun bagi Bamsoet, mata harus dibalas mata. Bamsoet menolak mengedepankan dialog alih-alih memilih pendekatan keamanan dengan argumen bahwa kelompok yang dihadapi juga menggunakan kekerasan.
“Ini bukan soal pengabaian HAM. Ini soal keselamatan rakyat. Memangnya para pembunuh rakyat tak berdosa itu peduli HAM?” ucap Bamsoet lagi.
Di Papua, bukan hanya kelompok bersenjata yang melakukan kekerasan, tapi juga TNI.
Misalnya penembakan pendeta Yeremia Zambarani pada 19 September 2020. TNI memang menampik keterangan orang-orang yang menyatakan bahwa anggota mereka telah menembak mati warga sipil. Ketika itu Kapen Kogabwilhan III Kol Czi IGN Suriastawa berkata pendeta Yeremia ditembak "KKB".
“Gerombolan itu kembali menebar fitnah, mengatakan TNI pelaku penembakan. Mereka yang putarbalikkan TNI menembak pendeta,” kata Suriastawa.
Namun setelah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) melakukan penyelidikan, temuan menyatakan sebaliknya. Ada dugaan justru aparat yang melakukan penembakan di samping ada pula kemungkinan pihak ketiga. Kesimpulan sampai hari ini tidak ada karena belum ada pelaku yang benar-benar diadili atas kejahatan tersebut. Tudingan mengambang begitu saja.
Anggota Komisi III DPR dari fraksi PPP, Asrul Sani mendesak agar penyelidikan dilakukan secara tuntas. Dia justru mendukung keterlibatan Komnas HAM agar misteri penembakan itu benar-benar bisa diketahui pelakunya. Demikian juga dengan Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Partai Nasdem, Ahmad Sahroni. Apabila memang TNI pelakunya, dia berharap ada hukuman seberat-beratnya.
Bamsoet tidak mengatakan apapun soal temuan ini, apalagi bicara soal pelanggaran HAM di Papua.
Sebelum menjadi politisi, Bamsoet pernah bekerja sebagai wartawan. Kisah itu dengan bangga Bamsoet nyatakan dalam buku biografinya yang berjudul Dari Wartawan ke Senayan (2018). Tercatat, Bamsoet pernah berada di beberapa media: Harian Prioritas, Majalah Vista, Majalah Info Bisnis, dan HarianSuara Karya. Namun, tak banyak informasi mengenai perhatian Bamsoet terhadap permasalahan HAM sewaktu menjadi wartawan. Bamsoet mengerjakan laporan-laporan sekitar bisnis dan hiburan. Dua majalah yang dia singgahi memang fokus pada hal tersebut.
Masuk ke DPR, Bamsoet langsung membidangi masalah hukum, HAM, dan keamanan. Dia terus bertahan di sana sampai dua periode. Di periode kedua (2014-2019) Bamsoet menjabat Ketua Komisi III hingga akhirnya menjadi Ketua DPR pada 2018.
Di Komisi III, Bamsoet irit bicara HAM. Ia justru terkenal karena masalah korupsi.
Di tengah menghangatnya polemik soal korupsi Bank Century, Bamsoet adalah salah satu yang lantang bersuara. Ia menjadi anggota Panitia Khusus Hak Angket Century.
Namun, Bamsoet juga tak lolos dari dugaan perilaku korupsi. Contohnya dalam kasus skandal korupsi pengadaan e-KTP, misalnya, nama Bamsoet disebut oleh salah satu saksi yang juga anggota DPR, Miryam S. Haryani. Tapi, menurut para penyidik KPK, Miryam diancam oleh beberapa anggota di DPR, salah satunya Bamsoet.
Miryam tiba-tiba mengubah kesaksian dan menyangkal keterlibatan kawan-kawannya di DPR. Sebaliknya, dia meminta perlindungan kepada pansus hak angket KPK di DPR karena menganggap lembaga antirasuah telah menekan dirinya sehingga memberikan keterangan keliru.
Jika kita mencari-mencari sikap Bamsoet soal penegakan HAM, maka yang muncul justru tentang ketidakonsistenannya. Pada tahun 2016, sewaktu masih di Komisi III, Bamsoet menginginkan penegakan kejahatan terorisme yang tidak melanggar HAM. Ini
Dua tahun berselang, Bamsoet berubah pikiran. Dia mendukung penegakan hukum dengan menomorduakan HAM.
"Kepentingan bangsa dan negara harus didahulukan. Kalau ada pilihan antara HAM atau menyelamatkan masyarakat, bangsa dan negara, saya akan memilih menyelamatan masyarakat, bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia. Soal HAM, kita bahas kemudian. (Jika) terbukti kita proses hukum, (jika) tidak terbukti dilepaskan. Jangan kasih ruang bagi teroris untuk berlindung di balik nama HAM," tegasnya dalam keterangan tertulis, Selasa (15/5/2018).
Sikap ini berubah lagi pada tahun berikutnya. Sebelum turun dari jabatannya sebagai Ketua DPR pada pengujung 2019, Bamsoet berpidato untuk membuka masa sidang DPR yang baru. Dia kemudian merujuk laporan Komnas HAM bahwa tidak ada kemajuan signifikan dalam penyelesaian kasus HAM berat.
Bamsoet meminta pemerintah untuk lebih menaruh perhatian pada penyelesaian kasus HAM yang mangkrak.
"Tidak ada satupun perkara pelanggaran HAM berat yang dituntaskan dalam masa pemerintahan 2014-2019," kata Bamsoet kala itu.
Sewaktu menjadi Ketua Komisi III tahun 2016, ada dua produk hukum yang bisa membuatnya memberi andil dalam penegakan HAM jika disahkan: penyelesaian Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RKUHP).
Namun, sampai Bamsoet meninggalkan kursi Komisi III demi menjadi Ketua DPR dan kemudian selesai masa jabatan pada akhir 2019, dua RUU ini tidak selesai dibahas oleh DPR dan juga Komisi III.
DPR melakukan carry over untuk RUU PKS sehingga pembahasan berlanjut pada periode berikutnya. Sedangkan RKUHP mendapat tentangan dari masyarakat, termasuk pegiat HAM karena isinya bukan melindungi HAM alih-alih berpeluang melanggarnya.
Peneliti Human Rights Watch (HRW) di Indonesia, Andreas Harsono memandang bahwa salah satu yang bermasalah dalam RKUHP adalah soal pemidanaan LGBT, yang justru didukung oleh Bamsoet.
Setelah menjadi Ketua DPR, Bamsoet menulis opini di Koran Sindo tentang kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Trangender) (6/2/2018). Bamsoet menyebut gaya hidup pasangan LGBT telah melahirkan ekses “mengerikan” seperti pembunuhan atau penularan penyakit HIV/AIDS.
Dalam RKUHP yang baru, Bamsoet setuju agar LGBT bisa dikriminalisasi dan dikategorikan sebagai kejahatan. Pernyataan ini mendapat penolakan dari sejumlah lembaga masyarakat sipil seperti lembaga ICJR. Namun, Bamsoet ngotot. Baginya, pemidanaan terhadap LGBT tidak akan melanggar HAM.
"Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) ini tak hanya membahayakan perempuan, minoritas agama dan gender, melainkan semua orang Indonesia,” kata Andreas.
Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), di Indonesia, kepentingan terkait HAM sudah membaur dengan pertarungan kepentingan dan politik transaksional pemegang kekuasaan. Hasilnya penegakan HAM hanya sekadar menjadi jargon dan perlindungan HAM justru memburuk. Pada 2015 lalu, ELSAM mencatat bahwa selain “presiden urung merealisasikan janji-janji politik hak asasinya”, DPR juga tidak punya produk nyata untuk menguatkan agenda penegakan HAM.
Editor: Windu Jusuf