tirto.id - Permintaan red notice yang diajukan Polda Metro Jaya ke Interpol untuk kasus Rizieq Shihab ditolak. Penolakan itu berdasarkan bukti dari gelar perkara yang diselenggarakan Polda Metro Jaya.
"Saya tadi dapat informasi dari Sekretariat NCB Interpol Indonesia, kasus ini dikembalikan lagi ke Polda Metro Jaya," kata Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto di Mabes Polri, Senin (12/6/2017).
Hasil gelar bukti perkara oleh Polda Metro Jaya dan Interpol dianggap belum memenuhi syarat untuk penerbitan Red notice. "Itu kan sudah gelar perkara. Ternyata gelar perkaranya belum cukup. Jadi dikembalikan ke penyidik," katanya.
Kapolda Metro Jaya, Irjen M. Iriawan pekan lalu mengatakan jika red notice ini gagal terbit, maka opsi berikutnya adalah pengajuan blue notice. Berbeda dengan red notice yang memberi kewenangan untuk menangkap dan ekstradisi, blue notice hanya sebatas kerja sama mencari informasi lokasi dan kegiatan si pelaku.
Kata Iriawan, syarat pengajuan blue notice lebih mudah karena tidak kejahatan si pelaku tidak mesti masuk dalam kriteria pidana besar yang telah ditetapkan. "Blue notice hanya kerjasama meminta informasi saja. Kerjasama P to P (police to police) bisa dilakukan kemarin kebetulan Kapolri tanda tangan MoU di Istana Bogor dengan kepala polisi Arab, sudah ada itu ada klausulnya di sana," ujarnya.
Kuasa Hukum Rizieq, Kapitra Ampera sebelumnya sudah percaya diri kliennya itu tidak akan masuk daftar merah interpol. Merujuk pada Pasal 82 INTERPOL’s Rules on the Processing of Data (Interpol’s RPD) menyatakan, red notice bisa dikeluarkan jika polisi nasional atau tim investigasi internasional ingin mencari dan menangkap seseorang dengan tujuan ekstradisi.
Berdasarkan pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dari 32 tindak kejahatan yang dapat diekstradisikan tidak ada tindak pidana pornografi yang menjerat Rizieq.
Dalam 19 kualifikasi kejahatan serius yang layak mendapatkan pengajuan Red Notice dari Interpol pun tindakan pornografi tidak masuk kriteria. "Lebih tepat kepolisian melakukan langkah persuasif (untuk memulangkan Rizieq) dan menjamin penegakan hukum yang berkeadilan,” kata Kapitra kepada Tirto.
Selain Indonesia, India pun kesulitan menetapkan red notice kepada Zakir Naik. Badan Investigasi Nasional India sejak bulan Mei lalu telah meminta Interpol memberikan status red notice kepada Zakir. Zakir ditengarai terlibat dalam aksi terorisme dan pencucian uang.
Sejak bulan Juli 2016, Zakir belum pulang ke India. Sama seperti Rizieq, Zakir kini dikabarkan tinggal di Arab Saudi. Hal ini terungkap setelah dia menggelar konferensi pers melalui Skype dari Arab Saudi. Dia menyebut Arab Saudi telah memberikan pelayanan yang terbaik untuknya. Middle East Monitor menyebut Raja Salman telah memberikan kewarganegaraan Zakir, tetapi pihak kerajaan enggan mengomentari isu ini.
Terkait permintaan red notice pemerintah India, sampai tulisan ini diturunkan Interpol belum setuju. Kalaupun red notice diterbitkan, bukan jaminan Zakir akan diserahkan oleh pemerintah Arab Saudi.
Jurnal yang diterbitkan Law Library of Congress Amerika Serikat pada 2010 lalu menyebut status red notice atau blue notice bukan jaminan nama yang masuk daftar tersebut akan ditangkap oleh kepolisian tempat si orang tersebut tinggal.
Jerman misalnya, mereka mengabaikan permintaan kepolisian Cina untuk menangkap Dolkun Isa, pemimpin komunitas Muslim Uighur. Begitupun Kepolisian Swedia yang sempat menangkap Mohammad Solih tetapi kemudian membebaskannya, sikap Swedia ini membuat Uzbeskistan geram.
Red notice pun tidak akan diberikan dengan mudah oleh Interpol. Setelah kepolisian memberikan perintah red notice kepada National Central Bureau (NCB) di suatu negara. NCB lalu akan meneruskannya kepada Sekretaris Jenderal.
Dari sinilah Commission for the Control of Files (CCF) akan mengambil peran. CCF adalah lembaga independen yang mensortir apakah permintaan red notice itu layak dikeluarkan atau tidak. Selain soal tuntutan pidana yang tak sesuai atau ketidaklengkapan dokumen, unsur politis pun melekat dalam red notice.
Hal ini dikatakan Michelle Estlund pemerhati Interpol dari Universitas Florida. "Interpol menaungi lebih dari 190 negara anggota, yang masing-masing mempunyai standar terkait HAM yang berbeda. Hal ini membuat sesuatu hal yang berbau politik tidak dapat dihindari," katanya.
"CCF bagaimanapun, melakukan pekerjaan yang layak untuk menjaga dirinya dari pengaruh eksternal terutama terkait kasus bermotivasi politik dan isu-isu lain yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia," ucap Michelle lagi.
Sebuah lembaga hukum yang berbasi di London, Fair Trials International menyebut banyak negara yang menyalahgunakan sistem red notice. Di antaranya adalah Rusia, Sri Lanka, Turki, Belarus, Indonesia, Iran dan Venezuela.
Berkat tekanan Fair Trials, Interpol menolak permintaan ratusan red notice yang diarahkan kepada Gulenist oleh pemerintah Turki. Hal sama juga terkait status aktivis Papua, Benny Wenda. Sosok ini dulu sempat masuk red notice karena desakan Polri, namun setelah didesak Fair Trials interpol mencabut status red notice Benny.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan