tirto.id - Untuk pertama kalinya dalam 22 tahun terakhir, rasio utang pemerintah terhadap PDB melewati batas 40 persen, tepatnya 40,28 persen PDB atau setara Rp6.223,14 triliun per Januari 2021. Posisi utang ini masih berada dalam batas yang diizinkan UU keuangan negara karena masih di bawah 60 persen PDB.
Menurut data Bank Dunia, rasio utang terhadap PDB di atas 40 persen terakhir kali dicapai Indonesia pada tahun 1999 dengan nilai 45,21 persen PDB. Jika dibandingkan dengan tahun 2021, maka ada selang waktu 22 tahun sebelum posisi ini tercapai kembali.
Bank Dunia mencatat rasio utang di atas 40 persen ini juga pernah beberapa kali dicapai Indonesia. Misalnya selama 1990-1992 dan 1997-1999.
Posisi utang pada Januari 2021 naik dari akhir Desember 2020 yang berada di angka Rp6.074,56 triliun atau setara 38,68 persen PDB. Sebagai informasi, posisi utang pemerintah di Januari 2020 berada di angka Rp4,817,55 triliun atau setara 30,21 persen PDB.
Posisi utang per Januari 2021 ini utamanya didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) 86,37 persen dengan nilai Rp5.383,55 triliun. Sekitar Rp4.133,38 triliun merupakan SBN mata uang domestik dan Rp1.250,17 triliun diterbitkan dalam valas.
Sisanya sekitar 13,63 persen dari posisi utang Januari 2021 merupakan pinjaman dengan nilai Rp849,59 triliun. Pinjaman dalam negeri berjumlah Rp12,53 triliun dan pinjaman luar negeri mencapai Rp849,59 triliun. Pinjaman luar negeri pemerintah didominasi pinjaman multilateral Rp462,87 triliun, bilateral Rp329,64 triliun dan bank komersil Rp44,54 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan posisi utang pemerintah masih berada jauh di bawah utang negara tetangga. Akhir tahun 2020 misalnya posisi utang Indonesia masih berada di angka 38,68 persen PDB. Berbeda dengan Amerika Serikat yang diperkirakan mencapai 131,2 persen di akhir 2020, Korea Selatan 48,4 persen PDB, Thailand 50,4 persen PDB.
Sri Mulyani mengatakan kenaikan utang ini tak bisa dihindari karena pemerintah harus merespons kenaikan belanja negara untuk menangani pandemi saat penerimaan menurun seiring perlambatan ekonomi. Hal yang sama, katanya, juga dilakukan negara lain yang rasio utangnya mengalami kenaikan.
“Ini juga terjadi pada saat semua negara lakukan yang disebut countercylical secara luar biasa terutama menggunakan instrumen APBN atau kebijakan fiskalnya yang menyebabkan defisit dari APBN menngkat dan rasio utang publik otomatis meningkat,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA, Selasa (23/2/2021).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti