Menuju konten utama

Catatan Kritis terhadap Tingginya Target Ekonomi Prabowo-Gibran

Para pakar akademisi dan peneliti menyampaikan evaluasinya atas target-target ekonomi Prabowo-Gibran yang cukup optimistis.

Catatan Kritis terhadap Tingginya Target Ekonomi Prabowo-Gibran
FGD Tirto Membedah Target Ekonomi Prabowo Gibran. FOTO/tirto.id

tirto.id - Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjanjikan target pertumbuhan ekonomi yang sangat optimis, yakni 8 persen. Belum lagi sederet program dan target lainnya yang juga dirasa cukup ambisius.

Pro dan kontra atas target tersebut mendorong dilangsungkannya sebuah diskusi untuk menganalisa probabilitas tercapainya ambisi tersebut. Berkolaborasi dengan Pranadipta Consulting, Tirto.id menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Membedah Realitas di Balik Target Ekonomi Prabowo-Gibran” di Hotel Grandhika Iskandarsyah, Jakarta Selatan, Selasa (13/8).

Panelis diskusi, di antaranya, berasal dari dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Institute for Essential Services Reform (IESR), Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Yayasan Indonesia CERAH, Center of Economic and Law Studies (Celios), INFID, PB HMI, PATTIRO, IPC, Databook, Trend Asia, Masyarakat Energi Terbarukan (METI), The Prakarsa, PERHAPI, The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Indonesia, Universitas Trisakti dan Monash University.

Target pertumbuhan ekonomi menyasar beberapa isu yang didiskusikan dalam forum, yaitu strategi pengelolaan utang negara, pengentasan kemiskinan ekstrem, strategi peningkatan rasio pendapatan negara, keberlanjutan program hilirisasi, dan keberlanjutan program energi hijau.

Dari diskusi kelompok terfokus ini, ada pro dan kontra yang mengimbangi diskusi forum terhadap optimisme Paslon terpilih dan targetnya. Para perumus rekomendasi menghasilkan catatan-catatan yang perlu dievaluasi sebelum menaikkan optimisme terhadap target ini.

Isu pertama, pengelolaan utang yang disebut memiliki probabilitas meningkat disetujui dengan syarat, “Penggunaan utang itu disalurkan ke proyek yang memberikan nilai tambah, yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, supaya sektor bergerak. Kalau sektor bergerak, tercipta lapangan kerja, masyarakat punya daya beli, maka akhirnya ekonomi mampu berputar,” jelas Suli Murwani, mantan Redaktur Bisnis Indonesia.

Kedua, kemiskinan ekstrem yang perlu dituntaskan untuk mencapai target pertumbuhan memerlukan analisis lebih dari langkah-langkah yang sudah diambil. Program Makan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, perumus menyoroti hasil lanjutan dari pilot project yang telah dilakukan.

“Soal fiskal, perlu dipikirkan operational cost yang menekan dari total bahan sosial yang benar-benar masyarakat versus yang digunakan oleh siapapun pihak yang menyalurkan. Perlu juga dipertimbangkan sumber dana lain yang dimanfaatkan dan peningkatan tax ratio yang tentu saja akan memengaruhi,” ujar I Made Krisna Yudhana Wisnu Gupta dari CIPS.

Berkaitan dengan tax, peningkatan rasio pajak dianggap tidak realistis untuk mencapai 23 persen. Kesimpulan ini diperoleh dari RPJPN Bapennas.

“Ketika kami melihat pada dokumen perencanaan berupa RPJP yang dikeluarkan Bapennas bahwa di 2045 saja mereka baru mencapai 20 persen, sedangkan mereka sudah mempertimbangkan ekonomi dan sebagainya,” terang Farhan Medio Yudantyo, Asisten Program dan Penelitian Kebijakan Ekonomi dan Fiskal The Prakarsa.

Hilirisasi dan energi hijau menghasilkan rekomendasi dengan kesepakatan yang sama dalam satu poin, yaitu peningkatan.

“Hilirisasi tidak cukup kalau kita inginkan pertumbuhan ekonomi kita di atas 8 persen. Yang harus dilakukan, kita harus melanjutkan hilirisasi sampai ke end product,” jelas Mohamad Toha, Ketua Bidang Kajian Strategis Pertambangan PERHAPI.

Yudha Permana Jayadikarta, Direktur Eksekutif METI, turut menyampaikan perlunya program-program yang realistis dan segera diwujudkan menyoal energi hijau untuk mengejar gap target 13,1 persen di 2023 ke 25 persen di 2025. Langkahnya direkomendasikan dengan mendirikan lembaga independen setingkat kementerian.

“Secara institusi lepas dari kementerian, tetapi pengurusnya justru berasal dari kementerian. Karena itu, supaya lepas secara independen, kita mengusulkan bahwa perlu adanya badan baru setingkat kementerian yang non-kementerian yang bisa disebut Badan Percepatan dan Pengelolaan Energi Hijau,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait PRABOWO GIBRAN atau tulisan lainnya dari Shofiatunnisa Azizah

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Shofiatunnisa Azizah
Editor: Dwi Ayuningtyas