tirto.id - Membolos kerja adalah pilihan. Namun, bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) membolos kerja bukan hanya sebatas pilihan, tapi sebuah pelanggaran disiplin terhadap sebuah peraturan negara. Persoalan membolos kerja bagi PNS sudah diatur pemerintah lengkap dengan sanksinya.
Di dunia swasta, ketentuan masuk kerja diatur oleh masing-masing perusahaan. Untuk para PNS, kewajiban masuk kerja diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS. Pada pasal 3 ayat 11 jelas-jelas disebutkan seorang PNS wajib masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja.
Sayangnya peraturan yang sudah baik ini seringkali tidak diterapkan dengan baik. PNS yang membolos kerja di bawah 5 hari hanya dapat teguran lisan. Selain itu, ketentuan sanksi bolos kerja hanya dihitung terakumulasi per tahun, bukan terakumulasi total selama masa kerja seorang PNS.
Tren Meningkat
Dalam nomenklatur umum dunia kerja, dikenal istilah alpa atau tanpa keterangan, sakit, cuti, izin dan sebagainya. Demikian pula untuk PNS. Biasanya daftar isian dari nomenklatur para PNS ini makin membengkak setelah hari raya besar seperti Idul Fitri. Berdasarkan data Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tentang jumlah cuti PNS DKI pasca lebaran misalnya, ada tren kenaikan angka alpa hingga izin PNS setelah cuti bersama lebaran.
Pada 2013, jumlah PNS Pemprov DKI Jakarta yang alpa hanya satu orang. Setahun kemudian bahkan tak tercatat tak ada yang membolos, tapi pada 2015 angka PNS yang membolos meningkat tajam jadi 126 orang.
Namun, bila dihitung total PNS yang tak masuk kerja setelah hari pertama kerja pasca lebaran angkanya cukup tinggi. Pada 2013 jumlah PNS yang tak masuk karena alasan sakit tercatat 98 orang, pada tahun berikutnya turun hanya jadi 95 orang, dan lagi-lagi di 2015 naik yang sangat signifikan menjadi 630 orang.
Nah, selanjutnya untuk alasan cuti angkanya cukup fantastis. Cara ini memang paling dianggap “aman” untuk melanjutkan libur lebaran tanpa risiko sanksi. Tiga tahun lalu jumlah PNS DKI yang mengajukan cuti pasca lebaran mencapai 688 orang, berselang dua tahun pada 2015 terjadi lonjakan cuti pasca lebaran naik 440 persen lebih jadi 3.781 orang. Angka lonjakan juga terjadi bagi PNS yang tak masuk karena minta izin yang naik 930 persen dari 57 orang di 2013 menjadi 588 orang di 2015.
Lonjakan alpa, cuti, izin dari para PNS Pemprov DKI pada tahun lalu merupakan imbas dari waktu libur yang “tanggung”. Tahun lalu lebaran jatuh pada Jumat-Sabtu tanggal 17-18 Juli 2015. Sedangkan cuti bersama berlangsung 3 hari pada 16, 20, dan 21 Juli atau jatuh pada hari Kamis, Senin dan Selasa atau waktu libur hanya 6 hari. Agar tak tanggung berada di kampung halaman, perpanjangan cuti merupakan solusinya.
Apa yang terjadi pada PNS Pemprov DKI Jakarta mungkin tidak mewakili seluruh PNS di Indonesia. Namun, datanya cukup bisa memberikan gambaran tentang bagaimana kinerja PNS. Saat ini, Pemprov DKI Jakarta merupakan salah satu pemilik PNS terbanyak di Indonesia. BPS DKI Jakarta mencatat pada 2013 total jumlah PNS DKI Jakarta mencapai 96.080 orang, turun drastis dari 2011 yang sempat mencapai 129.621. Jumlah PNS DKI pada 2013 setara dengan 2,1 persen dari total jumlah PNS skala nasional.
Secara nasional, jumlah PNS yang bolos, cuti, hingga izin pasca lebaran pastinya akan jauh lebih besar. Namun, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi pernah mengatakan tren PNS yang membolos kerja di hari pertama pasca libur lebaran, sudah mulai jarang.
"Sekarang trennya jarang pegawai bolos sengaja. Di KemenPAN saja biasanya kalau ada pegawai terlambat setelah libur lebaran itu karena masalah teknis, bisa karena lalu lintas macet, atau keterbatasan dana untuk membeli tiket kembali ke Jakarta," kata Yuddy Juli 2015 lalu dikutip dari Antara.
Ucapan Pak menteri ini bisa saja benar. Namun yang pasti, tren PNS yang tak masuk kantor pasca lebaran justru meningkat dengan berbagai “modus”. Para PNS mencoba menghindari sanksi dengan berlomba-lomba menambah hak cuti tahunan pasca lebaran. Akhirnya ada upaya mendisiplinkan para PNS oleh Pemprov DKI Jakarta. Pada 29 Juni 2016, Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan surat edaran No 31/SE/2016 tentang penundaan cuti tahunan bagi PNS dan calon PNS setelah cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1437H/2016 M.
Ketentuan ini merupakan turunan dari Peraturan Menteri PAN RB No PER/87/M.PAN/8/2015 tentang pedoman peningkatan pelaksanaan efisiensi, penghematan, dan disiplin kerja dan Surat Menteri PAN RB No B/2337/M.PANRB/06/2016 soal imbauan agar tidak memberikan cuti tahunan sesudah cuti bersama Idul Fitri 1437 H.
Aturan ini memang positif untuk mendorong kinerja PNS. Namun, di sisi lain aturan ini bisa menjadi celah PNS membolos saat hak cuti tak lagi mendapat lampu hijau. Di sini lah perlu ketegasan salah satunya dengan verifikasi laporan dan pemberian sanksi yang berat.
Rutin Sidak, Sanksi Ringan
Apa yang biasa dilakukan para pejabat tinggi ketika mulai memasuki hari pertama hari kerja pasca lebaran? Pastinya diisi dengan inspeksi mendadak (sidak). Sayangnya sidak-sidak ini tak memberikan efek jera.
Penyebabnya, sanksi yang diberikan sangat ringan, bahkan hanya dalam bentuk tuguran lisan untuk PNS yang membolos lima hari kerja. Tindakan tegas dan sanksi berat seperti menurunkan jabatan hingga pemecatan masih jarang terjadi, bila ada angkanya sangat kecil. Pada Juli 2013 misalnya, sebanyak 34 PNS diberhentikan karena alasan sering membolos. Pada Oktober tahun yang sama sebanyak 44 PNS juga mengalami nasib serupa. Angka ini memang sangat kecil dari jutaan PNS yang ada.
Sanksi pemecatan memang bisa diterapkan bagi PNS yang sangat rajin membolos. Pemecatan PNS diatur dalam PP No. 53/2010 tentang disiplin PNS. Dalam PP ini diatur tingkat hukuman disiplin terdiri dari hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang, dan hukuman disiplin berat.
Sanksi ringan mencakup teguran lisan bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 5 hari kerja. Selain itu, bisa dalam bentuk teguran tertulis bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 6-10 hari kerja. Sanksi ringan juga bisa dalam bentuk pernyataan tidak puas secara tertulis bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 11-15 hari kerja.
Untuk sanksi sedang, antara lain penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 16-20 hari kerja. Selain itu, bisa juga penundaan kenaikan pangkat selama 1 tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 21-25 hari kerja. Sanksi sedang bisa dalam bentuk penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 26-30 hari kerja.
Selain sanksi ringan dan sedang, ada juga sanksi berat. Sanksi berat antara lain penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 31-35 hari kerja. Sanksi lain yaitu pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah bagi PNS yang menduduki jabatan struktural atau fungsional tertentu yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 36-40 hari kerja.
Tindakan pembebasan dari jabatan bagi PNS yang menduduki jabatan struktural atau fungsional juga bisa dilakukan bagi PNS yang membolos 41-45 hari kerja. Sanksi pamungkas dan mungkin paling ditakuti oleh para oknum PNS malas, adalah pemecatan bagi PNS yang membolos selama 46 hari kerja atau lebih dalam akumulasi setahun.
Artinya dengan ketentuan ini, setiap oknum PNS yang bolos beberapa hari pasca lebaran, maka sanksi yang diberikan hanya sanksi disiplin ringan dengan ditegur atasan. Itu pun bila sang atasan menegurnya.
Beda ceritanya bila akumulasi bolos dilakukan secara total dari masa kerja awal seorang PNS. Sekadar simulasi, bila setiap tahun seorang PNS bolos masing-masing satu hari pasca libur Idul Fitri, Idul Adha, dan Natal maka setahun minimal ada 3 kali bolos. Bila kejadian ini menjadi rutinitas selama 15-16 tahun masa kerja, maka totalnya ada 46 hari membolos. Jumlah bolos hari kerja sebanyak itu harusnya sudah bisa memecat seorang PNS yang malas. Bayangkan bila seorang PNS rutin membolos selama 6 hari saja per tahun, maka dalam 7-8 tahun sudah bisa ada surat pemecatan.
Sayangnya, itu hanya sebuah pengandaian. Faktanya, aturan hukum yang ada berkata lain. Pelanggaran terhadap kewajiban masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja dihitung secara kumulatif hanya sampai dengan akhir tahun berjalan, seperti yang tercantum pada pasal 14 PP No. 53/2010.
Seharusnya para oknum PNS malas ini sadar bahwa sebagai abdi negara maka kinerja mereka jadi sorotan dan tentu yang paling utama adalah soal tanggung jawab pada pelayanan publik. Hal jelas-jelas diatur dalam pasal 11 dalam UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipiil Negara (ASN), bahwa ASN bertugas memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas. Sudah seharusnya ada revisi PP tentang disiplin PNS.
Akumulasi angka bolos sejak masa kerja bisa jadi solusi agar para oknum PNS yang malas dikenai sanksi berat hingga pemecatan. Cara ini bisa menjadi bagian dari upaya rasionalisasi PNS yang sedang diwacanakan pemerintah. PNS yang selama ini rajin membolos sudah sepantasnya masuk keranjang rasionalisasi.