Menuju konten utama

Rapat RUU Terorisme Makin Alot, Pemerintah Usul Definisi Alternatif

Rapat pembahasan RUU Terorisme berjalan alot karena terjadi perdebatan antara pemerintah dan DPR

Rapat RUU Terorisme Makin Alot, Pemerintah Usul Definisi Alternatif
Ilustrasi. Kepala PPATK Muhammad Yusuf (kanan) dan Dirjen Bea Cukai Kemenkeu Heru Pambudi (kiri) mengikuti rapat dengar pendapat dengan Pansus DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/9). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc/16.

tirto.id - Pembahasan lanjutan RUU Terorisme antara DPR dan pemerintah terkait definisi terorisme berlangsung alot. Dua usulan pemerintah ditolak oleh beberapa fraksi anggota Pansus RUU Terorisme, seperti Gerindra, PPP, Demokrat dan PKB.

Namun, dalam hal ini, yang terlihat paling ngotot dalam menolak definisi usulan pemerintah adalah Ketua Pansus RUU Terorisme, M Syafii. Ia bahkan mendebat rekan satu fraksinya, Wenny Warouw yang mendukung usulan pemerintah.

Menurut Syafii, anggapan Wenny bahwa tidak ada masalah dalam menindak pidana terorisme saat penerapan UU Nomor 15 tahun 2003, adalah salah besar. Sehingga, menurutnya, frasa "dengan tujuan ideologi, tujuan politik, dan/atau ancaman terhadap keamanan negara" seperti usulan DPR perlu tetap dimasukkan.

Syafii meyakini frasa tersebut dapat menjadi batasan antara tindak pidana terorisme dengan tindak pidana umum. Sehingga, potensi salah tangkap dan abuse of power seperti di masa lalu dapat dihindari.

"Tadi saya dengar kalau ada yang sudah diperiksa terus nggak punya motif politik atau ideologi atau mengancam kedaulatan negara apakah dia bebas? Ya tidak. Masih ada kitab hukum pidana. Lalu ngapain kita paksa semua orang yang ditangkap jadi teroris? Ada apa sekarang di negeri ini? Apalagi kalau kita tahu teroris ini buatan siapa," kata Syafii, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/5/2018).

Atas hal ini, maka setelah sesi istirahat pemerintah kembali membuat dua usulan alternatif dalam menjembatani perdebatan.

Usulan pertama berbunyi: "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban, yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional."

Sementara, frasa yang diinginkan Syafii masuk dalam usulan alternatif kedua yang berbunyi: "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, atau politik atau gangguan keamanan negara."

Akan tetapi, Ketua Tim Pemerintah, Enny Nurbaningsih meminta kepada forum agar tidak terburu-buru mensahkan usulan alternatif tersebut, melainkan membawanya ke forum rapat kerja (raker) mini fraksi dan pemerintah.

"Sehingga kami bisa memtusi sesuai jadwal," kata Enny di kesempatan yang sama.

Sebelumnya, dalam forum rapat ini pemerintah mengusulkan dua rumusan definisi. Usulan pertama: Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional."

Usulan kedua: "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional."

Pembahasan RUU Terorisme sudah berlangsung sejak 2016 setelah kejadian teror bom Thamrin. Rancangan ini diusulkan oleh pemerintah dengan maksud mempertegas dan memberikan tambahan kewenangan terhadap aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana terorisme. Terutama menambah pasal-pasal yang sebelumnya tidak ada di UU No 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, seperti pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pada awalnya, pemerintah menargetka pembahasan ini selesai selama dua kali masa sidang DPR. Namun, sampai dua kali masa sidang, DPR hanya melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) guna menyusun Daftar Inventarisir Masalah (DIM) yang rampung pada Desember 2016.

Pembahasan praktis baru dimulai pada 2017. Terdapat beberapa pasal yang harus dibahas dengan pelik, seperti pelibatan TNI, penambahan masa tahanan dan penahanan untuk penyidikan. Masing-masing butuh waktu lebih kurang tiga bulan pembahasan.

Pemerintah dan DPR akhirnya mampu menyepakati seluruh pasal dalam rancangan ini pada 17 April 2018, kecuali perkara definisi. Sebab, antara keduanya masih terdapat perbedaan pandangan soal penambahan frasa motif ideologi, motif politik dan kemananan negara. Akhirnya pembahasan saat itu diputuskan ditunda.

Namun, tak sampai sebulan sejak saat itu terjadi serangkaian teror di sejumlah wilayah yang menelan banyak korban jiwa. Hal ini membuat Presiden Jokowi mendesak agar RUU Terorisme segera dirampungkan. Bahkan, ia menyatakan akan menerbitkan perppu jika sampai Juni tahun ini tidak rampung. Pansus dan Pemerintah pun menargetkan pembahasan ini rampung dan dapat disahkan dalam Paripurna DPR, Jumat minggu ini (25/5/2018).

Baca juga artikel terkait REVISI UU TERORISME atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yandri Daniel Damaledo