Menuju konten utama

Pemerintah Belum Bahas Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme

Enny Nurbaningsih menyatakan, pemerintah belum membahas detil poin-poin dalam peraturan presiden mengenai keterlibatan TNI dalam RUU Terorisme.

Pemerintah Belum Bahas Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme
Ilustrasi. Ketua Pansus RUU Terorisme M Syafii (kiri) didampingi Wakil Ketua Hanafi Rais ketika memimpin rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/5). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) Pemerintah dalam pembahasan RUU Terorisme, Enny Nurbaningsih menyatakan, pihaknya belum membahas secara detil poin-poin dalam peraturan presiden mengenai keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam memberantas tindak pidana terorisme.

"Kami belum sampai sejauh itu ya. Mungkin setelah ini (Pembahasan RUU Terorisme) selesai baru kami kaji ke sana," kata Enny, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/5/2018).

Pelibatan TNI telah disepakati dalam RUU Terorisme dan masuk dalam Pasal 43J ayat 1 sampai 3 dalam draf tertanggal 17 April 2018.

Ayat 1 menyatakan, "Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang". Ayat 2 menyatakan, "Dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI".

Sementara pembuatan perpres merupakan amanat ayat 3 yang menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden".

Enny menyatakan, pelibatan TNI dalam memberantas tindak pidana terorisme telah sesuai dengan koridor UU TNI Nomor 34 tahun 2004 pasal 7 ayat 2 dan 3 tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Menurutnya, Perpres hanya sebagai penjelas terhadap amanat pasal tersebut yang menyaratkannya keputusan politik negara untuk TNI melakukan OMSP.

Pembuatan Perpres tersebut sebetulnya memiliki konsekuensi revisi UU TNI. Pasalnya, selama ini belum ada penjelasan terperinci terkait 14 tugas TNI dalam undang-undang tersebut, termasuk OMSP.

Saat disinggung perihal itu, Enny membenarkannya. Menurutnya revisi untuk kepentingan ini dimungkinkan, tapi pihaknya sedang tidak berpikiran ke arah situ.

"Nah kami kan belum selesaikan semaju itu, jadi kalau sekarang ini kami memang tidak lakukan. Kami tidak mengaitkan dengan arahan pada revisi UU TNI," kata Enny.

Sepanjang pembahasan RUU Terorisme, pasal pelibatan UU TNI menjadi salah satu pasal yang menyita perhatian publik. Banyak kritik terhadap wacana ini karena berpotensi menciptakan militerisme dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Terlebih karena selama ini TNI cenderung punya sejarah melakukan tindakan eksesif dan represif.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pelibatan militer tidak perlu masuk dalam revisi UU 15/2003. Sebab UU tersebut mengatur tata cara penegakan hukum, sehingga yang perlu diatur adalah institusi-institusi terkait dengan penegakan hukum.

Sedangkan TNI dalam UU TNI Nomor 34 tahun 2004 tidak memiliki tugas utama sebagai penegak hukum, melainkan menjaga kedaulatan negara.

Dalam UU TNI Pasal 7 ayat (2) dan (3) tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP) juga telah diatur bahwa TNI dapat terlibat dalam tugas selain perang jika terdapat keputusan politik negara.

Kritik lain juga disampaikan mantan Koordinator KontraS, Haris Azhar. Menurutnya, masalah utama dari penanggulangan terorisme di Indonesia adalah pada sisi akuntabilitas, bukan terlibat atau tidaknya TNI.

Seperti halnya operasi pemberantasan teroris di Poso, Sulawesi Tengah, sejak 2006 hingga 2013 oleh Densus 88 yang ia duga terjadi pelanggaran HAM.

Akibat banyaknya kritik, pembahasan pasal ini jadi lama. Saking lamanya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pernah mengirim surat ke DPR pada 8 Januari 2018. Ia meminta pihaknya dapat dilibatkan dalam penanggulangan terorisme. Alasannya, terorisme merupakan ancaman kedaulatan negara dan menjadi tanggungjawab TNI.

Tak lama setelah surat itu diterima DPR, pelibatan TNI akhirnya disepakati pada 14 Maret 2018 dan masuk dalam Pasal 43 J ayat 1, 2 dan 3, seperti yang tercatat dalam draf RUU Terorisme per 17 April 2018.

Pemerintah dan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Terorisme (Pansus RUU Terorisme) hari ini menggelar rapat lanjutan secara tertutup dengan agenda pembahasan definisi terorisme yang belum rampung. Kedua pihak tersebut berharap dalam rapat kali ini pembahasan tersebut bisa rampung dan RUU Terorisme bisa segera disahkan.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TERORISME atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yandri Daniel Damaledo