tirto.id - Jumlah kedai kopi di kota-kota besar makin menjamur. Mereka tak hanya menawarkan kopi yang khas dan nikmat, tetapi juga tempat ngopi yang menawan. Kedai kopi ini bermunculan sejalan dengan tren gaya hidup "ngopi cantik" yang sedang menghinggapi milenial.
Tren "ngopi cantik" ini langsung disambut hangat oleh para pebisnis, tak hanya dari kalangan umum tetapi juga para pesohor. Misalnya artis nasional seperti Nino Fernandez. Artis FTV kelahiran Hamburg, Jerman ini memiliki kedai kopi dengan nama Dibawahtangga yang berlokasi di Gandaria City.
Kedai kopi yang dinamai Dibawahtangga ini memang benar-benar berada di bawah tangga, tepatnya di lobby utara Gandaria City. Es Kopi Kampung dan Es Kopi Susu Kota menjadi minuman kopi andalan disana.
Artis lainnya yang membuka kedai kopi adalah Chicco Jerikho dan Rio Dewanto. Dua artis ini memiliki kedai kopi bernama Filosofi Kopi. Kedai ini salah satunya berada di daerah Blok M, tepatnya di Melawai, Jakarta Selatan.
Selain itu, Keenan Pearce dan Ernanda Putra juga membuka sebuah coffee shop di Kuningan City dengan nama Makna Coffee. Meski baru dibuka pada Agustus 2017, kedai kopi ini telah berhasil menjaring banyak penggemar.
Tak hanya artis, warga biasa juga tidak ingin ketinggalan untuk mencicipi bisnis kedai kopi. Al Junishar—warga asal Aceh—mendirikan kedai kopi di Jalan Taman Setiabudi, Jakarta Selatan pada Juni 2017, atau baru berumur sekitar 9 bulan.
“Sebenarnya bukan ikut-ikutan tren. Memang membuka kedai kopi itu sudah menjadi jalan hidup saya. Mau trennya naik atau turun, saya tetap membuka kedai kopi,” kata pria berumur 37 tahun ini kepada Tirto.
Sejak dibuka hingga sekarang, pengunjung Fakultas Kopi terus meningkat. Rata-rata jumlah pengunjung mencapai 150-200 pengunjung per harinya. Adapun, kedai kopi ini menyediakan kopi arabika dan robusta Gayo.
Belum setahun Fakultas Kopi berdiri, Al Junishar atau biasa dipanggil Agam ini berencana untuk mendirikan satu kedai kopi lagi di Jakarta pada pekan depan. Tidak seperti Fakultas Kopi, kedai kopi ini berukuran lebih kecil, yakni sekitar 20 meter persegi.
Tingginya minat masyarakat membuka kedai kopi akhir-akhir ini juga diakui oleh Coffeeland Indonesia, selaku penyedia bisnis kedai kopi. Sejak 2015 hingga saat ini, Coffeeland sudah bermitra dengan 35 pemilik kedai kopi.
“Kalo bicara minat, hampir setiap hari ada saja yang menanyakan peluang usaha kedai kopi. Traffic ke situs kami itu saja bisa mencapai 400 pengunjung per harinya,” ujar Micko Irawan, Pemilik Coffeeland Indonesia kepada Tirto.
Micko menceritakan Coffeland didirikan sebagai solusi bagi masyarakat yang ingin memiliki kedai kopi, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. Apalagi, menjalankan kedai kopi juga tidaklah mudah.
Banyak hal yang harus dikerjakan untuk menghasilkan kopi yang baik, mulai dari mencari bahan baku yang baik, mengolah biji kopi dengan standar internasional, cara menyajikan kopi kepada pelanggan dan lain sebagainya.
Awalnya, konsep bisnis Coffeeland mirip seperti perusahaan waralaba. Namun saat ini sudah berubah. Kini, Coffeland memberikan ruang bagi mitra bisnisnya untuk memakai merek sendiri, sesuai dengan keinginan mereka.
Dengan demikian, pemilik kedai kopi hanya perlu membayar biaya di awal untuk memulai bisnisnya, dan memiliki kebebasan untuk terus mengembangkan bisnisnya sesuai keinginan, di masa yang akan datang.
Layanan yang diberikan Coffeeland kepada mitranya bisa dibilang cukup lengkap. Mulai dari menyediakan bahan baku, mesin kopi, perlengkapan kedai kopi, pelatihan karyawan hingga peralatan penunjang dan lain sebagainya.
Untuk menyesuaikan dengan kantong calon mitra bisnis, Coffeeland menawarkan tiga jenis paket usaha, yakni paket Mini Coffee dengan nilai investasi Rp72,5 juta, Coffee Shop senilai Rp92,5 juta dan Coffee House sebesar Rp145 juta.
Selain permintaan kopi yang tinggi, daya tarik bisnis kedai kopi juga didorong dari margin keuntungan yang cukup besar. Rata-rata margin keuntungan dari kedai kopi mencapai 35-40 persen dari total penjualan.
Pangsa Pasar Masih Terbuka Lebar
Lantas, dengan jumlah kedai kopi yang sudah menjamur ini, masih adakah pangsa pasar yang bisa diambil oleh warga yang ingin membuka kedai kopi baru?
Micko menilai pangsa pasar kedai kopi masih terbuka lebar. Pasalnya, kebutuhan akan kedai kopi masih akan terus tumbuh setiap tahun. Hal ini juga didorong dari gaya hidup generasi milenial yang gemar berkumpul.
Senada, Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) menilai pangsa pasar yang dapat digarap pelaku kedai kopi masih terbuka lebar mengingat tingkat konsumsi kopi di dalam negeri terus meningkat.
“Dulu, tingkat konsumsi kopi masyarakat Indonesia itu 0,8 kg per kapita. Tahun lalu, sekitar 1,2 kg per kapita. Tahun ini, mungkin bisa sampai sekitar 1,4-1,5 kg per kapita,” kata Pranoto Sunarto, Wakil Ketua Badan Pengurus Pusat AEKI kepada Tirto.
Meningkatnya tingkat konsumsi kopi juga tidak terlepas dari gaya hidup masyarakat urban yang gemar berkumpul. Dari dua faktor tersebut, bisa dibilang prospek bisnis kedai kopi di masa mendatang masih sangat menjanjikan.
Meski begitu, menjamurnya kedai kopi baru membuat bisnis kopi malah menjadi tidak sehat. Pasalnya, AEKI menemukan banyak kedai kopi yang berukuran terlampau kecil, atau kurang memadai, dan menjual kopi dengan harga tinggi.
Kedai kopi yang baik setidaknya harus mampu memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi pengunjungnya, mulai dari tempat yang keren, ruang yang luas, hingga disediakannya wifi. Jadi tidak bisa cuma jual kopi saja.
“Saya sering mengingatkan teman-teman [pemilik kedai] agar membuka kedai kopi dengan memadai agar bisnis mereka bisa berkelanjutan. Harga kopi juga harus reasonable, agar tidak merusak harga pasar,” jelas Pranoto.
Secara jangka panjang, bisnis kopi memang menjanjikan. Tinggal bagaimana pemilik kedai kopi dapat mengemasnya menjadi lebih menarik. Apabila tidak mampu, menggandeng mitra yang berpengalaman bisa menjadi solusi yang tepat. Pilihan ada di tangan Anda.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti