tirto.id - Semenjak internet memasuki babak web 2.0, komentar merupakan salah satu fitur yang wajib hadir dalam setiap situsweb, baik di media sosial, maupun situsweb berita online. Web 2.0 menekankan pada interaksi antara publisher atau penerbit suatu situsweb dengan penggunanya atau netizen.
Bagi situsweb berita online, secara teknis ada dua cara menyajikan komentar dalam tiap artikel-artikel yang mereka terbitkan. Pertama, membuat sendiri sistem komentar menggunakan segala sumber daya yang mereka miliki. Kedua, memanfaatkan fitur pihak ketiga untuk menampilkan komentar. Dua penyedia yang cukup populer pada sistem kedua ini adalah social plugin milik Facebook dan Disqus.
Di Indonesia, situsweb yang memiliki kolom komentar memiliki dua nasib yang saling bertentangan. Ia bisa sangat ramai atau sangat sepi. Kolom komentar biasanya ramai jika ada topik-topik yang sedang hangat dan artikelnya menarik. Pembaca biasanya tergerak mengomentari berita, atau malah mengomentari komentar dari pembaca lainnya. Inilah yang kerap kali memunculkan perdebatan tanpa henti, bahkan terkadang menyinggung SARA.
Kolom komentar, sebagaimana diwartakan Boston Globe bagaikan sesuatu yang memercikan emosi. Dalam kolom komentar, pengguna yang masuk ke wilayah tersebut, akan terjebak pada debat yang tak berkesudahan. Lebih parahnya, komentar-komentar dalam kolom komentar di sebuah situsweb, menghasilkan suatu komentar-komentar dengan nada rasis, seksis, dan berbagai kalimat-kalimat yang kurang baik diucapkan.
Joseph M. Reagle Jr, seorang profesor komunikasi di di Universitas Wortheastern mengungkapkan, kolom komentar sejatinya merupakan "jendela yang bernilai untuk memahami bagaimana orang-orang bertaut dan berinteraksi satu dengan lainnya dalam zaman digital". Reagle pun mengungkapkan bahwa kolom komentar bisa digunakan untuk memahami seseorang. "Saya berpikir kita dapat memahami tentang kelakuan manusia dari situ (kolom komentar). Komentar dapat meningkatkan kita, mempertajam kita, mengasingkan kita, dan menertawakan kita," ujarnya.
Kolom komentar yang mengandung banyak hal-hal negatif tentu membuat gusar siapa saja, baik si publisher atau penerbit maupun orang-orang yang membacanya. Anonimitas membuat orang merasa bisa berbuat apa saja. Sejumlah situsweb berita sudah mencoba menyiasatinya dengan menerapkan kebijakan "register" dan verifikasi akun. Sayangnya, hal ini tetap tidak mampu menyaring banyaknya komentar negatif.
Seorang asisten profesor dari Universitas Houston, Arthur Santana dalam artikel “Virtuous or Vitriolic: The Effect of Anonymity on Civility in Online Newspaper Reader Comment Boards,” membedah perilaku anonimitas di dunia maya. Ia membandingkan ribuan komentar online yang diunggah oleh komentator anonim dan non-anonim, terhadap sebuah artikel di media online. Santana menemukan, 53,3 persen komentar anonim mengandung bahasa yang vulgar, rasis, penuh kebencian. Sementara itu, hanya 28,7 persen komentar non-anonim yang tidak beradab.
"Anonimitas memiliki sejarah yang panjang dalam dunia jurnalisme sejak awal permulaan koran di AS. Pada 1700-an, Benjamin Franklin menggunakan nama Silence Dogood agar opininya dipublikasikan setelah ditolak beberapa kali dengan menggunakan namanya," jelas Santana. "(Anonimitas) sudah sejak lama dipandang sebagai cara untuk mengekspresikan opini, meski tidak populer," tambahnya.
Dari kenyataan tersebut, kini banyak situsweb akhirnya yang menghapuskan kolom komentar. Seperti dilansir The Washington Post, pada 2013 situsweb Popular Science menghentikan kolom komentar. Di tahun 2014, situsweb Recode, Reuters, Bloomberg, dan Daily Beast juga ikut mematikan kolom komentar. Terbaru, sebagaimana diwartakan Techcruch, IMDb mematikan fitur komentar atau dalam bahasa mereka, discussion board. Pihak IMDb mengungkapkan, (kolom komentar) tidak lagi menyajikan hal positif dan pengalaman berguna bagi mayoritas (pengguna kami) dari lebih dari 250 juta pengguna bulanan.”
Banyak yang berpandangan kolom komentar bisa menaikkan jumlah kunjungan. Namun dalam beberapa kasus, ditutupnya kolom komentar ternyata justru menaikkan jumlah pengunjung. Sebagaimana diwartakan The Atlantic, situsweb National Journal justru memiliki jumlah pembaca yang lebih banyak setelah menutup kolom komentarnya. Page view per kunjungan, meningkat lebih dari 10 persen. Page view per kunjungan unik, meningkat lebih dari 14 persen. Para pengunjung yang kembali mengunjungi National Journal, meningkat lebih dari 20 persen.
Sejumlah sitisweb akhirnya meniadakan kolom komentar, semata-mata untuk memberikan pengalaman pengguna terbaik bagi pembacanya. Kolom komentar yang dihilangkan, akan meningkatkan kesadaran pengunjung terhadap artikel-artikel yang diterbitkan suatu situsweb. Hal demikianlah yang terjadi pada situsweb National Journal.
Kolom komentar bagaikan suatu pedang bermata dua. Ramainya kolom komentar menandakan bahwa situsweb demikian laku dan ramai. Di sisi lain kolom komentar menjadi semacam “penghasut” bagi siapa saja yang masuk ke dalamnya. Komentar dalam kolom komentar suatu situsweb, dapat mempengaruhi persepsi dan opini bagi si pembaca.
Sebuah penelitian yang diinisiasi Universitas George Mason dan Universitas Wisconsin-Madison mengungkap perilaku tersebut. Seperti dilansir dari LA Times, Penelitian dilakukan dengan membuat dua buah situsweb berita online. Keduanya memuat berita yang sama tentang teknologi Nanosilver. Namun, satu situsweb tidak memiliki fitur komentar, satu situsweb lainnya memiliki kolom komentar. Situsweb yang memiliki kolom komentar, diberi komentar-komentar negatif terhadap berita tersebut. Hasilnya, orang-orang yang membaca berita Nanosilver melalui situsweb tanpa kolom komentar, cenderung setuju dengan berita yang ditampilkan. Para pembaca yang membaca melalui situsweb dengan kolom komentar, cenderung mempertanyakan teknologi Nanosilver, terutama menyangkut keamanannya.
Dengan kata lain, kolom komentar justru dapat membahayakan artikel yang publisher atau penerbit terbitkan dalam situsweb mereka. Selain jadi ajang untuk rasial, seksisme, dan hal negatif lainnya, komentar juga bisa membuat para pembaca berpikir ulang tentang artikel yang dipublikasikan. Inilah yang akhirnya membuat para penyedia situsweb berita mengambil langkah aman dengan mematikan kolom komentar.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti