tirto.id - Setelah melakukan perjalanan selama dua pekan dengan berjalan kaki, menaiki sampan, bus, kereta, dan pesawat, Moi akhirnya tiba di Washington DC, Amerika Serikat, pada 1992.
Moi yang merupakan tetua suku Huaorani berasal dari Oriente, jantung hutan tropis Amazon di wilayah Ekuador. Suku ini hidup dari berburu, kerap berpindah-pindah, dan menerapkan hak kepemilikan komunal.
Menurut Joe Kane dalam "Moi Goes to Washington" (The New Yorker, 2 Mei 1994), perjalanan itu dilakukan Moi demi mengirim surat undangan kepada Presiden George H. W. Bush untuk mengunjungi sukunya. Ia juga hendak meminta penjelasan mengapa Amerika Serikat berusaha menghancurkan mereka.
"Kami di sini hidup dengan semangat jaguar. Kami tidak ingin dibunuh oleh perusahaan minyakmu," ungkap Moi dalam suratnya.
Disponsori Sierra Club Legal Defense Fund yang kini bernama Earthjustice, Moi juga memberikan keterangan dalam sidang dengar pendapat dengan Kongres Amerika Serikat tentang bencana lingkungan yang ditimbulkan pelbagai perusahaan minyak asal Paman Sam di Ekuador.
Dalam keterangannya di hadapan Kongres, Mao menyebut bahwa suku Huaorani menjaga hutan untuk dunia. Dana dalam menjaga itu mereka tidak pernah dikalahkan oleh pihak manapun.
"[Kami] merupakan orang-orang paling pemberani di Oriente (Amazon) dengan tombak yang kami miliki. Mohon jangan biarkan perusahaan tambang berada di tempat kami,” tegasnya.
Meskipun memahami dan percaya bahwa perusahaan pertambangan minyak memang menghancurkan kawasan Amazon, Kongres menolak menindaklanjuti permasalahan ini.
Alasannya, secara hukum Kongres hanya bisa bertindak jika Pemerintah Ekuador--entitas politik bernama negara yang menaungi suku Huaorani dan segala lingkungannya--meminta mereka melakukan tindakan.
Prasyarat ini sulit dilakukan karena Pemerintah Ekuador hendak membebaskan diri dari status negara termiskin di Amerika Latin sejak 1970-an dengan memberikan konsesi eksplorasi kepada perusahaan pertambangan minyak.
Dalam Amazon Crude (1990) garapan Judith Kimerling, kisah pertambangan minyak di Ekuador bermula pada 1911. Kala itu, pelbagai perusahaan tambang minyak dunia, khususnya dari Amerika Serikat, berhasil menemukan cadangan minyak di dalam perut bumi wilayah Ekuador bagian Semenanjung Santa Elena.
Namun, karena cadangan minyak yang di wilayah tersebut teryata sedikit, proses pencarian berlanjut hingga merangsek ke wilayah Amazon.
Dalam proses ini, pada 1937 Shell Oil berhasil menemukan cadangan minyak dalam perut bumi Amazon tepatnya Oriente. Namun lagi-lagi perusahaan ini menghentikan proyeknya karena yakin bahwa kandungan minyak Amazon terlalu minim untuk dieksplorasi lebih jauh alias tidak menguntungkan.
Berpuluh tahun kemudian, dengan peralatan yang lebih mumpuni, perusahaan tambang minyak datang kembali ke pedalaman Amazon. Kala itu, tepatnya pada 1967, bukan Shell Oil, melainkan Texaco, perusahaan tambang minyak asal Amerika Serikat.
Melakukan penelitian di wilayah Amazon bagian Ekuador seluas 1,3 juta hektare, Texaco merevisi temuan Shell Oil. Menurut mereka, cadangan minyak yang dikandung Oriente, yang berada lebih dari tiga kilometer di dalam perut bumi, sangat besar, yakni kira-kira 216 juta barel yang dapat menarik pendapatan hingga sekitar $2 miliar.
Atas temuan ini dan izin yang diberikan Pemerintah Ekuador, lima tahun kemudian Texaco berhasil membangun pipa minyak sejauh 500 kilometer dari Oriente menuju sisi Pasifik Ekuador sebagai saluran utama 1,4 miliar barel minyak mentah yang diperjualbelikan di pasar dunia.
Hal ini kemudian mendorong perusahaan tambangan minyak lain ramai-ramai mengerubuti Ekuador, di antaranya Occidental Petroleum, Arco, Unical, Conoco, Maxus Energy, dan Oryx Energy. Juga perusahaan minyak negara, yaitu Petroecuador yang dibentuk pada 1969 bekerja sama dengan Texaco.
Diinisiasi Texaco, lebih dari 300 sumur minyak dan 29 kamp produksi berdiri di pedalaman Oriente, memproduksi sekitar 283.000 barel minyak mentah per hari. Hal ini membuat Ekuador tak lagi menjadi negara termiskin di Amerika Latin. Nahas, kebaikan yang diberikan emas hitam hanya menjelar ke bidang ekonomi, tidak yang lain, khususnya lingkungan.
Karena ekstraksi minyak mentah juga membawa "produced water"—cairan berbau busuk yang diperkaya dengan logam berat--maka lingkungan Oriente jadi tercemar.
Alih-alih menyuntikkan kembali cairan ini ke dalam perut bumi—yang biayanya mahal--para perusahaan tambang justru membuang cairan sebanyak 16,8 juta galon per tahun ini ke arteri-arteri Amazon. Akibatnya, hutan yang menjadi rumah bagi 12 ribu spesies tumbuhan atau lima persen dari seluruh spesies tumbuhan di bumi hancur perlahan-lahan.
Awalnya, Pemerintah Ekuador tak tahu soal "produced water". Kelakuan “The Company” merusak kawasan Amazon tak terdeteksi dunia alias hanya dirasakan masyarakat pedalaman yang tak berkutik dan tak memiliki suara.
Baru pada 1989, digawangi ahli hukum dari Yale Law School bernama Judith Kimerling, dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan minyak mengemuka di tengah khalayak.
Dalam penelitian yang dilakukan Kimerling disebutkan bahwa "produced water" merilis arsenik, kadmium, sianida, timbal, dan merkuri ke permukaan Amazon. Atas penelitian ini, tiga tahun kemudian dan usai Moi mengunjungi Washington, masyarakat pedalaman Amazon bagian Ekuador bersatu padu melakukan gugatan hukum kepada Texaco di Pengadilan Manhattan, New York, Amerika Serikat.
Mereka berhasil menang setelah Nicolas Zambrano, Hakim Pengadilan Manhattan, menyatakan Texaco bersalah dan wajib membayar ganti rugi senilai $18 miliar pada masyarakat Amazon.
Sayangnya, putusan tersebut lahir 19 tahun sejak gugatan dikeluarkan. Dan saat putusan dikeluarkan Texaco telah meleburkan diri untuk diwariskan kepada Chevron. Sementara Chevron menolak membayar ganti rugi dengan menyebut putusan tersebut tidak sah.
Belajar dari kerusakan lingkungan yang dilakukan pelbagai perusahaan tambang minyak di Amazon, tahun ini masyarakat Ekuador sepakat menolak pemerintah memberikan konsesi eksplorasi minyak di Blok 43 di wilayah Oriente bagian Taman Nasional Yasuni lewat referendum.
Editor: Irfan Teguh Pribadi