tirto.id - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengungkap keikutsertaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam politik praktis. Keterangan itu disampaikan Mahfud saat menjadi salah satu narasumber dalam program Indonesia Lawyer's Club (ILC) yang disiarkan TVOne, Selasa (14/8/2018) malam.
Mahfud menyebut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj dan Ketua Harian PBNU Robikin Emhas terlibat dalam suksesi Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden untuk Jokowi. Keterangan ini memicu beragam respons nahdiyin (warga NU).
Tak sedikit nahdiyin yang mengkritik sikap pimpinan NU dan ada pula yang tetap percaya NU bakal netral dalam politik praktis.
Sikap Nahdiyin
Sikap kritis muncul salah satunya dari Ketua PP GP Ansor Saleh Ramli. Ia menilai keterlibatan elite-elite NU dalam Pilpres tidak tepat. Sikap demikian jelas berbeda dengan keputusan Muktamar NU 1984 yang menyatakan organisasi ini telah kembali ke khittah sebagai organisasi keagamaan dan tidak berpolitik praktis, melainkan menjalankan politik kebangsaan.
“NU secara kelembagaan dibawa ke politik praktis itu offside. Karena kami sudah kembali ke Khittah 1926," kata Saleh kepada Tirto, Rabu (15/8/2018).
Lagipula, kata Saleh, sikap kembali ke khittah akan memberikan kesempatan kepada seluruh nahdiyin untuk bebas mengekspresikan pilihan politiknya tanpa batas harus ke partai tertentu.
“Salah satu maksud khittah itu kan untuk diaspora nahdiyin ke banyak partai. Saya misalnya, di Gerindra. Ada Nusron di Golkar. Ada Zuhairi di PDIP. Ada Imin di PKB. Banyak juga lainnya,” kata Saleh.
Berbeda dengan Saleh, Ketua PP Lakpesdam NU Rumadi Ahmad mengaku sedih mendengar pengakuan Mahfud. Namun, ia tetap yakin NU akan tetap menjaga politik kebangsaan dan netral di Pilpres 2019.
“Situasi seperti ini sudah berulang kali dialami NU. Pada 2004 ketika Pak Hasyim menjadi wakil Ibu Megawati, NU tetap terbukti dapat menjaga kenetralannya,” kata Rumadi kepada Tirto.
Rumadi menekankan agar di masa mendatang NU tidak lagi dimanfaatkan oleh elite internalnya ataupun elite politik dari eksternal untuk kepentingan politik praktis.
“Suasana kebatinan warga NU mereka akan lebih senang ketika yang terpilih di Pilpres adalah kader NU. Maka, tanpa mengorbankan posisi struktural dan memanfaatkan organisasi untuk memilih orang tertentu, warga NU sudah tahu siapa yang harus dipilih,” kata Rumadi.
Sikap optimistis seperti Rumaidi ini juga dikemukakan Alissa Wahid. Putri almarhum Gus Dur ini mengatakan NU sudah teruji dalam menghadapi perbedaan pandangan politik di internalnya.
“NU selalu ada kelompok-kelompok di dalam NU dan itu biasa. Enggak hanya soal politik. Soal mazhab juga biasa saja. Makanya prinsip dalam NU itu ada tasamuh. Karena toleran terhadap berbagai kelompok di NU,” kata Alisa kepada Tirto.
Seperti halnya Rumadi, Alissa juga menyinggung pemilu 2004 sebagai contoh kemampuan NU bertahan dalam perbedaan pandangan politik. Saat itu, Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi naik menjadi cawapres Megawati Soekarnoputri dan tokoh NU KH Solahudin Wahid menjadi cawapres Wiranto.
“Tentu saja waktu itu ketegangan politik sangat tinggi ya. Meskipun sekarang baru sekali dalam sejarah Rais Aam masuk politik praktis, tapi waktu itu saya kira lebih tegang ya. Buktinya NU tetap utuh,” kata Alissa.
Pendapat Alissa ini selaras dengan catatan Effendy Choirie dalam bukunya, Islam Nasionalisme UMNO-PKB: Studi Komparasi dan Diplomasi yang menyatakan, pemilu 2004 menjadi salah satu titik kerenggangan antara NU dan PKB.
Menurut Effendy, saat itu PKB tidak mendukung Mega-Hasyim, tapi Wiranto-Wahid. Sehingga, warga NU cukup terbelah sampai ke struktur bawah karena banyak pengurus NU yang merangkap sebagai pengurus PKB.
Akan tetapi, menurut Effendy, hubungan mampu kembali hangat setelah pemilu 2004 dan kegiatan keagamaan dan organisasi NU bisa terlaksana kembali tanpa masalah.
Dalam bahasa Alissa, kemampuan NU merekonsiliasi perbedaan internal di dalamnya sebagai "daya lenting atau resiliensi yang tidak terbantahkan sejak 1926."
Alissa pun yakin NU akan tetap bisa menjaga nalar kritisnya terhadap pemerintah. “Dulu NU biasa kok mengkritisi kebijakan bapak saya,” kata dia.
Elite PBNU Bungkam
Tirto mencoba meminta komentar dan klarifikasi perihal pernyataan Mahfud kepada elite PBNU. Kami sudah mencoba menghubungi dari jajaran syuriyah (penasihat) sampai pengurus tanfidziyah (pengurus harian) tapi tidak mendapatkan jawaban apa pun.
Anggota Syuriyah PBNU, Sri Mulyati menolak menanggapi soal ini. Ia mengatakan, “biar bapak-bapak saja ya.” Komentar sama juga disampaikan Anggota A'wan PBNU Asrorun Niam Soleh dan Wasekjen PBNU Masduki Baidlowi.
Sementara itu, Ketua Harian PBNU Marsudi Suhud sempat berjanji memberikan komentar, tapi sampai berita ini ditulis, Suhud tidak dapat dihubungi.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj dan Ketua Harian PBNU Robikin Emhas yang sempat disebut Mahfud, pun tak menggubris sama sekali sambungan telepon Tirto.
Kami pun mencoba menghubungi sekitar 10 orang pengurus PBNU lainnya dan hasilnya masih tetap nihil. Mereka sama sekali tak menerima panggilan kami dan tidak membalas pesan singkat kami.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih