tirto.id - Bill Gates, Steve Jobs, Larry Page, dan Jack Ma—secara berurutan—dikenal publik sebagai founder Microsoft, Apple, Google, dan Alibaba. Padahal keempat perusahaan itu kini dipimpin oleh Chief Executive Officer (CEO) yang bukan pendiri perusahaan. Microsoft, misalnya, tetap erat dengan Gates alih-alih Satya Nadella—sebagai CEO-nya.
Noam Wasserman dalam bukunya, The Founder’s Dilemmas: Anticipating and Avoiding the Pitfalls That Can Sink a Startup,menulis: “Kita bisa mengingat segelintir founder-CEO di perusahaan Amerika, tetapi ada pengecualian dari aturan tersebut.”
Wasserman yang merupakan seorang profesor di Harvard University menganalisis 212 perusahaan rintisan Amerika Serikat dan menemukan bahwa 50 persen founder tak lagi menjadi CEO sebelum perusahaan mereka berusia tiga tahun. Artinya, banyak pendiri perusahaan yang menyerahkan kontrol manajemen kepada pihak profesional.
Merayakan Satu Dekade dengan Pembaruan
Berdasarkan hasil risetnya yang diterbitkan Journal of Political Economy (2000) dan American Economic Review (2002), Wasserman mengungkap jika perusahaan selalu berawal dari gagasan pendirinya. Sosok founder ini yang memiliki semua wawasan tentang peluang, inovasi, layanan, model bisnis, hingga potensi pelanggan.
Pada fase awal, mereka menciptakan budaya organisasi yang bisa dibilang merupakan perpanjangan dari gaya, kepribadian, dan preferensi sang founder. Hal ini, umumnya, membuat karyawan, pelanggan, atau mitra bisnis bangga dengan hubungan mereka terhadap perusahaan yang dipimpin oleh founder-CEO, sehingga pada fase ini perusahaan rintisan akan lebih baik dipimpin langsung oleh pendiri mereka.
Namun, pada fase-fase lanjutan, perusahaan harus mulai fokus pada keuntungan finansial. Di sini idealisme pendiri perusahaan akan mulai melunak. Pada masa yang “lebih mapan” inilah para founder biasanya menyerahkan kepemimpinan kepada para profesional yang cenderung berpikir lebih teknis. Seiring waktu, founder pun menyadari kebutuhan akan sosok yang lebih mumpuni dalam menjalankan perusahaan, dibandingkan saat mendirikannya.
Seperti keempat nama yang disebutkan di awal, sekarang mereka tidak lagi menjabat sebagai pemimpin perusahaan. Bill Gates menyerahkan jabatan CEO Microsoft kepada Steve Ballmer, sebelum digantikan oleh Satya Nadella pada 2014. Apple mengalami tujuh kali pergantian CEO, dengan Tim Cook sebagai CEO terakhir sejak 2011. Begitu pula dengan Google yang dipimpin Sundar Pichai sejak 2015 dan Alibaba dipegang oleh Daniel Zhang sejak 2015.
Transisi terbukti menjadi anugerah bagi perusahaan-perusahaan tersebut. Saham Microsoft menanjak empat kali lipat di bawah kepemimpinan Nadella. Saham Apple telah meningkat lebih dari 400 persen sejak Cook menjadi CEO. Sementara itu, saham Google naik 1,9 persen (2,3 miliar dolar AS) setelah Nadella mengambil alih.
Pergantian kepemimpinan lumrah terjadi di dunia startup. Belum lama ini, hal serupa dilakukan pula oleh perusahaan rintisan asal Indonesia, Bukalapak.Pada Senin (09/12/2019), Bukalapak mengumumkan adanya perubahan komposisi di level C-suite mulai 6 Januari 2020. Momen bersejarah ini bertepatan dengan tahun ke-10 berdirinya Bukalapak. Perubahan kepemimpinan yang paling disoroti adalah suksesi CEO dari Achmad Zaky, salah satu pendiri Bukalapak, ke Muhammad Rachmat Kaimuddin.
“Kami memulai Bukalapak dengan semangat pribadi untuk menciptakan dampak positif bagi UMKM. Saya bangga dalam waktu 10 tahun, Bukalapak dikenal di peta dunia sebagai e-commerce Indonesia yang terkemuka,” kata Achmad Zaky dalam rilis yang diterima Tirto. “Saya percaya Rachmat adalah orang yang tepat, bagian dari tim yang tepat, di posisi yang tepat, dan datang pada waktu yang tepat.”
Hampir satu dekade berlalu di bawah Zaky sebagai CEO, Bukalapak bisa menembus lebih dari dua juta transaksi per hari. Jumlah pelapak yang bergabung ada lebih dari 5 juta pelaku UMKM serta 2,5 juta Mitra Bukalapak yang terdiri dari warung dan toko kelontong tersebar di 477 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.
Ini menjadi penting karena jika bicara soal untung, itu bukan semata soal angka. Bisnis yang kian kompleks perlu diimbangi dengan melengkapi tim yang ada. Maka perubahan pimpinan ini telah dipersiapkan setidaknya sejak 2016, ketika Willix Halim bergabung sebagai Chief Operating Officer (COO).
Melihat pencapaian Bukalapak sejauh ini, kombinasi antara founder dan Willix terbukti sukses dan strategis. Pendapatan pada 2016 naik hingga 20 kali lipat karena didukung banyak hal, salah satunya, kerja sama dengan berbagai pihak dalam menciptakan fitur baru—seperti BukaReksa dan BukaModal. Selain itu, salah satu fitur terbaik Bukalapak, Premium Membership, juga berkontribusi menaikkan rata-rata pendapatan. “Pertumbuhan dari pelapak hingga 10 kali lipat,” kata Willix.
Bukalapak sendiri hingga kini memiliki dua ribu karyawan, signifikan untuk ukuran startup bermodal Rp80 ribu yang berasal dari sebuah indekos di Bandung. Penunjukan Rachmat juga punya aroma optimisme serupa.
Rachmat Kaimuddin memiliki latar belakang pendidikan manajemen finansial—menyelesaikan pendidikan di bidang Science and Engineering di Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, pada 2001 dan mendapat gelar master dalam bidang administrasi bisnis di Stanford Graduate School of Business pada 2008.
Rachmat mengawali karier sebagai insinyur desain perangkat keras di Teradyne, Inc. pada 2001. Sebelum bergabung bersama Bukalapak, Rachmat dikenal sebagai anggota Dewan Komisaris Bank Bukopin sejak 2014, kemudian menjabat sebagai Direktur Keuangan dan Perencanaan Bank Bukopin pada 2018.
“Saya percaya Bukalapak adalah tempat di mana saya bisa bekerja bersama kawan-kawan saya untuk membuat perubahan positif yang berguna bagi bangsa dan negara ini. Saya harap dapat membantu Bukalapak memberikan dampak lebih luas untuk Indonesia,” kata Rachmat.
Zaky sendiri akan terus membantu Bukalapak lewat perannya sebagai penasihat, mentor tech startup, dan Ketua Yayasan Achmad Zaky yang akan segera didirikan. Zaky tidak pergi, ia hanya menyerahkan kendali. Di bawah kendali baru, Bukalapak bakal fokus kepada isu-isu terkait talenta, modal, dan manajemen keuangan, serta memperkuat peran dalam mendukung UKM Indonesia.
Dalam arti yang sangat teknis, ini merupakan era baru. Namun pergantian ini—seperti yang sudah dibahas—bisa dikatakan sebagai sebuah prosedur tentang bagaimana segala sesuatunya bekerja. Setelah Bukalapak menancapkan idealismenya selama satu dekade terakhir, maka sekarang Rachmat hadir untuk mengarahkan perusahaan menuju masa depan baru.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis