tirto.id - Jika membuka buku Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (1998) susunan Edi S. Ekadjati dkk., pembaca bakal mendapati satu bab tersendiri yang membahas perempuan-perempuan “pahlawan”. Aktivitas mereka kebanyakan dikaitkan dengan bidang pendidikan di masa kolonial. Sebagai misal, siapa orang Jawa Barat yang tidak mengenal Dewi Sartika.
Dewi Sartika dihormati dan dikenang sebagai pendiri Sakola Istridi Bandung. Hingga kini, namanya diabadikan sebagai nama jalan di mana-mana.
Namun, pendidikan tentu bukan satu-satunya bidang yang menonjol dan lekat dengan tokoh perempuan di era Pergerakan Nasional. Mari sejenak saya perkenalkan Anda pada seorang tokoh perempuan yang saya pandang punya nilai pembeda dari tokoh-tokoh perempuan sezamannya.
Anak Bangsawan Egaliter
Tokoh yang saya maksud adalah Raden Ajeng Tjitjih Wiarsih. Namanya nisbi tak dikenal di aras nasional, tapi di Cianjur, beliau amat dihormati.
Tjitjih Wiarsih lahir lahir di Cianjur pada 21 Maret 1910. Dia merupakan putri tunggal dari Bupati Cianjur ke-10 Raden Adipati Aria Prawiradiredja II. Tjitjih sebenarnya masih punya tiga saudara kandung, tapi mereka meninggal di usia muda.
Keluarga Juag Tjitjih–begitu orang-orang Cianjur semasanya memanggil—sudah tentu sangat berprivilese. Tak hanya berstatus bangsawan, keluarga Bupati Cianjur juga tajir. Pasalnya, sejak seabad lampau, bupati-bupati Cianjur telah menjadi pemasok kopi nomor wahid di seluruh Priangan.
Walaupun anak orang kaya, Juag Tjitjih dikenal sangat egaliter sekaligus supel. Hal ini disampaikan Pepet Djohar (76), salah seorang cucu Juag Tjitjih. Pepet sempat menghabiskan masa-masa awal hidupnya bersama sang nenek.
Seturut cerita keluarganya, Juag Tjitjih kecil biasa mengumpulkan anak-anak perempuan sepantaran dari kelas menengah bawah di Pendopo Kabupaten Cianjur. Juag Tjitjih biasanya mengajak teman-temannya itu berenang di Empang Dalem, sebuah kolam di taman belakang Pendopo.
Terbiasa dengan teman-teman kelas menengah bawah di sisi yang lain tidak membuatnya menutup diri untuk bergaul dengan anak bupati lainnya. Juag Tjitjih diketahui bersahabat dengan anak Bupati Ciamis R.A. Goemari Soepitaningrat. Jejak persahabatan itu masih tersisa di Bumi Ageung, Solokpandan. Di rumah pribadi keluarga Juag Tjitjih itu, Pepet menunjukkan sebuah foto yang memotret dua sahabat itu.
Sikap terbuka pada semua kalangan itulah yang agaknya menjadi modal Juag Tjitjih berperan di ranah sosial-politik saat dewasa.
Seturut studi A.P. Hidayat dan Widyonugrahanto dalam “Dina Mangsa Tahapan Katilu: Biografi Politik Emma Poeradiredja, 1935-1941” (2018), tokoh-tokoh Sunda memang amat dinamis dalam pergerakan politik di awal abad ke-20, termasuk para perempuan.
Di masa itu, ada Paguyuban Pasundanyang turut mewadahi pergerakan kaum perempuan Sunda. Ia punya organ Pasundan Istri(Pasi) pimpinan Emma Poeradiredja untuk menyuarakan aspirasi politik anggota perempuannya. Juag Tjitjih sendiri, menurut Pepet, merupakan pemimpin Pasi Cabang Cianjur dan memiliki kedekatan dengan Emma Poeradiredja.
Kiprah Juag Tjitjih di Pasi juga disebut-sebut dalam rekaman surat kabar Sipatahoenan per-22 Oktober 1935. Surat kabar berbahasa Sunda di masa kolonial akhir itu menyebut bahwa Juag Tjitjih telah menginisiasi pendirian sebuah vakschool(sekolah kejuruan) dan juga bank untuk kalangan perempuan Cianjur, di mana keduanya dinaungi oleh Pasi.
Pepet juga mengatakan bahwa neneknya sempat menjadi anggota Volksraad alias Dewan Rakyat Hindia Belanda. Meski begitu, cerita ini tergolong sumir lantaran tidak tervalidasi oleh sumber tertulis. Ketimbang Volksraad, jauh lebih masuk akal untuk mempertimbangkan kemungkinan Juag Tjitjih pernah menjadi anggota gemeenteraadatau dewan kota, sebagaimana juga Emma Poeradiredja pernah menjadi anggota Gemeenteraad Bandung.
Informasi soal aktivitas Juag Tjitjih juga santer dalam historiografi era Pendudukan Jepang. “Surat kesaksian Hasjim Ning” dalam proses pendirian Pembela Tanah Air (PETA) di Cianjur (tertanggal 23 Januari 1985), misalnya, mencatat nama Juag Tjitjih sebagai salah satu pendiri organisasi semi-militer itu.
Saat itu, Hasjim Ning yang dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai “Si Raja Mobil” tengah bekerja di sebuah perkebunan di daerah Cugenang, Cianjur. Dia mendapati kabar bahwa Gatot Mangkoepradja hendak mengumpulkan beberapa tokoh berpengaruh di Cianjur dalam rangka membahas rencananya mendirikan suatu organisasi semi-militer yang bebas dari pengaruh Jepang.
Hasjim Ning termasuk dalam tokoh yang ikut dalam rapat itu. Dia juga menyebut bahwa hanya satu perempuan yang dilibatkan dalam rapat penting itu, yakni Juag Tjitjih.
Juag Tjitjih
dan Kesenian Mamaos
Alih-alih dikenang sebagai aktivis politik, militer, dan ekonomi pada masa Kolonial, Juag Tjitjih di benak masyarakat Cianjur sebenarnya lebih dekat dengan dunia spiritual. Setidaknya, hal inilah yang temukan selama melakukan penelitian tesis Katalanjuran Geura Pupus: Raden Ayu Tjitjih Wiarsih dan Memori Kolektif-nya di Bumi Ageung, Cianjur (2022).
Dalam memori kolektif masyarakat Cianjur, Juag Tjitjih justru lebih diingat akan kemampuannya untuk berenang di dalam kendi. Suatu hal yang mustahil memang. Namun, hal-hal beranasir spiritual macam inilah yang amat dikenang oleh keluarga Juag Tjitjih.
Sejak kecil hingga remaja, Juag Tjitjih konon telah berguru pada dua orang ajengan (pemuka agama) di daerah Cikalong. Di sana, dia diceritakan mempelajari ilmu saepi (pengendalian lima unsur alam), ayat 15, dan ilmu-ilmu kesaktian lainnya.
Sisi keramat Juag Tjitjih juga berjejak dalam dua pusaka peninggalannya. Pusaka itu kini tersimpan di rumah pesanggrahannya yang dikenal sebagai Bumi Ageung.
Di sisi lain, Juag Tjitjih juga dikenal sebagai pemerhati kesenian mamaos. Pengakuan atas perhatiannya pada kesenian khas ini dibuktikan dengan keberadaan dua piagam penghargaan yang diberikan pada 1959 dan 1960 oleh Pakempelan Mamaos Panggugah Rasa.
Juag Tjitjih sendiri memang memiliki ikatan emosional dengan kesenian mamaos. Pasalnya, kesenian ini diciptakan oleh kakeknya R.A.A. Kusumahningrat. Seniman mamaoskondang di Cianjur Dadan Sukandar (79) bahkan masih mengingat betul lagu kesukaan Juag Tjitjih, yaitu Ayun Ambing atau Dengkleung.
Begitulah sosok pribadi Tjitjih Wiarsih, seorang bangsawan perempuan yang merangkul modernitas dan tradisionalitas sekaligus. Alih-alih menimbulkan paradoks, kedekatan Juag Tjitjih dengan dua dunia itu justru memberi kesan sebagai perempuan hebat yang membumi.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi