Defisit APBN Rp101,04 triliun atau setara 0,63 persen dari PDB April 2019 salah satunya karena dipengaruhi oleh turunnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Menurut Sri Mulyani, ketidakseimbangan APBN itu terjadi salah satunya karena anggaran di era Presiden Soeharto menjadikan utang luar negeri sebagai penerimaan negara.
Wapres JK menyatakan pemerintah sampai sekarang memang memerlukan utang untuk menambal defisit APBN. Hal itu, kata JK, bukan persoalan sebab pemerintah selalu membayarnya tepat waktu.
Realisasi defisit APBN 2018 hanya 1,76 persen atau setara Rp259,9 triliun. Angka itu lebih rendah dari proyeksi pemerintah dan membaik dibanding realisasi pada 2017.
Menurut Sri Mulyani Indrawati, realisasi defisit tersebut lebih rendah dari realisasi defisit di periode tahun sebelumnya, baik secara nominal maupun persentase terhadap PDB.
Asumsi makro pada RAPBN 2019 untuk nilai tukar dolar sebesar Rp14.400 lebih tinggi dari yang selama ini dibahas antara pemerintah dengan Badan Anggaran DPR.
"Kalau tahun ini kita perkirakan 2,19 persen, kemungkinan defisit akan di 2,12 persen. Ini kami sudah memperhitungkan kenaikan subsidi BBM," kata Sri Mulyani.
Pemerintah merencanakan RAPBN tahun 2018 mengalami defisit Rp325,9 triliun. Defisit terjadi sebab pendapatan hanya Rp1.878,4 triliun sementara belanja negara mencapai Rp2.204,4 triliun.
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Muhammad Prakosa mengusulkan agar batas maksimal defisit APBN diperlonggar dari 3 persen menjadi 3,5-4 persen terhadap PDB agar pertumbuhan lebih terpacu.