tirto.id - Sehubungan dengan pemasangan spanduk larangan menyalatkan pemilih penista agama di sejumlah masjid di DKI Jakarta, Khatib PWNU DKI Jakarta KH Ahmad Djauhari menilai larangan itu fatwa kriminal.
"Larangan menyalatkan jenazah itu fatwa kriminal," kata Ahmad Djauhari kepada Tirto setelah menghadiri Istighosah Insaniyah yang diselenggarakan oleh RelaNU (Relawan Nusantara), di Ciracas, Jakarta Timur (26/3/2017).
Menurutnya, fatwa tersebut dapat memecah belah umat. Sehingga, dikatakan Ahmad, itu sama saja dengan melakukan tindak kriminal. "Memecah belah umat itu tindakan kriminal," tuturnya.
Sedangkan, menurut Ahmad, menyalatkan jenazah itu hukumnya fardhu kifayah dan merupakan bagian dari hak muslim atas muslim lainnya. "Disalatkan dan menyalatkan itu hak muslim dengan muslim lainnya," katanya.
Untuk itu, KH Ahmad Djauhari yang juga korwil imam masjid Nahdlatul Ulama (NU) di DKI Jakarta sangat menyayangkan adanya fatwa semacam itu. "Masjid NU tidak boleh mengikuti fatwa itu. Wong kiblatnya sama kok tidak boleh disalatkan. Semua yang masih salat, mau pilih siapa saja, itu berhak disalatkan. Insyaallah juga tetap masuk surga," jelasnya.
Senada dengan pernyataan KH Ahmad Djauhari, Ketua RelaNU Nusron Wahid juga menyatakan bila salah satu syarat menjadi ahlussunnah wal jamaah menurut Ibnu Umar, adalah tidak menolak menyalatkan jenazah sesama muslim.
"Kalau ada yang menolak menyalatkan jenazah sesama muslim, itu jelas cuma ngaku-ngaku ahlusuunnah wal jamaah," katanya dalam Istighosah Insaniyah, di Ciracas, Jakarta Timur, Minggu (26/3/2017).
Kendati demikian, sebagai salah satu tim pemenangan Ahok-Djarot, pihaknya tidak akan memperpanjang kasus ini. Karena, menurutnya, itu hanya akan semakin memecah belah umat.
"Enggak apa-apa. Biasa saja. Enggak perlu dibawa ke Panwaslu. Nanti umat makin ruwet. Kami sadarkan pelan-pelan saja," katanya.
Sebelumnya, Imam Besar Istiqlal Nazarudin Umar juga berpendapat soal hal ini. Menurutnya, imbauan semacam itu sama sekali tidak perlu, karena hanya akan merusak kebhinekaan. "Itu kurang perlu dan kurang tepat," katanya di Pesantren Al-Hikam, Depok, Kamis (16/3/2017).
Lebih lanjut, Nazarudin menjelaskan bila ayat yang digunakan sebagai dasar fatwa itu berbeda dengan konteks hari ini. Menurutnya, turunnya ayat itu adalah sebagai respon dari sosok Abdullah bin Ubay yang terkenal munafik dan provokator di zaman Nabi Muhammad SAW.
"Sekarang tidak ada yang munafik dan provokator semacam dia," katanya.
Kendati demikian, Nazarudin menyatakan adanya fatwa demikian tak bisa dihindarkan karena masyarakat Indonesia memang sudah memasuki era yang lebih dinamis dibanding sebelumnya.
"Akses informasi sekarang sudah bebas. Kalau dulu hanya manut-manut saja, sekarang semua orang sudah bisa kritis," katanya.
Untuk itu, menurut Nazarudin, yang dibutuhkan adalah kesadaran masing-masing agar tidak merusak kebhinekaan yang sudah ada, terlebih dalam momen politik. "Yang penting sama-sama sadar dan tidak terpancing," katanya.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Maya Saputri