tirto.id - Putusan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ditunda menimbulkan kontroversi. Berbagai pihak menilai bahwa Putusan Pemilu 2024 ditunda ini melanggar konstitusi dan UUD 1945.
Sengketa Pemilu 2024 terjadi menyusul diterbitkannya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tentang penundaan sisa tahapan pemilu.
Putusan tersebut ditetapkan oleh majelis hakim atas tuntutan dari Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Partai Prima sebelumnya menggugat KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan mengulang tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Tuntutan itu diajukan kepada PN Jakpus dan dikabulkan oleh majelis hakim dan tercantum dalam dokumen putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang berbunyi:
"Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari."
Ditundanya tahapan pemilu ini tentu akan memengaruhi pelaksanaan Pemilu 2024 yang dijadwalkan berlangsung pada 14 Februari mendatang.
Alasan Penundaan Pemilu 2024
Masih berdasarkan dokumen putusan yang sama, ada beberapa alasan yang membuat majelis hakim memutuskan agar KPU menghentikan sisa tahapan Pemilu 2024.
Alasan pertama adalah majelis hakim ingin "memulihkan serta terciptanya keadaan yang adil, serta melindungi agar sedini mungkin tidak terjadi lagi kejadian-kejadian lain akibat kesalahan ketidakcermatan, ketidaktelitian, ketidakprofesionalan, dan ketidakadilan oleh tergugat."
Alasan kedua adalah karena ditemukannya error pada Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) yang disebabkan faktor kualitas alat yang digunakan atau faktor di luar prasarana.
Sistem error tersebut menyebabkan Partai Prima selaku penggugat kesulitan dalam menyampaikan perbaikan data peserta partai politik ke dalam Sipol. Akibatnya, tanpa toleransi KPU menetapkan status Partai Prima tidak memenuhi syarat (TMS).
Menurut majelis hakim, keputusan tersebut merupakan sebuah ketidakadilan dan menyebabkan kerugiaan materiil serta immateriil pada Partai Prima.
Perlu diketahui bahwa putusan penundaan Pemilu 2024 ini masih belum final. KPU sebagai pihak tergugat masih bisa mengajukan banding untuk membatalkan tuntutan tersebut. Rencana pengajuan banding ini telah dikonfirmasi oleh Ketua KPU Hasyim Asy'ari.
Apakah Penundaan Pemilu Melanggar Konstitusi & UUD 1945?
Faktanya, upaya penundaan pemilu memang dinilai melanggar konstitusi dan UUD 1945. Hal ini dijabarkan langsung oleh sejumlah ahli dan tokoh publik yang mengklaim bahwa putusan penundaan pemilu ini sama saja mengancam demokrasi.
Menurut Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, putusan PN Jakpus ini cacat hukum dan bertentangan dengan UUD 1945. Padahal sebagai hakim putusan perkara juga harus berpedoman kepada UUD 1945 sebagai dasar hukum tertinggi.
"Putusan pengadilan negeri yang meminta KPU menunda Pemilu segara jelas bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang secara jelas menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali," katanya seperti yang dikutip dari rilis MPR, Sabtu (11/3/2023).
Hal ini merujuk pada Pasal 7 dan Pasal 22E UUD 1945 mengatur dengan tegas bahwa kekuasaan eksekutif dan legislatif hanya dibatasi selama 5 tahun dan setiap 5 tahun sekali pemilu diselenggarakan.
Lebih lanjut Ahmad juga mengungkapkan bahwa gugatan Partai Prima seharusnya diselesaikan dengan Undang-Undang (UU) Pemilu, bukan hukum perdata.
Hal serupa juga disampaikan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang mengungkapkan bahwa penundaan pemilu adalah pelecehan terhadap konstitusi.
"Secara fundamental, wacana penundaan Pemilu 2024 inkonstitusional, melecehkan konstitusi (contempt of the constitution), dan merampas hak rakyat," catat Perludem dalam rilis di laman resminya.
Sementara itu, anggota DPR M Hidayat Nur Wahid mengkritik dan mempertanyakan kompetensi hakim yang memutuskan perkara tersebut.
"Saya mempertanyakan kompetensi hakim yang memutus perkara tersebut. Wajarnya Komisi Yudisial memeriksa Hakim yang memerintahkan penundaan Pemilu itu,” katanya dalam rilis MPR.
"Hakim yang memutuskan perkara terkait Pemilu seperti itu bukan sembarangan hakim. Dia harus yang memiliki pengetahuan luas tentang pemilu," lanjut dia.
Selain mengkritik tentang kompetensi hakim, Hidayat juga menyadari bahwa penyelesaian perkara ini juga tidak ditangani oleh lembaga yang tepat.
Menurutnya, perkara terkait pemilu itu tidak bisa diproses di pengadilan umum seperti PN Jakpus melainkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hidayat juga menegaskan bahwa pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara serupa.
"Apalagi dengan amar putusan yang membuat gaduh, yang potensial ditunggangi oleh mereka yang masih bermanuver untuk memperpanjang masa jabatan Presiden dengan penundaan Pemilu," jelas dia.
Editor: Iswara N Raditya