Menuju konten utama

Putus di Dunia Nyata dan Maya

Sepuluh tahun lalu, sebelum ada Twitter, Instagram, Facebook, dan Path, rasanya tidak sulit-sulit amat buat move on setelah putus dari pacar. Apalagi kalau hubungannya jarak jauh (long distance relationship). Cukup menahan diri tidak menelepon maupun mengirim pesan, tidak melihat-lihat selembar foto di dompet, tidak membongkar-bongkar galeri di ponsel, paling-paling dua atau tiga minggu seseorang sudah terbiasa dengan hidup barunya dan mulai fokus mencari tambatan hati berikutnya. Malah bisa jadi lebih cepat.

Putus di Dunia Nyata dan Maya
avatar bernard batubara

tirto.id - Malam minggu ke-24 setelah putus dari pacar terakhirnya, Bambang tergeletak lesu di kasur, di kamar indekosnya yang sempit, membuka ponsel dan menggulir layar Instagram seseorang sampai matanya perih dan sedikit basah, bukan hanya karena radiasi cahaya tetapi juga wajah mantan kekasihnya dalam foto-foto yang ia lihat membangkitkan kenangan manis di masa lalu. Bambang semakin terluka ketika menemukan wajah lain di sebuah foto-kekasih baru mantan pacarnya. Bambang memencet tombol kunci, meletakkan ponsel di sebelah bantal, lalu mencoba tidur dengan perasaan sedih yang sama seperti dua puluh tiga malam minggu sebelumnya.

Pembaca yang baik hati, anggap saja Bambang adalah saya.

Enam bulan yang lalu saya putus dengan pacar saya. Hubungan kami sudah jalan dua setengah tahun. Durasi yang lumayan mengingat hubungan saya sebelumnya hanya bertahan tidak lebih dari tiga bulan. Selama dua setengah tahun itu ada banyak momen manis. Tentu saja ada pertengkaran, tetapi kami pasangan yang cukup baik dalam menangani masalah bersama sehingga kami hampir selalu menemukan jalan keluar.

Hampir, tidak selalu.

Suatu hari di bulan ke-30 hubungan kami, masalah yang sebenarnya tidak baru-baru amat ternyata kembali mengemuka. Jika saja saya bisa mengendalikan diri, sebenarnya itu masalah kecil. Tetapi adalah takdir Tuhan saya dilahirkan sebagai seorang Cancer. Segala hal kecil menjadi besar dalam kepala Cancer. Overthinker is my middle name. Maka, perdebatan pun dimulai. Setelah cukup, kami merasa sama-sama lelah. Sebaiknya kita berteman, saya berkesimpulan. Dia, secara tidak mengejutkan, berpendapat sama.

*

Enam bulan kemudian saya sudah merasa cukup membaik.

Tetapi minggu-minggu pertama putus adalah periode yang cukup merepotkan. Saya memang tidak menangis pilu seperti ketika menonton ending film Hachiko, tetapi setiap pergi ke toko buku dan melalui jalan-jalan di pusat Jakarta yang dulu sering kami lalui dan kafe-kafe kecil yang pernah kami kunjungi, perasaan “dheg!” yang muncul lumayan bikin kalang kabut.

Apalagi tatkala melihat namanya muncul di timeline Twitter.

Atau di feed Instagram.

Atau di home Steller.

Sepuluh tahun lalu, sebelum ada Twitter, Instagram, Facebook, dan Path, rasanya tidak sulit-sulit amat buat move on. Apalagi kalau hubungannya jarak jauh (long distance relationship). Cukup menahan diri tidak menelepon maupun mengirim pesan, tidak melihat-lihat selembar foto di dompet, tidak membongkar-bongkar galeri di ponsel, paling-paling dua atau tiga minggu seseorang sudah terbiasa dengan hidup barunya dan mulai fokus mencari tambatan hati berikutnya. Malah bisa jadi lebih cepat.

Tetapi, dengan hadirnya kanal-kanal media sosial, pekerjaan yang sudah berat itu jadi semakin berat saja. Meskipun bisa menahan diri untuk tidak menelepon dan mengirim pesan, bahkan jikapun sudah cukup berani menghapus nomor mantan kekasih, semuanya jadi sia-sia ketika iblis bernama media sosial membuat nama dan wajah mantan bisa tiba-tiba muncul dan berseliweran di layar ponsel. Iblis itu mengembuskan angin pilu ke dalam jantung dan godaan untuk mengintip bagaimana keadaannya kini. Apakah dia baik-baik tanpa aku? Apakah dia sudah bahagia lagi? Apakah dia sudah punya pasangan baru?

Benteng pertahanan move on yang sudah dibangun susah payah demi mencegah nostalgia ambruk bak uno stacko tersenggol tangan. Secara gaib, seorang petugas stasiun pengisian bahan bakar muncul di muka, berkata dengan senyum ramah:

“Move-on-nya dimulai dari nol ya, Pak.”

*

Pada masanya saya pernah menganggap memblok mantan pacar di media sosial adalah tindakan cengeng dan tidak perlu. Bagi saya, memencet unshare di Path atau unfollow dan block di Twitter/Instagram semata mengisyaratkan kelabilan gejolak emosi, karena itu pelakunya pasti pihak yang paling bersedih dan tidak bisa move on. Saya tidak ingin dipandang seperti itu. Saya ingin dilihat bahwa saya baik-baik saja meski tetap terkoneksi di media sosial dengan mantan pacar. Saya dapat membiasakan diri melihat nama dan wajahnya setiap kali tweet-nya disiarulang oleh teman-teman saya. Saya bisa kuat dengan semua itu.

Nyatanya, saya keliru.

Setiap orang punya mekanisme pertahanan. Memutus seluruh jalur komunikasi dengan mantan pacar adalah salah satu cara yang bisa dilakukan. Tadinya, saya kira membiarkan ia-sang mantan-ada di daftar following, akan membuat saya terbiasa pada perasaan “dheg!” itu dan kelak menjadikannya hambar; pada saat itulah saya telah moved on. Tetapi ternyata saya tetap menemukan kedua jempol saya secara reguler memencet username dia di kolom pencarian.

Seperti kenangan, iblis tak bisa dibunuh. Maka saya memperkuat iman dengan menunaikan rukun move on di dunia digital. Langkah pertama, membuka seluruh kanal media sosial yang di dalamnya kami-saya dan mantan pacar saya-masih terhubung. Langkah kedua, mencari tombol apapun yang dapat memutus hubungan itu: unfollow, unshare, block. Langkah ketiga, memperbanyak ibadah dan meminta kepada Tuhan agar diberi kekuatan untuk tidak mengecek laman profil sang mantan lagi.

Jika saat ini kamu juga sedang berjuang untuk melepaskan seseorang, kamu bisa mencoba melakukan langkah-langkah tersebut. Setelah menunaikan rukun move on di dunia digital tersebut, bersiaplah untuk ketenangan hati yang baru. Kamu akan merasa lebih damai, dan bisa berkonsentrasi dengan orang-orang lain yang mungkin menarik bagimu. Kamu bisa mulai jatuh hati lagi. Memiliki crush lagi.

Sekarang username dan profile picture mantan pacarmu tidak lagi muncul di layar ponsel. Berharaplah teman-teman yang kamu ikuti tidak menyiarkan ulang status-status sang mantan. Kalaupun hal itu terjadi, jangan panik. Ada tombol mute yang setia menanti permukaan jempolmu. Jangan ragu untuk menyapanya.

Berikutnya: Follow orang-orang baru. Bangun koneksi dengan sosok-sosok yang lebih menarik. Pada fase ini tidak ada lagi yang perlu kamu cemaskan. Tidak ada perasaan yang perlu kamu jaga, selain perasaanmu sendiri. Tidak ada hati yang perlu kamu rawat, selain hatimu sendiri. Jangan ragu menyapa orang asing di media sosial yang pikirannya menarik bagimu. Mulai berkomunikasi dengannya. Tidak perlu juga berpikir terlalu jauh untuk menjadikannya pacar; teman baik sudah cukup baik. Tumpahkan perhatianmu pada seseorang yang kamu anggap istimewa, karena obat pertolongan pertama pada patah hati adalah distraksi.

Kamu merasa lega membaca paragraf-paragraf terakhir tulisan ini? Ada sebersit harapan yang terbit di dalam hati kecilmu? Bagus.

Tetapi, sebagai manusia yang baik, saya harus jujur. Memberi nasehat buat orang lain lebih mudah ketimbang menasehati diri sendiri. Hingga semester pertama terlewati semenjak saya dan mantan pacar saya putus, saya tak pernah berhasil mencoba langkah-langkah yang tadi saya tulis dengan optimistis-rukun move on di zaman digital itu. Jangan menyoraki saya dulu. Tips tadi tetap bisa kamu coba dan barangkali kamu akan sukses.

Namun, jika kamu tidak bisa melakukannya-tidak cukup kuat memencet tombol unshare dan block itu, tabahkanlah hatimu, seperti saya menabahkan hati saya. Berdoalah kepada Tuhan Yang Maha Baik supaya Dia membisikkan kepada mantan pacarmu agar memutuskan hubungan digital kalian, seperti saya berdoa agar mantan pacar saya saja yang melakukannya.

Kemudian, tunggulah saat-saat menyesakkan itu, ketika kamu dan orang yang pernah kamu cintai-seperti saya dan mantan pacar yang pernah sangat saya cintai-kembali jadi sepasang orang asing.

Asing di dunia nyata. Asing pula di dunia maya. ***

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.