Menuju konten utama

Pemprov Jakarta Setop Aktivitas Pengerukan Pasir di Pulau Biawak

Pemprov Jakarta akhirnya buka suara soal pengerukan pasir laut di dekat Pulau Pari, Kepulauan Seribu, yang diduga ilegal.

Pemprov Jakarta Setop Aktivitas Pengerukan Pasir di Pulau Biawak
Ilustrasi Ekspor Pasir Laut. foto/IStockphoto

tirto.id - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta akhirnya buka suara soal pengerukan pasir laut di dekat Pulau Pari, Kepulauan Seribu, yang diduga ilegal. Warga menyatakan penolakan terhadap pengerukan pasir laut di Pulau Biawak tersebut.

Asisten Pemerintahan Sekda Jakarta, Sigit Widjatmoko, menyatakan pihaknya telah menyelidiki kegiatan pengerukan pasir laut setelah aktivitas tersebut ramai diperbincangkan di media. Aktivitas itu disebut terjadi di Pulau Biawak yang terletak di seberang Pulau Pari.

"Kegiatan itu ada di wilayah Pulau Biawak, yang merupakan pulau privat. Artinya, pulau yang dimiliki oleh orang per orang," kata Sigit di Gedung Balai Kota Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2025).

Berdasarkan penyelidikan, Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kegiatan pengerukan pasir laut itu masih belum diterbitkan. Sigit mengatakan Pemprov Jakarta melalui Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu menghentikan pengerukan pasir laut tersebut pada 17 Januari 2025.

Ia mengakui penghentian paksa tetap dilakukan meski aktivitas tersebut berlangsung di pulau pribadi. Sigit menekankan penghentian dilakukan mengingat aktivitas tersebut belum mengantongi izin resmi.

"Seketika teman-teman dari Pemkab melakukan penghentian pembangunan di lokasi dimaksud. Jadi, kami langsung proaktif, meskipun itu ada di wilayah privat, tetapi karena tidak dilengkapi dengan izin, maka langsung proses penghentian," ucap Sigit.

Pengerukan pasir laut itu diduga dilakukan untuk pengembangan fasilitas pariwisata oleh pihak swasta di Gugus Lempeng, Pulau Pari.

Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3), Mustaghfirin, menyebutkan pembangunan fasilitas pariwisata berupa cottage apung dan dermaga wisata di Guhus Lempeng itu dikhawatirkan berimbas pada ekosistem laut dan rusaknya terumbu karang, padang lamun, serta mangrove.

"Gugus Lempeng telah lama dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat sekitar mulai dari penanaman dan budidaya mangrove secara kolektif tanpa bantuan dari pemerintah, akan tetapi murni swadaya masyarakat secara kolektif sebagai bentuk pengelolaan dan penguasaan terhadap ruang hidupnya," ucapnya dalam keterangan yang diterima, Senin (20/1/2025).

Menurut Mustaghfirin, aktivitas pengerukan pasir laut itu juga dikhawatirkan berimbas pada pembatasan atau larangan melaut bago para nelayan. Pasalnya, kini nelayan telah dilarang berlayar di Pulau Biawak serta Pulau Kongsi.

Sementara itu, Ketua RW04 Pulau Pari Sulaiman mengatakan belum semua masyarakat di Pulau Pari mengetahui adanya Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) di gugusan Pulau Pari. PKKPRL ini diterbitkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Warga Pulau Pari pun menolak seluruh pembangunan yang tak sesuai kebutuhan warga dan berpotensi merusak ekosistem kelautan di Pulau Pari.

"Penolakan penerbitan PKKPRL tersebut didasarkan pada tidak adanya persetujuan dari warga atas rencana pembangunan proyek tersebut, penerbitan PKKPRL juga tidak transparan, bahkan ada dugaan maladministrasi oleh KKP," tuntut warga.

Kemudian, warga menuntut KKP mencabut PKKPRL dan menghentikan pembangunan cottage apung. Lalu, menuntut aparat berwajib memeriksa dugaan pelanggaran indisipliner atas tindakan pengamanan saat pengerukan pasir.

Warga juga meminta Ombudsman memeriksa dugaan maladministrasi penerbitan PKKPRL yang dilakukan KKP.

"[Menuntut] Komnas HAM untuk melakukan pemantauan lapangan untuk memastikan tidak tidak adanya tindakan kekerasan atas penolakan proyek cottage apung dan dermaga wisata di Pulau Pari, Kepulauan Seribu yang dilakukan oleh warga Pulau Pari," demikian tuntutan warga.

Baca juga artikel terkait LAUT atau tulisan lainnya dari Muhammad Naufal

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Muhammad Naufal
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama