Menuju konten utama

Generasi Z: Peradaban Terakhir Indonesia Mencari Tanah Air Baru

Tidak ada saham Generasi Z dalam pengambilan keputusan yang menentukan merah-birunya masa depan kami.

Generasi Z: Peradaban Terakhir Indonesia Mencari Tanah Air Baru
Header Perspektif Chris Wibisana. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Ada dua keuntungan yang saya syukuri sebagai orang Indonesia yang lahir sesudah Reformasi 1998.

Pertama, saya beruntung bisa mempelajari sifat-sifat kekuasaan Orde Baru dari beragam sumber. Sumber-sumber itu ada yang saling melengkapi, tetapi ada juga yang menyanggah keterangan satu terhadap yang lain, sehingga karakter Orde Baru dapat diobservasi secara lengkap dan menyeluruh, sebagai rezim pembangunan maupun sebagai periode panjang kediktatoran yang sarat pelanggaran hak-hak asasi manusia dan pembungkaman kebebasan berekspresi.

Kedua, saya beruntung karena kesadaran politik saya tumbuh bersama dengan proses rezimentasi kekuasaan Joko Widodo sejak 2014 (ketika saya duduk di kelas 6 SD) hingga 2024 (ketika saya sudah siap-siap menyelesaikan pendidikan S-1 dan menjadi pemilih perdana pada 14 Februari lalu). Saya masih ingat, ayah dan ibu saya memilih pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pemilu 2014, dan merayakan kemenangan hasil hitung cepat pada suatu sore, ketika saya baru bangun tidur siang.

Saya merasa beruntung hidup di bawah pemerintahan Jokowi karena setelah membaca dan memahami, saya berkesempatan memperoleh gambaran live action bagaimana rasanya hidup di zaman Orde Baru, hanya dengan pengecualian keberadaan media sosial dan kenyataan bahwa satu orang Soeharto besar digantikan ribuan Soeharto kecil yang tidak kalah korup dan tidak kalah besar daya rusaknya terhadap praktik demokrasi dan nilai-nilai republikanisme.

Lebih dari itu, live action Orde Baru yang ditampilkan pemerintahan Joko Widodo dan yang telah saya alami sebagai Generasi Z ternyata jauh lebih lengkap dibandingkan Orde Baru itu sendiri. Melampaui korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kini terjadi secara vulgar dan merata, pemerintahan ini telah mengajari generasi saya beberapa hal penting, yang bahkan tidak sempat diajarkan penguasa Orde Baru ketika masih menjadi orang terkuat di seantero Sabang sampai Merauke ini.

Tanpa teori, pemerintahan ini mengajari saya dan generasi saya bahwa kebijakan publik bisa saja dibuat tanpa kebijaksanaan; pengerusakan lingkungan sah-sah saja jalan terus di tengah krisis iklim; dan kemiskinan karakter kenegarawanan para pemangku jabatan adalah tontonan yang pantas dikonsumsi dalam dosis harian oleh generasi yang kelak dipercaya memimpin negara-bangsa ini jelang seratus tahun kemerdekaannya.

Tanggung Jawab Siapa?

Buah kesadaran politik itu adalah kritisisme organik yang ringan terekspresi di kanal media sosial, dan celakanya menjadi ekspresi yang sering disalahpahami generasi pendahulu kami, baik Generasi X maupun Generasi Baby Boomers, sebagai tanda lunturnya nilai-nilai kesantunan hingga indikator dekadensi moral bangsa.

Hal ini tentu saja sangat lucu, karena di negara-negara demokratis, orang muda justru dididik untuk menjadi sekritis mungkin supaya mampu menjadi alarm yang efektif bagi indikasi penyalahgunaan kekuasaan, ditanggapi secara konstruktif dan ditindaklanjuti secara proporsional, bukan ditindas atas nama nilai-nilai kebangsaan yang tak jelas wujud dan kepentingannya.

Di sisi lain, kritisisme Generasi Z mencerminkan keputusasaan secara kualitatif, di samping angka-angka kuantitatif yang dapat diperiksa pada berbagai temuan dan tabulasi statistika yang rata-rata memperlihatkan suramnya masa depan kami.

Dari segi kualitas manusia, tingkat pendidikan tinggi yang hanya dikecap 11,25 persen orang muda pada tahun 2023, diikuti tingkat kenaikan biaya kuliah hingga 6,03 persen per tahun, memperkirakan generasi kami semakin sulit untuk mengirim anak-anak belajar hingga ke perguruan tinggi di masa depan. Gejala lain bahkan menyatakan bahwa 22,25 persen populasi, setara 9,9 juta Generasi Z dalam keadaan tidak bekerja, tidak bersekolah, dan tidak dalam pelatihan kerja atau NEET pada tahun 2023 (BPS, 2024).

Dari segi wellbeingness, terdapat temuan korelasi positif kecanduan media sosial dan menurunnya kualitas kesehatan mental; kemandirian finansial yang makin sulit dicapai walau telah mengambil beberapa pekerjaan sampingan; hingga pengeluaran yang cenderung lebih besar dari pendapatan. Fakta-fakta yang sulit dibantah ini memperlihatkan kegagalan generasi pendahulu mempersiapkan kami menghadapi masa depan yang keras dan tidak bisa menunggu.

Alih-alih mempersiapkan, pemerintah justru mereproduksi stereotipe tentang Generasi Z yang tech-savvy, suka tantangan tetapi mudah menyerah, cengeng dan tidak tahan banting, berpendapatan rendah tetapi konsumtif, dan sebagainya. Stereotipe-stereotipe yang bias terhadap kelas sosial ini tidak lain merupakan cara pemerintah bermaksud melepas tanggung jawab.

Seolah-olah, jika kelak di masa depan Generasi Z hidup tidak layak, terpaksa tinggal menumpang tanpa kepemilikan rumah sendiri, sampai mengorbankan kesehatan untuk meraih penghasilan yang tidak seberapa, itu salah Gen Z sendiri yang keras kepala dan tidak mendengarkan generasi pendahulu.

Saya sering bertanya-tanya: apakah generasi saya sekarang ini dipersiapkan menjadi automaton: mesin berwujud manusia? Selain menghitung pendapatan yang pas-pasan, kami juga harus mulai menghitung waktu kapan menerima kekalahan—oleh transformasi teknologi maupun orang muda segenerasi dari negara-negara lain, yang pemerintahnya sudah merumuskan strategi nasional untuk memastikan well-being sekaligus menstimulus kreativitas orang muda seperti di Swedia, membuka peluang partisipasi konkret orang-orang muda dalam pengambilan keputusan seperti di Australia, hingga turun tangan menyediakan insentif bagi orang muda yang membuka rintisan kewirausahaan, berupa pelatihan hingga permodalan seperti Vietnam.

Peradaban Terakhir

Pilihan pemerintahan Joko Widodo yang mengabaikan dan membiarkan Generasi Z menempuh jalan sendiri dan tertatih-tatih menata masa depan adalah alasan yang lebih dari cukup bagi Gen Z untuk menyerah dan berhenti menjadi orang Indonesia.

Betapa tidak. Dalam nation-building yang belum selesai sampai hari ini, kanal-kanal partisipasi politik yang disumbat dan menjamurnya politikus berkualifikasi rendah tanpa sifat kenegarawanan membuktikan negara-bangsa ini sudah bukan lagi milik kami di masa depan.

Jangankan memiliki, bahkan dalam pengambilan keputusan, seringkali orang muda tidak didengar, alih-alih dilibatkan. Tidak ada saham Generasi Z dalam pengambilan keputusan yang menentukan merah-birunya masa depan kami, dan untuk itu, masa depan bangsa ini. Ketiadaan peran ini, pada akhirnya, memperlihatkan dua sisi yang sangat kontras.

Di satu sisi, ia menunjukkan keangkuhan generasi pendahulu yang merasa tahu segalanya. Di sisi lain, kalaupun kehadiran orang muda diperhitungkan, dia diperlakukan tak lebih dari sekadar token, sehingga jangan heran jika para pejabat Generasi Baby Boomer maupun Generasi X menggunakan istilah “anak muda” dan bukan “orang muda”, seolah-olah dengan sebutan anak, pertimbangan, perspektif, dan saran-saran orang muda terhadap proses perumusan kebijakan tak perlu ditanggapi secara serius.

Generasi Z adalah generasi pertama yang kehilangan tautan spiritual dengan cita-cita para pendiri bangsa, sekaligus berpeluang menjadi peradaban terakhir negara-bangsa Indonesia. Pemerintah terus-menerus berpretensi membayangkan Indonesia “Emas” tanpa pernah memperlakukan masa depan saya dan generasi saya lebih berharga daripada “besi tua”.

Pada akhirnya, dengan dunia yang terjangkau dalam genggaman, jangan tanya mengapa Generasi Z bekerja sangat keras hanya bagi kepentingan dirinya sendiri, bahkan segelintir populasi Gen Z yang mempunyai privilese berencana untuk meninggalkan Indonesia dan berkarir di luar negeri. Pilihan berat semacam itu menjadi masuk akal, karena untuk apa bekerja dan mengabdi sebuah negeri yang di masa depan belum tentu menjadi milik kami?

Sebagai generasi berkarakter kosmopolitan, ke mana Generasi Z melangkah, ke sanalah dia mencari tanah air baru, [....] di mana tidak ada manusia menginjak manusia lain (Mangunwijaya, 1981). Dan siapa yang selama ini menginjak-injak kami, kalau bukan pemerintah tanpa negarawan, yang telah menjalankan kekuasaan tanpa komitmen mempertahankan nilai-nilai republikan, dan yang sama sekali lupa mewariskan suri tauladan bagi generasi masa depan? []

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.