Menuju konten utama

Pusing Gaji Pekerja saat Bisnis Elektronik 'Korslet' Akibat Corona

Pandemi COVID-19 membuat bisnis elektronik dalam negari rusak.

Pusing Gaji Pekerja saat Bisnis Elektronik 'Korslet' Akibat Corona
Pekerja menyelesaikan produksi kipas angin di pabrik peralatan elektronik rumah tangga PT Selaras Citra Nusantara Perkasa (SCNP), di Cileungsi, Kamis (10/10/2019). ANTARA FOTO/Risky Andrianto/ama.

tirto.id - Pandemi COVID-19 membuat penjualan produk elektronik terjun bebas. Ketua Umum Gabungan Perusahaan Industri Elektronik dan Alat-alat Listrik Rumah Tangga Indonesia (GABEL) Oki Widjaja mencatat, permintaan elektronik sudah anjlok lebih dari 50 persen.

Pasalnya, mayoritas penjualan barang elektronik berada di wilayah Jabodetabek. Jika penjualan wilayah ibu kota dan sekitarnya itu merosot, maka dampaknya akan terasa sangat signifikan terhadap keseluruhan penjualan.

Oki memperkirakan, total penjualan mereka di kala pandemi hanya 20-30 persen dari produksi. Dagangan yang masih laku itu sebagian besar berada luar DKI Jakarta yang belum menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Selebihnya pengusaha masih bisa bertahan karena masih memiliki jalur ekspor khususnya perusahaan merek multinasional.

Meski demikian, Oki bilang, kondisi itu tak akan bertahan lama karena Corona menghantam berbagai negara selain Indonesia. Imbasnya produksi barang elektronik diperkirakan bakal tersendat.

Jika dampak pandemi pada perekonomian terus berlanjut, terang Oki, maka produksi mereka harus dikurangi pada Mei-Juni 2020. Pada periode itu tidak ada pilihan lain selain tak berproduksi bahkan menutup pabrik.

“Penjualan elektronik sama seperti yang lain, hancur. Intinya penjualan sudah rusak,” ujar Oki saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (14/4/2020).

Oki mengatakan, COVID-19 di Indonesia adalah pukulan kedua bagi industri elektronik. Sebelumnya, penjualan mereka sudah "korslet" lantaran sulitnya mendapatkan bahan baku sepanjang Januari-Februari 2020.

Ketika pasokan bahan baku sudah normal, mereka dihantam oleh masalah pasar. “Sekarang banyak anggota kami stok di Gudang sudah menumpuk bukan main dari produksi bulan lalu. Yang bulan ini kami buat saja enggak bisa dijual,” ucap Oki.

Negara Harus Ikut Pikirkan Pekerja

Oki berpandangan, pemerintah harus segera turun tangan lantaran sebagian produsen sudah mulai mengalami gangguan cashflow.

Ia meminta pemerintah memperhatikan pekerja yang saat ini sudah tidak lagi bisa ditanggung oleh pengusaha. Jika pengusaha dipaksa tetap mempekerjakan pegawai, praktis mereka tidak akan bertahan lama.

Di samping itu, menurutnya, pemerintah perlu memberi bantuan semacam Bantuan Langsung Tunai (BLT) agar karyawan perusahaan elektronik bisa tetap bertahan saat perusahaan memutuskan tak berproduksi sementara waktu.

Jika tidak, ia meminta pemerintah turun tangan menyelesaikan persoalan upah dengan serikat pekerja ketika pabrik berhenti beroperasi. “Kalau kami disuruh bertanggung jawab memberi gaji buta selama beberapa bulan, ya paling tahan 1-2 (sebelum bangkrut),” urainya.

Hal lain yang bisa dilakukan pemerintah, kata dia, adalah pengembalian kelebihan pembayaran (restitusi) pajak yang dengan skema withholding tax seperti PPh Pasal 22.

Menurut Oki masih ada banyak pajak yang masih ditahan pemerintah padahal jika segera dikembalikan kelebihannya bisa meringankan beban keuangan. “Uang muka pajak ini dikembalikanlah jangan dipegang. Agar kami bisa hidup lebih lama,” harapnya.

Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (Aipti) Ali Soebroto mengatakan efek pandemi Corona juga sudah terasa di pasar telepon genggam.

Ia menuturkan, penjualan produk global brand yang menyumbang lebih dari 60 persen pasar ponsel dalam negeri merosot 20 persen sepanjang Maret lalu. Meski demikian amblesnya bulan di bulan lalu itu hanya permulaan.

Ia memperkirakan tren penurunan penjualan akan berlanjut di bulan April 2020, bahkan lebih dalam karena adanya penerapan PSBB di sejumlah wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Penutupan sejumlah gerai ritel alat komunikasi maupun grosiran seperti Pusar Grosir Cililitan (PGC) adalah salah satu contoh pemicunya.

Meski demikian, ia mengaku masih optimis penjualan bisa kembali pulih setelah PSBB berakhir. “Sampai akhir tahun, (prediksi) per hari ini kira-kira turun 15 persen dari 2019. Itu cukup besar ya gambarannya begitu ya,” ucap Ali saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (14/4/2020).

Meski terjadi penurunan penjualan, lanjut Ali, hingga saat ini anggota asosiasinya juga belum berencana memangkas produksi. Ia juga memastikan penurunan penjualan ini belum berdampak pada perumahan tenaga kerja.

Kalau pun PSBB nantinya diperluas ke sebagian daerah Jawa Barat dan Banten, ia tetap yakin industri telekomunikasi masih bisa bertahan. Sebab, mereka sudah mengantongi dispensasi dari Kementerian Perindustrian agar tetap bisa beroperasi dengan tetap melakukan langkah pencegahan pandemi Corona.

Hanya saja, Ali berharap kalau tekanan pada pasar bisa segera pulih. Sebab meski pasokan bahan baku aman, produksi bisa dijaga dan ada dispensasi produksi, tidak banyak yang bisa mereka perbuat jika produk mereka tidak bisa diserap pasar.

“Tinggal pasarnya. Adanya penutupan ya otomatis tidak bisa ada penjualan. Kalau Maret 20 persen, April pasti lebih besar,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI ELEKTRONIK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana