tirto.id - Kementerian Keuangan tengah mengkaji ulang pemberlakuan pungutan ekspor bagi produk olahan kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu mengatakan saat ini salah satu bisnis turunan CPO seperti Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sedang terganggu penurunan harga minyak dunia.
“Konteks pungutan ekspor diubah atau enggak kira-kira gimana. Ada pikiran soal pungutan ekspor ini. Ini sedang dibahas dalam RAPBN 2021. Kami lagi finalkan dulu,” ucap Febrio dalam diskusi virtual, Kamis (6/8/2020).
Febrio mengatakan awalnya pungutan ekspor diberlakukan untuk mendorong pelaku usaha melakukan hilirisasi produk sawit. Beberapa waktu lalu kebijakan ini sempat berhasil mengubah porsi ekspor CPO yang nilai tambahnya tidak terlalu signifikan berbanding produk turunan CPO lainnya.
Ia mencontohkan sebelum pungutan, ekspor CPO mendominasi 7:3 dengan Refined bleached deodorized (RBD). Namun setelah pungutan, porsi RBD kini lebih besar.
Menyusul RBD, pemerintah juga tengah menggenjot produk turunan sawit seperti FAME yang digunakan untuk program biodiesel. Hanya saja sayangnya program biodiesel agak kurang menarik seiring jatuhnya harga minyak dunia.
“B30 agak rumit karena harga FAME gak turun-turun tapi harga minyak bumi turun. Selisih FAME dan Solar jadi besar. ini membuat bisnis FAME atau namanya BBN (Bahan Bakar Nabati) terganggu,” ucap Febrio.
Akibat situasi ini, BBN yang semula dinilai lebih baik dari Solar karena lebih murah dan ramah lingkungan menjadi terkendala. Sebab kenyataannya harga bahan bakar minyak dari fosil saat ini lebih murah karena turunnya harga minyak mentah.
“Jelas BBN ini selain bagus secara lingkungan harganya juga relatif bersaing. 2020-2021 kondisi terbalik. ini kita lagi pikirkan caranya,” ucap Febrio.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz