Menuju konten utama

Indonesia Produsen Terbesar CPO yang Tak Bisa Kuasai Harga Dunia

Penentuan harga CPO Indonesia khususnya untuk pasar ekspor masih mengacu ke harga CPO yang terbentuk di Malaysia dan Belanda.

Indonesia Produsen Terbesar CPO yang Tak Bisa Kuasai Harga Dunia
Pekerja mengangkut kelapa sawit ke dalam truk di Desa Rangkasbitung Timur, Lebak, Banten, Selasa (22/9/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/agr/foc.

tirto.id - Indonesia menjadi negara produsen minyak kelapa sawit atau crude plam oil (CPO) terbesar di dunia. Berdasarkan data dari United States Foreign Agricultural Service, produksi CPO Indonesia mencapai 47 juta metrik ton pada 2023. Ini hampir setara dengan 59 persen total produksi global.

Sebagai produsen terbesar, Indonesia memiliki kekuatan lebih dalam menentukan arah pergerakan komoditas CPO di pasar global. Dengan kata lain, Indonesia bisa memainkan perannya dalam mengendalikan harga CPO di tingkat internasional.

Tapi rasanya jauh panggang dari api. Alih-alih mengendalikan harga internasional, penentuan harga CPO Indonesia khususnya untuk pasar ekspor hingga saat ini justru masih mengacu ke harga CPO yang terbentuk di Bursa Malaysia Derivatives Berhad (BMD) dan bursa yang ada di Rotterdam, Belanda.

"Jangan anggap kita bisa memainkan harga dunia. Kita tidak bisa," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, dalam acara Press Tour Belitung 2024: Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, di Belitung Timur, dikutip Kamis (29/8/2024).

Harga referensi CPO yang dipakai di dalam negeri saat ini mengacu kepada keputusan yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) setelah mempertimbangkan harga acuan bursa di Malaysia dan Belanda.

Harga referensi tersebut digunakan untuk penetapan tarif Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE), harga acuan Tandan Buah Segar (TBS) bagi petani sawit, dan harga acuan insentif Biodiesel.

Pada Juli 2024, harga referensi minyak kelapa sawit untuk periode sebesar 800,75 dolar AS per metrik ton. Nilai ini meningkat sebesar 21,93 dolar AS atau 2,82 persen dari periode Juni 2024 yang tercatat sebesar 778,82 dolar AS per metrik ton.

Penetapan harga referensi CPO di atas bersumber dari rata-rata harga selama periode 25 Mei-24 Juni 2024 pada Bursa CPO di Indonesia sebesar 761,56 dolar AS per metrik ton, bursa CPO di Malaysia sebesar 839,93 dolar AS per metrik ton, dan pasar lelang CPO Rotterdam sebesar 957,77 dolar AS per metrik ton.

Eddy menekankan bahwa sulit bagi Indonesia untuk bisa mengendalikan harga CPO dunia meski telah menjadi produsen terbesar. Ini karena pangsa pasar minyak sawit RI hanya sebesar 33 persen. Artinya, masih ada pangsa pasar sebesar 67 persen untuk minyak nabati lainnya termasuk minyak bunga matahari.

Sementara agar bisa memengaruhi harga internasional minyak sawit, kata Eddy, dibutuhkan peningkatan pangsa pasar lebih dari 50 persen di antara minyak nabati lainnya. Jika itu terpenuhi, maka kemungkinan besar Indonesia mampu menjadi pemain besar CPO sekaligus bisa mengendalikan harga di tingkat global.

"Kalau kita sawit ini lebih dari 50 persen, mungkin kita bisa memengaruhi harga internasional. Apapun yang kita lakukan pasti akan berpengaruh," ujarnya.

Menurut Eddy,sekalipun Indonesia telah memiliki bursa CPO yang didorong untuk pembentukan harga acuan, tapi faktanya tidak bisa menetapkan harga secara internasional. Sebab penentuan harga minyak sawit internasional yang terjadi saat ini merupakan pertemuan antara penawaran dan permintaan.

"Termasuk, walaupun Malaysia produsen minyak sawit terbesar kedua dunia itu punya bursa, mereka juga tidak bisa mengendalikan harga [internasional]. Malaysia itu juga sama sebenarnya [dengan Indonesia]," kata Eddy.

Periset Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, melihat posisi Indonesia hari ini memang masih kesulitan untuk bisa mengendalikan harga CPO internasional. Selain posisi pangsa pasar minyak sawit belum menyentuh 50 persen, masalah data transaksi komoditas sawit di Tanah Air, menurut Eliza, juga belum bisa diandalkan.

"Untuk bisa mengambil alih agar jadi patokan harga dunia pun Indonesia ini masih kesulitan karena basis datanya yang tidak lengkap dan real time. Karena itu proses penetapan harga CPO masih ke Malaysia," jelas dia kepada Tirto, Kamis (29/8/2024).

CPO Malaysia ditransaksikan di BMD sejak Oktober 1980. Kemudian secara perlahan transaksinya mulai diakui, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga harga yang terbentuk pun diterima dan dijadikan sebagai acuan harga, baik bagi pelaku CPO untuk tujuan domestik maupun di luar Malaysia.

"Maka solusinya perbaiki basis data untuk bisa membuat bursa derivatives dan bisa menggeser Malaysia," kata dia.

Prediksi produksi minyak sawit indonesia

Truk bermuatan kelapa sawit menuju pabrik Permata Bunda di Pematang Panggang, Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Senin (17/7/2023)ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/nym.

Bursa CPO Indonesia Tak Cukup Beri Manfaat

Saat ini, keberadaan Bursa CPO di Indonesia dinilai belum mampu memberikan manfaat lebih, terutama dalam memainkan perannya untuk mengendalikan harga dunia. Kondisi ini sangat kontras dengan semangat awal pemerintah ketika peluncuran Bursa CPO.

Saat peluncuran pada Oktober 2023 lalu, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, sempat menyebutkan bahwa kehadiran Bursa CPO dapat menjadi barometer harga CPO dunia. Apalagi Indonesia saat ini merupakan produsen sawit terbesar di dunia.

Namun sayangnya, menurut analis sekaligus Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, Bursa CPO yang sudah diluncurkan pada 2023 tersebut belum bisa berjalan maksimal. Karena sampai saat ini baru ada sebanyak 51 pelaku usaha yang memfasilitasi perdagangan CPO secara fisik dan futures.

Nilai transaksi dalam Bursa CPO Indonesia pun baru mencapai 17.356 lot atau 86.780 ton pada Januari-Juni 2024. Sementara transaksi fisiknya masih perlu dioptimalkan.

"[Jadi] kenapa sih kok Bursa CPO ini tidak jalan [maksimal]? Karena pembentukan bursa CPO di Indonesia itu karena politis. Semua politis, sehingga kita tahu bahwa bursa CPO terbentuk membutuhkan waktu 5-10 tahun," ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (29/8/2024).

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) selaku regulator yang mengatur dan mengawasi Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) di Indonesia, pada Mei 2010 sebenarnya sudah sempat memberikan izin pada ICDX untuk meluncurkan kontrak berjangka CPO yang diperuntukkan sebagai sarana lindung nilai (hedging) bagi pelaku pasar CPO Indonesia.

ICDX saat itu berhasil menjalankan amanat tersebut. Karena sejak 1 Juli 2013, harga transaksi CPO yang terbentuk di Bursa ICDX telah dimasukkan dalam formula penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) dengan pembobotan sebesar 60 persen di samping BMD (20 persen) dan Rotterdam (20 persen).

"Karena ICDX yang memiliki riwayat dulu pernah membuat bursa CPO akhirnya jatuhlah ke ICDX untuk membentuk bursa CPO. Tujuannya sebenarnya adalah agar bisa dijadikan sebagai referensi harga [internasional]," jelas Ibrahim.

Namun, lanjut Ibrahim, ketika Bursa CPO berjalan kenyataannya justru bukan sebagai referensi harga secara global seperti semangat awal yang disampaikan pemerintah melalui Menteri Perdagangan.

Perlu digarisbawahi tujuan asli dari pembentukan Bursa CPO itu untuk mengetahui seberapa banyak perusahaan-perusahaan minyak sawit melakukan ekspor, dan mengetahui seberapa besar pajak digunakan oleh negara.

"Karena selama ini banyak sekali ekspor-ekspor ilegal yang mereka tidak membayar pajak ekspor. Nah, makanya terbentuklah satu bursa. Dari awal itu sudah salah bahwa mereka hanya ingin mengetahui tentang berapa banyak ekspor yang dilakukan oleh Indonesia ke luar negeri," jelas dia.

Maka kata Ibrahim, walaupun Indonesia merupakan negara produsen terbesar di dunia, jangan berharap bisa dengan mudah mengendalikan harga secara internasional.

"Bursa CPO di Indonesia itu tidak mungkin bisa jadi referensi," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait HARGA CPO atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi