Menuju konten utama

Pulau Sebatik dan Sisi Lain Underground Economy Indonesia

Aktivitas ekonomi ilegal di Indonesia diperkirakan bertumbuh tiap tahunnya. Wilayah yang paling rawan terutama daerah perbatasan, seperti Pulau Sebatik.

Pulau Sebatik dan Sisi Lain Underground Economy Indonesia
Header Insider Underground Economy Pulau Sebatik. tirto.id/Fuad

tirto.id - Tidak ada konsensus ataupun definisi tunggal tentang underground economy yang juga biasa disebut shadow economy, hidden economy dan black economy. Menurut Philip Smith dalam penelitian berjudul Assessing the Size of the Underground Economy: the Statistics Canada Perspective (1994), pengertiannya tergantung tujuan dan konteks.

Bagi otoritas publik, underground economy biasa diartikan sebagai pendapatan yang tidak dilapor karena alasan tertentu, seperti untuk menghindari pajak. Sedangkan ahli statistik mengartikannya sebagai segala aktivitas ekonomi yang termasuk namun tidak tercakup dalam Pendapatan Domestik Bruto (PDB) suatu negara.

Melalui penelitian di atas, Philip Smith coba merumuskan definisi alternatif untuk menjelaskan underground economy secara lebih sederhana. Yaitu produksi barang dan jasa berbasis pasar dan non-pasar, baik legal maupun ilegal, yang luput dari deteksi atau sengaja dikeluarkan dari perkiraan PDB.

Di antara contoh aktivitas legal adalah hasil penjualan mobil, rumah, restoran dan pendapatan sejenis yang tidak dilaporkan. Sedangkan contoh yang ilegal seperti keuntungan dari bisnis obat-obatan terlarang, narkotika, tindak pencucian uang, penyelundupan, perjudian, prostitusi, pornografi, dan sebagainya.

Terlepas apapun definisinya, underground economy sudah menjadi fenomena tersendiri bagi perekonomian global. Menurut Friedrich Schneider dalam studi berjudul Hiding in the Shadows: The Growth of the Underground Economy (2002), aktivitas ini terjadi di mana-mana. Baik di negara berkembang, transisi maupun maju.

Meski karakteristik dan pergerakan diketahui, menghitung nilai akurat underground economy suatu negara bukanlah pekerjaan gampang. Sebab aktivitas itu terus berkembang dan para pelaku berupaya sekeras mungkin menghindari deteksi. Walau demikian, nilainya diperkirakan fantastis sejak dua dekade lalu.

Sepertiga PDB

Dalam penelitian Friedrich Schneider, terdapat 84 negara yang dijadikan sampel pengukuran nilai underground economy selama periode 1998-1999. Hasilnya, perekonomian “bawah tanah” diperkirakan mencapai 14-44% dari PDB. Setiap negara memiliki nilai yang bervariasi sesuai masing-masing kategori.

Bagi developing countries atau negara-negara berkembang, nilai underground economy berkisar 35-44% dari PDB mereka. Sementara di negara-negara transisi diperkirakan 21-30%. Sedangkan di negara-negara maju anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) terhitung 14-16%.

Aktivitas underground economy tidak muncul begitu saja. Dalam penelitian lain berjudul Shadow Economies All Over the World New Estimates for 162 Countries from 1999 to 2007 (2010), Friedrich Schneider membeberkan faktornya. Antara lain beban iuran pajak dan jaminan sosial, intensitas regulasi, pelayanan sektor publik, dan kondisi perekonomian resmi.

Selain Friedrich Schneider, sejumlah peneliti lain juga pernah berupaya menghitung nilai underground economy. Leandro Medina misalnya. Melalui penelitian berjudul Shadow Economies Around the World: What Did We Learn Over the Last 20 Years? (2018), ia coba mengukur seberapa dalam aktivitas ini di 158 negara selama 1991-2015.

Hasil penelitian Leandro Medina menunjukkan persentase rata-rata underground economy global mencapai 31,9% dari PDB. Tingkat tertinggi ditempati Bolivia dan Zimbabwe yang masing-masing 62,3% dan 60,6%, sedangkan terendah di Austria dan Swiss dengan 8,9% dan 7,2%. Masalah ini terjadi di semua negara, termasuk Indonesia.

Selama periode 1991-2015, nilai underground economy di negara kita rata-rata berjumlah 24,11% dari PDB. Secara persentase, nilainya urutan ketiga paling kecil di antara anggota Association of Southeast Asian Nations atau ASEAN. Urutan pertama ditempati Singapura dengan 11,90% dan yang kedua Vietnam dengan 18,70%.

Hasil perhitungan Leandro Medina maupun Friedrich Schneider berbeda dengan temuan Sri Juli dalam penelitian berjudul Underground Economy in Indonesia (2016). Dengan pendekatan moneter, ia menyimpulkan rata-rata underground economy RI selama 2001-2013 mencapai 8,33% dari PDB. Sedangkan kerugian pajaknya Rp11.172,86 miliar.

Aktivitas ini terus berlanjut sampai sekarang dan diduga semakin besar. Menurut Dimas Andi Wirawan dalam penelitian berjudul Analisa Atas Besaran Underground Economy di Indonesia pada Tahun 2016-2021 dengan Pendekatan Moneter (2023), nilai rata-ratanya sudah mencapai 18,2% dari PDB Nominal.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), PDB Indonesia pada Triwulan II-2023 tercatat Rp5.226,7 triliun. Jika dihitung menggunakan hasil penelitian di atas, maka nilai underground economy negara kita diperkirakan mencapai lebih Rp900 triliun. Jumlahnya dua kali lipat dari dana yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru.

Risiko Shadow Ekonomy

Ibu Kota Nusantara atau IKN merupakan satu di antara proyek strategis nasional. Pembangunannya dilakukan secara bertahap dan direncanakan tuntas pada 2045 mendatang. Untuk tahap pertama, pembangunannya membutuhkan biaya Rp466 triliun-Rp486 triliun yang diproyeksikan berasal dari anggaran negara sebanyak 19% dan investasi 81%

IKN berada di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Lokasinya berjarak sekitar 1.106,3 kilometer dari Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Sebagaimana wilayah perbatasan pada umumnya, daerah ini juga memiliki potensi sekaligus rawan underground economy. Akan tetapi, masalahnya lebih kompleks.

Infografik Insider Underground Economy Pulau Sebatik

Infografik Insider Underground Economy Pulau Sebatik. tirto.id/Fuad

Di Kabupaten Nunukan, terdapat suatu pulau bernama Sebatik. Ia merupakan tempat tinggal bersama bagi warga dua negara. Bagian selatan pulau dihuni oleh penduduk Indonesia, sedangkan bagian utaranya Malaysia. Di negeri jiran, Pulau Sebatik termasuk dalam wilayah Negara Bagian Sabah.

Walau menghuni pulau yang sama, nasib perekonomian warga Indonesia dan Malaysia jauh berbeda. Akibatnya, aktivitas “bawah tanah” bergeliat lincah. Persoalan ini dibahas Joseph Robert Giri dalam penelitian berjudul Underground Economy di Daerah Perbatasan: Studi Kasus Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara (2023).

Kegiatan underground economy di Pulau Sebatik meliputi berbagai hal. Mulai dari perdagangan barang konsumsi, bahan bakar minyak subsidi hingga penyelundupan pekerja migran, alat elektronik dan kayu. Namun menurut peneliti, ini juga merupakan bagian dari strategi mereka bertahan hidup di tengah modal penghidupan yang terbatas.

Potensi sumber daya alam Pulau Sebatik sisi Indonesia sebetulnya tidak kalah dibanding tetangga. Namun sarana dan prasarana jadi kendala. Sebagai contoh, perkebunan kelapa sawit penduduk kita di sana luas. Tapi pabrik pengolahan minyak nyaris tak ada. Akhirnya, masyarakat memilih menjual hasil panen ke Malaysia.

Selain keterbatasan sarana pendukung, jarak juga menjadi faktor utama. Berada di pulau terluar membuat rantai pasok dan distribusi barang ke Kabupaten Nunukan begitu panjang sehingga memakan waktu lama. Akibatnya, masyarakat memenuhi kebutuhan hidup dari Tawau, satu di antara kota besar di Negara Bagian Sabah.

Sebenarnya, Indonesia dan Malaysia sudah lama memiliki kesepakatan tersendiri yang mengatur sistem perdagangan di Pulau Sebatik. Namanya Border Trade Agreement (BTA) Tahun 1970. Aturan ini mengharuskan setiap barang yang melintasi perbatasan dilaporkan ke Pos Pengawasan Lintas Batas atau PPLB.

Untuk lintas darat, kedua negara sepakat membatasi kuota maksimal barang seharga MYR600 ringgit per orang per bulan. Begitu pula untuk lintas laut, yakni MYR600 ringgit per perahu per perjalanan. Apabila melebihi batas, maka warga akan dikenakan pajak tambahan. Namun masalah tidak selesai di situ.

Seiring perkembangan, tingkat kebutuhan hidup masyarakat meningkat. Ketentuan BTA Tahun 1970 dianggap sudah tidak relevan dan perlu penyesuaian. Di sisi lain, penegakkan hukum terbilang lemah dan hubungan dagang antarpenduduk sudah terjalin. Semua faktor ini akhirnya melanggengkan underground economy di Pulau Sebatik.

Satu di antara karakteristik underground economy adalah menghindari pajak yang bisa menimbulkan kerugian sektor fiskal. Tetapi menurut Prof Sadi Uzunoglu dalam Underground Economy: It Is an Economic Problem A Solution? (2006), ia tidak selamanya berbahaya. Sebab, aktivitas ini terbukti memberi beberapa dampak positif di Turki.

Ternyata, underground economy bisa menciptakan keseimbangan sosial dan turut membawa kekuatan kompetitif, efek ganda, sumber daya serta dinamisme. Walau begitu, ia tetap berbahaya lantaran menyusutkan perekonomian resmi, menimbulkan kerugian pajak, merusak iklim persaingan usaha dan memengaruhi data statistik.

Memerangi underground economy adalah pekerjaan rumah setiap pemerintah. Melalui studi ini, peneliti memberi rekomendasi langkah yang bisa dilakukan. Misalnya debirokratisasi dan penyederhanaan sistem perpajakan, membangun sistem pemeriksaan yang efektif serta mengintensifkan pemeriksaan sekaligus hukuman.

Kemudian meningkatkan edukasi, memperluas segmen sembari mengikis tarif pajak masyarakat, mengurangi beban ketenagakerjaan dan memotivasi sektor pertanian untuk melakukan korporatisasi.

Dengan pesatnya perkembangan teknologi, peneliti menganggap mengendalikan underground economy bukan hal yang mustahil dilakukan. Pasalnya teknologi mempermudah sistem deteksi, pemeriksaan serta pengawasan yang merupakan kunci untuk meminimalisir ekonomi "bawah tanah".

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas