tirto.id - Temuan survei nasional Indikator Politik Indonesia menunjukkan mayoritas responden sepakat saat ini masyarakat semakin takut untuk menyatakan pendapatnya, angkanya mencapai 62,9 persen. Angka ini terdiri dari 6,8 persen sangat setuju dan 56,1 persen setuju.
Sementara itu, responden yang menyatakan kurang setuju ada 16,8 persen, 4,6 persen tidak setuju sama sekali, dan 15,7 persen tidak tahu atau tidak setuju.
Survei ini dilakukan pada 11-21 Februari 2022 terhadap 1.200 responden dengan toleransi kesalahan (margin of error) sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Menanggapi temuan survei tersebut, Koordinator Juru Bicara DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengatakan, alam demokrasi seharusnya membuat masyarakat Indonesia berani dan bebas berpendapat. Karena ketakutan masyarakat untuk berpendapat hanya ada di pemerintahan yang otoriter, bukan di pemerintahan yang demokratis.
“Menurut kami, Ini alarm bahaya buat demokrasi kita,” ujar Herzaky lewat keterangan tertulis, Selasa (5/4/2022).
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat ini menyebut pemerintah harus introspeksi diri. Menurut dia, iklim ketakutan itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan terjadi karena ada upaya-upaya terstruktur dan sistematis yang diduga disengaja oleh pemerintah.
“Bisa dengan kebijakan, tindakan, dan bisa pula dengan pembiaran atau by omission, yang dilakukan oleh elemen pemerintah baik sedikit maupun banyak,” urai Herzaky.
Dia menuturkan, jika tiap warga yang berbeda pendapat, lalu didatangi oleh aparat seperti yang terjadi di Wadas. “Bagaimana masyarakat bisa berani menyampaikan pendapatnya? Jika bersuara kritis di media sosial, mendadak media sosialnya diserang oleh para pendengung, bagaimana masyarakat bisa tenang dalam berekspresi?” tanya Herzaky.
Lanjut dia, apalagi banyak akun aktivis yang diretas seusai mengkritik pemerintah. Belum lagi kegiatan membongkar atau menyebarkan informasi pribadi seseorang yang dilakukan oleh orang tidak berwenang atau tanpa izin dari pihak yang bersangkutan (doxing), maupun kriminalisasi yang banyak menerpa para pegiat demokrasi dan hak-hak sipil-politik.
Herzaky pun mengatakan, apa yang terjadi pada Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti merupakan contoh terbaru yang membuat masyarakat semakin takut untuk berpendapat di era Jokowi.
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Republik Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan.
“Pemerintah jangan hanya manis di depan, tapi berbeda di kenyataan. Sampai dengan saat ini, janji pemerintah ingin merevisi UU ITE [Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik], belum juga terwujud,” tandas Herzaky.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Fahreza Rizky