tirto.id - Islam mewajibkan umatnya berpuasa selama Ramadan, yaitu bulan kesembilan menurut tahun takwim qamariyah. Perintah puasa Ramadan terdapat pada Surat al-Baqarah ayat 183-187.
Pada bulan suci ini, kaum Muslim tidak makan, tidak minum, tidak merokok, dan tidak bersenggama sejak subuh hingga magrib. Saat magrib tiba, kaum muslim berbuka puasa dan merayakan kemenangan yang dicapai diri selama siang hari dengan acara makan bersama keluarga dan terkadang bersama tetangga.
Puasa mengubah irama hidup sehari-hari, memacu aktivitas di pagi dan malam hari, dan melambankannya di sore hari. Di kota-kota dengan penduduk mayoritas Muslim, menjelang subuh dan magrib ditandai suara beduk, senandung lagu, atau tembakan meriam di alun-alun.
Pada bulan Ramadan, berlangsung salat tarawih, yaitu sembahyang sunah setelah salat isya. Selama satu malam pada paruh kedua Ramadan yang disebut Alquran sebagai laylat al-qadr (malam penentuan), untuk memperingati turunnya wahyu pertama Alquran, kaum Muslim beribadah dan berdoa kepada Allah swt. Mereka bertekad untuk mengabdi dan menaati-Nya dengan semangat dan kehangatan khusus.
Setiap hari di bulan Ramadan, kaum Muslim bersedekah, berbuat kebajikan, menghibur, dan berempati pada lingkungan sekitar mukimnya. Sebelum akhir bulan ini, mereka membagikan kepada kaum miskin berupa sedekah yang setara dengan porsi makan seorang dewasa dalam sehari. Kaum Muslim menghujani pujian untuk Ramadan sebagai bulan penuh berkah, bulan ampunan dan rahmat. Ramadan juga merupakan bulan penyucian diri dan dijadikan momen menumbuhkan empati terhadap fakir miskin.
Terpenting, Ramadan juga bulan disiplin dan kontrol diri dan latihan mengendalikan naluri jasmani. Jika naluri itu disalurkan pada malam hari, naluri tersebut dinafikan lagi pada subuh berikutnya. Pengulangan ini secara ideal memenuhi syarat pendisiplinan diri.
Asal-Usul Puasa
Ajaran berpuasa (Arab: ash-shiyam atau ash-shaum) dalam Islam diadopsi dari agama-agama yang berkembang di dalam masyarakat Arab pra-Islam. Khoirul Anwar (2017) menjelaskan bahwa masyarakat Arab sebelum periode Muhammad sudah banyak yang menjalankan puasa. Puasa pada masa pra-Islam menjadi salah satu identitas orang Yahudi dan Nasrani. Masyarakat Arab di Yatsrib (Madinah) mengenal ritual puasa dari orang-orang Yahudi, sedangkan Arab Irak dan Syam mengetahuinya dari Nasrani.
Al-Bukhari dalam ensiklopedi hadisnya meriwayatkan bahwa istri Muhammad, 'Aisyah, telah berkata: “Pada masa pra-Islam orang-orang Quraisy berpuasa pada hari 'Asyura'. Demikian juga dengan Rasulullah saw. Ketika Nabi hijrah ke Madinah, Nabi masih tetap menjalankan puasa 'Asyura' dan memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk ikut serta berpuasa. Ketika puasa Ramadan diwajibkan, Nabi meninggalkan puasa 'Asyura'. Orang yang menghendaki puasa pada hari 'Asyura' dipersilakan, bagi yang menghendaki meninggalkannya juga dipersilakan” (HR. Bukhârî, No. 2002).
Tata cara dan durasi waktu puasa yang berkembang di dalam masyarakat Arab pra-Islam tidak sama dengan puasa yang dilakukan umat Muslim, meski secara esensi sama, yakni menahan diri dari makan, minum, dan yang lainnya. Karena kemakluman puasa di dalam tradisi Arab pra-Islam ini, seruan kewajiban puasa bagi umat Muslim segera disusul dengan kalimat persamaan (tasybîh) dengan kewajiban umat sebelumnya, ka mâ kutiba ‘alâ al-ladzîna min qablikum (sebagaimana [puasa] diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian) (QS. Al-Baqarah, 183).
Dalam Alquran, lema ash-shiyam yang berarti puasa disebut dalam ayat-ayat yang turun setelah Muhammad hijrah ke Madinah atau dinamakan dengan “ayat Madani”. Sebelum hijrah, lema shaum disebut hanya sekali, yaitu dalam QS. Maryam ayat 26 yang menceritakan tentang nazar Maryam untuk berpuasa.
Kata shaum dalam ayat ini, menurut sebagian mufassir, artinya menahan diri dari makan, minum, dan berbicara. Pendapat lain mengatakan, hanya berpuasa dari berbicara, yakni diam (Ath-Thabarî, 2000: XVIII, 184).
Tidak disebutkannya kata shaum karena Rasulullah masih mengikuti ritual puasa yang berkembang dan belum "memodifikasi" ritual itu sesuai perintah Tuhan. Perintah puasa di dalam Islam baru dimulai satu tahun setelah Muhammad hijrah ke Madinah. Selama hidupnya, Nabi hanya mengalami puasa Ramadan sebanyak sembilan kali, karena sejak hijrah hingga wafat, dia tinggal di Madinah selama sepuluh tahun.
Sistem Takwim
Sejak tahun kesembilan pasca-Hijrah, Nabi Muhammad saw menghapus penyisipan bulan ketiga belas yang diadakan untuk menyesuaikan tahun yang dihitung menurut perhitungan peredaran bulan dengan peredaran matahari selama setahun. Semenjak itu, tahun takwim Islam setiap tahun maju 11 hari terhadap tahun takwim surya.
Oleh karena itu, menurut tahun takwim Islam ini, setiap hari raya dan hari ibadah (seperti puasa Ramadan dan ibadah haji) setiap tahun maju 11 hari. Pola ini berangsur-angsur jatuh pada musim panas, musim semi, musim salju, dan kemudian pulih lagi pada musim gugur—musim penghujan dan musim kemarau khusus untuk wilayah tropis—kemudian maju lagi berulang-ulang.
Bulan puasa Ramadan bisa jatuh di bulan kesembilan pada tahun takwin surya, yang merupakan saat ekuinoks musim gugur, ketika siang dan malam hari sama panjangnya di daerah tropis. Kemudian, karena setiap tahun maju 11 hari, adakalanya bulan Ramadan jatuh pada musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim salju.
Untuk daerah khatulistiwa, hal ihwal ini tidak terlalu berpengaruh, karena lamanya siang dan malam hari hanya surut atau bertambah lama sekitar setengah jam. Namun, bagi negeri-negeri yang memiliki empat musim, perbedaannya bisa cukup mencolok. Di wilayah itu, siang bisa terjadi selama 18 jam dan malam hanya 6 jam, atau sebaliknya siang hanya 6 jam dan malam sampai 18 jam.
==============================
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangkaraya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.
Editor: Ivan Aulia Ahsan