tirto.id - PT Mitrabara Adiperdana, Tbk membantah Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan para aktivis lingkungan di Kalimantan Utara yang menuding perusahaan ini terlibat pencemaran Sungai Malinau.
Direktur PT Mitrabara, Ridwan mengklaim perusahaannya memiliki sistem pengolahan air tambang memadai. Menurut dia, kunjungan Bupati Malinau, pada 29 Agustus 2017, sudah memastikan hal itu.
“Pengolahan air tambang Mitrabara telah dianggap memadai,” kata Ridwan dalam klarifikasinya yang dikirim ke Tirto pada Minggu (10/9/2017).
Pernyataan Ridwan itu menanggapi aksi protes para aktivis JATAM di Jakarta dan Tarakan pada 8 September 2017. Aksi itu menuduh sejumlah perusahaan tambang di Malinau, terutama Mitrabara, terlibat pencemaran sungai.
Lihat:Jatam Demo di Kedubes Jepang
Ridwan menjelaskan ada 4 perusahaan tambang di Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara. Keempatnya ialah PT Mitrabara dan PT Baradinamika Muda Sukses (anak perusahaan Mitrabara). Selain itu, PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) dan PT Atha Marth Naha Kramo (AMNK).
Berdasar verifikasi Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malinau, Dinas ESDM Provinsi Kaltara dan perwakilan masyarakat, kata Ridwan, sistem pengolahan air tambang PT Mitrabara dan Baradinamika sudah sesuai baku mutu lingkungan.
“Rekomendasi Direktorat Teknik Lingkungan Mineral dan Batubara, Dinas ESDM Provinsi Kaltara bersifat administratif dan telah ditindaklanjuti oleh Mitrabara,” kata Ridwan.
Dia menambahkan Mitrabara juga telah mengatasi tergerusnya tanggul penampungan air tambang milik perusahaan ini yang terjadi pada 4 Juli 2017. “Kejadian itu bukan peristiwa disengaja,” ujarnya.
Mitrabara juga membantah kerja sama perusahaan ini dengan PT Baradinamika, dalam pengolahan air tambang, melanggar UU. Ridwan mengklaim hal ini sudah diinformasikan Kementerian ESDM lewat surat pada 28 Agustus 2017. “Kerja sama itu diketahui Dinas Lingkungan Hidup Malinau,” kata dia.
Jatam Desak Izin 4 Perusahaan Tambang di Malinau Dicabut
Dalam siaran persnya, pada 8 September 2017, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Friends of the Earth Japan (FoE Jepang) mendesak pemerintah mencabut izin 4 perusahaan tambang di Malinau. Mereka juga meminta ada penyelidikan untuk mengusut indikasi tindak pelanggaran pidana lingkungan hidup serius terkait pencemaran Sungai Malinau.
Jatam dan FoE Japan menyuarakan tuntutan itu dengan berdemonstrasi di depan Kedubes Jepang, Jakarta. Mereka menilai sanksi administratif dari Pemprov Kaltara bagi 4 perusahaan tambang batubara itu tidak cukup.
Rilis Jatam mencatat PT Atha Marth Naha Kramo (AMNK) mendapatkan sanksi teguran ringan, PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) dan PT Baradinamika Muda Sukses (BDMS) mendapatkan sanksi teguran keras. Sementara PT Mitrabara Adiperdana menerima sanksi penghentian sementara selama 60 hari kalender kerja.
Jatam menilai perusahaan-perusahaan itu patut diduga melanggar Pasal 96 dan 98 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Sebab, terindikasi melepas sisa limbah tambang, yang belum memenuhi standar baku mutu, ke media Sungai Malinau pada pertengahan Juni-awal Juli 2017.
“PT Mitrabara diakusisi oleh Idemitsu Kosan, perusahaan energi Jepang yang mendapat sokongan dana dari JBIC (Japan Bank for International Cooperation). Sebagai penyokong dana, JBIC harus ikut bertanggungjawab atas pencemaran di Malinau,” kata Melky Nahar, Kepala Kampanye Jatam Nasional.
Sementara Simpul Jatam Kalimantan Utara menuduh proses pinjam-meminjam kolam pengendapan limbah (sediment pond) antara PT Mitrabara dari PT Baradinamika tidak melalui proses yang benar karena tak diketahui pemerintah dan masyarakat.
“Pada 2010 lalu, untuk pertama kalinya tanggul kolam pengendapan limbah PT BDMS dan PT KPUC jebol dan mengontaminasi Sungai Malinau,” ujar Koordinator Jatam Kalimantan Utara, Theodorus G. Immanuel.
Menurut dia, pada 2011, peristiwa sama kembali terulang yang menyebabkan Sungai Malinau dan Sungai Sesayap terkontaminasi limbah beracun. Begitu juga di tahun 2012, kejadian serupa terulang.
”Pada 4 Juli 2017, pencemaran Sungai Malinau dan Sungai Sesayap terjadi lagi. Kami menduga ini dilakukan 4 perusahaan sekaligus (di Malinau),” ujar Theodorus. Akibat pencemaran ini, air PDAM dari Sungai Sesayap tidak dapat dikonsumsi warga selama 3 hari pada pekan awal Juli 2017.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom