tirto.id - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendampingi PU, korban dugaan kekerasan seksual dan perdagangan anak atas putra seorang anggota DPRD di Kota Bekasi berinisial AT pada sidang pertamanya di Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi, Selasa (31/8/2021).
Pendampingan dilakukan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PSI Kota Bekasi dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PSI.
PU, yang berusia 15 tahun, diduga menjadi korban pemerkosaan terdakwa AT, pria berusia 21 tahun yang diduga melakukan kejahatan perdagangan orang dengan menawarkan PU sebagai pekerja seksual melalui layanan chat daring.
Berdasarkan keterangan PU dalam sidang, ia harus melayani empat hingga lima orang lelaki hidung belang yang membayar ke AT. Ketua DPD PSI Kota Bekasi, Tanti Herawati meminta agar terdakwa dihukum berat sesuai dengan perbuatannya.
“Kasus kekerasan disertai pemerkosaan pada anak di bawah umur harus diberi ganjaran yang setimpal. Kami berharap majelis hakim bisa memberikan hukuman seberat-beratnya agar memberikan efek jera dan menghindarkan kasus serupa terjadi di masa mendatang,” kata Herawati melalui keterangan tertulisnya dikutip Kamis (2/9/2021).
PSI mendampingi PU sejak Mei 2021. Saat itu PU masih berstatus sebagai siswi kelas 9 SMP. Kasus ini mencuat ke publik karena melibatkan tersangka anak seorang anggota DPRD. Sejak AT ditahan polisi, keluarga PU mendapatkan berbagai ancaman dan intimidasi melalui telepon, pesan singkat, hingga pintu rumahnya yang digedor-gedor tengah malam.
Ancaman ini dilakukan agar keluarganya menerima tawaran damai pelaku. Namun keluarga PU bergeming dan menginginkan pelaku diproses secara hukum dan mendapat hukuman yang setimpal.
Melihat ancaman-ancaman ini, PSI memastikan keluarga PU tidak lagi mendapat ancaman dan juga berupaya agar PU tidak mengalami tekanan dan trauma psikologis.
Kemudian Hera menyesalkan sidang telat digelar. Sidang yang seharusnya digelar pada pukul 13.00 WIB, baru dimulai pada pukul 18.30 WIB dan selesai pada pukul 20.30 WIB.
“Seharusnya pengadilan mempertimbangkan efek psikologis pada PU yang harus menunggu lebih dari lima jam,” ujarnya. Apalagi di PN Kota Bekasi tidak ada tempat tunggu khusus untuk saksi di bawah umur.
Sidang pemeriksaan saksi dilakukan secara tertutup mengingat saksi korban masih di bawah umur. Menurut Hera, saat PU diperiksa hanya ada perwakilan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Bekasi dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Sayangnya jendela masih dibiarkan terbuka sehingga banyak yang bisa melihat dan mendengar jalannya sidang dari luar jendela,” sesal Hera.
Hera berharap di kemudian hari PN Kota Bekasi bisa memperhatikan hal-hal teknis terkait pemeriksaan saksi di bawah umur. “Sebaiknya ada ruang tunggu khusus anak, ruangan sidang benar-benar tertutup, dan anak jangan dibiarkan menunggu sidang selama berjam-jam seperti ini,” tuturnya.
Hera berkomitmen akan mengawal kasus ini hingga tuntas dan pelaku mendapatkan hukuman setimpal. Sebab, PSI sudah membentuk Komite Solidaritas Pelindung Perempuan dan Anak yang siap mengawal kasus-kasus serupa di seluruh Indonesia.
"Kami berharap, tidak ada lagi anak-anak dan perempuan yang mengalami nasib serupa dengan PU di Indonesia,” pungkasnya.
Anggota LBH PSI, Hendra Keria Hentas mengatakan pihaknya juga mengawal kasus ini karena ada indikasi kasus akan dibelokkan oleh pihak tersangka menjadi kasus perzinahan yang bisa diselesaikan secara damai, termasuk dengan menikahkan korban dengan pelaku.
“Kasus ini harus diselesaikan secara hukum dengan memberikan keadilan pada korban dan keluarganya. Menikahkan korban yang masih di bawah umur dengan pelaku, selain melanggar Undang-undang Perkawinan juga akan semakin membuat korban menderita sepanjang hidupnya,” kata Hendra.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri