tirto.id - Jika ada persamaan antara Joko Widodo dan Ahmad Dhani, itu adalah keduanya pernah menuduh tanpa jelas kepada siapa itu dialamatkan. Jokowi ketika bicara soal 'propaganda Rusia', sementara Dhani 'penistaan agama'.
"Pernyataan Dhani dan Jokowi mirip-miriplah. Di dunia politik lebih enak menggunakan kata bersayap. Tidak to the point tapi [masyarakat] sudah tahu siapa yang dimaksud," kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin kepada reporter Tirto, Jumat (8/2/2019) siang.
Di Karanganyar, Jawa Tengah, Jokowi menyebut ada pihak-pihak yang menggunakan jasa konsultan politik dari luar negeri untuk Pemilu 2019. Konsultan politik itu, kata pemenang Pilpres 2014 ini, menjalankan strategi 'Propaganda Rusia'.
"Teori Propaganda Rusia seperti itu. Semburkan dusta sebanyak-banyaknya, semburkan kebohongan sebanyak-banyaknya, semburkan hoaks sebanyak-banyaknya, sehingga rakyat jadi ragu," katanya, seperti dikutip dari Antara.
Pengusaha mebel ini tak terima dengan tudingan 'antek asing' yang selalu dialamatkan kepada dirinya sejak beberapa tahun terakhir. Jokowi balik menyerang dengan mempertanyakan siapa sesungguhnya yang antek asing.
"Memang tidak jelas siapa yang dimaksud. Tapi kita semua tahu kalau lawan politik Jokowi saat ini adalah Prabowo," kata Ujang.
Pernyataan Jokowi yang tak menyebut siapa pihak yang menyewa konsultan asing itu kemudian dieksplisitkan Sekjen Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Hasto Kristiyanto. Hasto mengatakan pihak yang Jokowi maksud tak lain dan tak bukan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan timnya.
"Sejak 2009, kami tahu pak Prabowo itu didukung oleh konsultan asing. Kami jadi saksi mata," ujar Hasto usai deklarasi dukungan alumni Kolese Kanisius kepada Jokowi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, 3 Februari lalu.
Sontak pernyataan Hasto ini dicibir tim sukses Prabowo, Badan Pemenangan Nasional (BPN). Ferdinand Hutahaean, jubir BPN, mengatakan tuduhan itu tak berdasar. Dia meminta petahana membuktikannya ketimbang sekadar bicara.
"Saya pikir tuduhan itu tidak berdasar fakta dan data yang akurat," kata Ferdinand, 4 Februari lalu.
Pada 7 Februari, 6 Maret, dan 7 Maret 2017, Ahmad Dhani mencuit soal kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama—dulu dipanggil Ahok. Pada 6 Maret, Dhani menulis: "Siapa saja yang dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya." Lalu, pada 7 Maret, pentolan Dewa 19 ini kembali menulis: "Sila pertama Ketuhanan YME. Penista agama jadi gubernur... Kalian waras???".
Dhani tak menyebut siapa yang ia maksud pendukung penista agama. "Sama-sama gaya menyindirnya," kata Ujang.
Pelanggaran
Karena dua cuitan itu, juga satu cuitan lain tertanggal 7 Februari: "Yang menistakan agama si Ahok, yang diadili KH Ma'ruf Amin..." Dhani diputus bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dia melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik: terbukti dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian. Dia divonis 1 tahun 6 bulan, lebih ringan dari tuntutan jaksa, 2 tahun.
Sementara Dhani telah divonis, Jokowi baru saja dilaporkan Advokat Peduli Pemilu, Mohamad Taufiqurrahman, ke Bawaslu RI, Rabu (6/2/2019) kemarin.
"Pak Jokowi mengeluarkan pernyataan yang kami duga berpotensi mengganggu ketertiban umum, kontennya bersifat hasutan bahkan ujaran kebencian," kata Taufiqurrahman.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai Pasal 280 ayat 1 huruf c dan d juncto Pasal 521 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 adalah aturan yang paling mungkin bisa dipakai.
Ini serupa dengan pernyataan Ahli hukum pidana dari UGM, Sigit Riyanto, yang menyebut Jokowi tak bisa dikenakan pidana umum seperti Dhani.
"Konteksnya masih pemilu, ya sudah selesaikan [lewat UU] Pemilu dulu," kata Sigit kepada reporter Tirto.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Jay Akbar